Muted Group Theory

Latar Belakang
Komunikasi antar budaya secara teoritis merupakan bidang kajian antropologi. Pengenalan atas kata “komunikasi antar budaya” sendiri pertama kali diperkenalkan Edward T Hall seorang antropolog berkebangsaan Inggris.

Komunikasi antarbudaya menurut Maletzke (1976) adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang berbeda budaya.

Komunikasi antar budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi berkaitan dengan: (1) apa makna pesan verbal dan non verbal menurut budayabudaya besangkutan; (2) apa yang layak dikomunikasikan; (3) bagaimana cara mengkomunikasikannya; (4) kapan mengomunikasikannya, dan lain sebagainya. 


Teori Kelompok Bungkam (Muted Group Theory)
Teori kelompok bungkam atau biasa dikenal dengan Muted Group Theory (MGT) merupakan teori yang mencoba memaparkan fenomena yang terjadi di lingkungan sosial.

Teori Kelompok Bungkam berkembang dalam tradisi kritis yang menggunakan pendekatan feminisme dimana dunia dianggap didominasi oleh kelompok laki-laki sehingga perempuan menjadi tidak bisa bicara atau muted.

Pengenalan akan teori kelompok bungkam berangkat dari kondisi dan temuan yang diungkapkan pasangan antropolog asal Amerika Serikat, Edwin dan Shirley Ardener.

Dalam penelitian yang dilakukannya, Edwin dan Shirley menemukan bahwa dalam penelitian berbasis etnografi, keterlibatan kalangan laki-laki utamanya pada usia dewasa pada suatu budaya tertentu “sangatlah” dominan untuk melihat gambaran budaya secara keseluruhan.

Laki-laki dan perempuan diasosiasi melihat dan bertindak mengenai sesuatu dengan cara yang berbeda. Laki-laki misalnya, cenderung hanya memberikan penjelasan dan tidak dalam rangka membangun keakraban dalam suatu percakapan (report talk), sedangkan perempuan cenderung untuk membangun keakraban dan membutuhkan penerimaan orang lain dalam berbahasa (rapport talk).

Selain itu, Edwin Ardener menyatakan bahwa kelompok yang menyusun bagian teratas dari hirarki sosial menentukan sistem komunikasi bagi budaya tersebut. Kelompok dengan kekuasaan yang lebih rendah seperti perempuan, kaum miskin, dan orang kulit berwarna, harus belajar untuk bekerja dalam sistem komunikasi yang telah dikembangkan oleh kelompok dominan (West and Turner, 2008). Contoh yang sering ditemui pada saat penelitian berlangsung: 
  • Para peneliti antropologi (yang biasanya orang kulit putih) tidak mendengarkan suara-suara dari kalangan yang tidak berdaya/powerless, karena mereka biasa menyimak dari kalangan laku-laki dan mendengarkan bahasa laki=laki. Mereka tidak berusaha untuk mencari dan memahami seperti apa bahasa wanita karena mereka menganggap wanita sebagai sosok yang sulit untuk berbicara.
  • Apa yang terjadi terhadap kaum perempuan relah melampaui ketulian dari pihak laki-laki. Akibatnya kalangan perempuan “dibungkam” selama penelitian.“kata-kata yang secara kontinyu menyerang telinga yang tuli, tentu akhirnya menjadi tidak diucapkan”. Siklus ketulian dan kebisuan  ini dipergunakan sebagai basis untuk teori yang dibungkam. Ibarat menyiapkan sebuah pesan kepada  orang yang tuli sekeras papun intonasi suara, maupun seberapa banyak kata yang dibicarakan kepadanya maka semuanya akan menjadi sis-sia. Dan akhirnya “kelompok yang mengalami pembukaman” itu memilih diam.
Pasca penelitian yang dilakukan Edwin dan Shirley Ardener, pada tahun 1974 Cheris Kramarae dan rekan penelitinya melakukan telaah lanjutan mendalam atas teori ini saat mereka dipilih untuk memimpin sebuah studi sistematik mengenai cara-cara perempuan dilukiskan dalam kartun.

Kramarae menemukan bahwa perempuan dalam kartun biasanya dilukiskan sebagai sosok yang emosional, apologetik (peminta maaf/penyesal), dan plin-plan sedangkan pernyataan yang sederhana dan kuat disuarakan oleh laki-laki. 

Menurut Cheris Kramarea: “Bahasa dari sebuah budaya tidak mendukung semua penuturnya dengan setara. Perempuan tidak sebebas dan semampu laki-laki untuk mengatakan apa yang mereka inginkan, kapan dan dimana mereka menginginkanya. Hal ini terjadi karena kata-kata dan norma telah diformulasikan oleh kelompok dominan yaitu “laki-laki”. Kramarae dalam Littlejohn (1989) merancang 3 asumsi yang berpusat pada sajian feminisme dari teori kelompok yang dibungkam, yaitu:
  1. Perempuan merasakan dunia yang berbeda dari laki-laki karena perempuan dan laki-laki memiliki pengalaman yang sangat berbeda. Pengalaman yang berbeda ini berakar pada divisi kerja masyarakat. 
  2. Karena laki-laki merupakan kelompok yang dominan di masyarakat, sistem persepsi mereka juga dominan. Dominasi ini menghalangi kebebasan ekspresi dari dunia model alternatif perempuan. 
  3. Sehingga, agar berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus mentransformasi modelnya dalam term sistem ekspresi yang dominan tersebut. Karena pengalaman perempuan di dunia yang berbeda, maka mereka merasakan dunia yang berbeda pula. Perbedaan ekspresi ini seringkali terlihat pada perbedaan antara dunia kerja publik, komersial dan kompetisi serta dunia privat rumah, keluarga dan pengasuhan. 

Faktor Lahirnya Kelompok Bungkam
Kelompok Bungkam adalah kelompok yang lahir karena adanya tekanan-tekanan dari kelompok dominan yang menyebabkan dirinya merasa kesulitan berbahasa dalam memaparkan apa yang ada dalam benak mereka. Akibatnya kelompok tersebut menjadi terkekang dan akhirnya menjadi kelompok bungkam.

Dalam konteks lain, Teori Kelompok Bugkam bisa terjadi ketika kelompok yang memiliki uang membayar kepada kelompok lain untuk tutup mulut (lazim disebut sebagai uang tutup mulut). Namun ketika kelompok yang ditutup “mulut-nya” memiliki uang banyak, maka akan berubah – ia tidak lagi masuk dalam kelompok bungkam. Terdapat bebetapa faktor yang menyebabkan lahirnya Kelompok Bungkam yaitu:
  1. Adanya tekanan-tekanan dari kelompok dominan kepada kelompok kecil (minoritas) 
  2. Dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lain yang mengakibatkan adanya tekanantekanan terhadap kelompok minoritas 
  3. Perbedaan persepsi gender yang seakan memposisikan perempuan untuk tidak berhubungan dengan dunia luar
Kemudian untuk proses lahirnya Kelompok Bungkam sendiri berawal dari: 
  1. Mengejek Houston dan Kramarae dalam Littlejohn (1989) menyatakan bahwa pembicaraan perempuan seringkali diremehkan. Laki-laki dalam proses ini diasosiasi memberi label terhadap perempuan dalam bentuk “ocehan, gosip, omelan, rengekan, rongrongan (Hentikan celotehan itu). (dalam berkomunikasi, laki-lakiDalam konteks ini, laki-laki menempatkan percakapan perempuan sebagai sesuatu yang tidak bermakna dan membuang waktu. 
  2. Kontrol Smith dalam Littlejohn (1989) mengamati bahwa laki-laki mengendalikan banyak keputusan seperti apa yang harus ada dalam buku sejarah dan ini menyebabkan sejarah perempuan tidak disentuh. Selain itu faktor media yang pada banyak kesempatan dikendalikan oleh laki-laki membuat pembicaraan dan kontribusi perempuan untuk mendapat liputan dalam media mainstream menjadi relatif lebih sedikit. (dalam berkomunikasi laki-laki seringkali memegang kendali melalui interupsi. Aktivitas interuspsi ini banyak dilakukan laki-laki untuk mengubah atau mengambil keputusan atas pembicaraan yang ingin ia lakukan).
  3. Ritual Dilakukan dengan ritus dimana “perempuan” diasosiasikan sebagai pihak yang akan diserahkan kepada laki-laki pada budaya tertentu. Kondisi ini umumnya terjadi pada momentum upacara pernikahan, dimana orang tua pihak perempuan menyerahkan anaknya kepada pihak lelaki. 
  4. Pelecehan Elizabeth Kissling (1991) menulis mengenai pelcehan di jalan, mengamati bahwa perempuan tidak memiliki akses yang bebas di jalan-jalan umum. Laki-laki mengendalikan wilayah publik sehingga perempuan yang berjalan di sana mungkin akan menerima ancaman verbal. Kemudian Marry Strine (1992) menunjukkan bagaimana pembicaraan di universitas membuat pelecehan menjadi hal yang wajar, sehingga perlakuan yang tidak sopan terhadap tubuh baik dalam tindakan maupun kata-kata.
Strategi Perlawanan dan Cara Kelompok Bungkam berbicara Terdapat sejumlah langkah yang diambil Kelompok Bungkam untuk menyusun/menghadapi kelompok dominan. Beberapa strategi perlawanan yang biasa dilakukan antara lain: 
  1. Menyebutkan strategi-strategi pembungkaman 
  2. Mengambil kembali, mengangkat dan mementingkan wacana perempuan 
  3. Menciptakan bahasa baru bagi pengalaman gender yang unik. 
Cara yang dapat dilakukan Kelompok Bungkam untuk berbicara dengan Kelompok Dominan dilakukan melalui: 
  1. Asimilasi Dilakukan dengan cara membaur dengan kelompok dominan 
  2. Pemisahan Dilakukan dengan cara meminimalkan kontak dengan kelompok dominan 
  3. Akomodasi Dilakukan dengan cara melakukan persuasi kepada kelompok dominan untuk menggabungkan pengalaman dengan co-cultural group
Kesimpulan 
Teori Kelompok Bungkam terjadi ketika ada sekelompok orang yang tidak dapat mengutarakan aspirasi maupun insipirasinya, akibat adanya tekanan dari kelompok dominan. Kelompok Bungkam sendiri memang pada awal-nya banyak menekankan akan kaum perempuan, namun jika diaplikasikan di masa sekarang, kategorisasi Kelompok Bungkam ini bisa terjadi termasuk pada kelompok laki-laki ataupun kelompok lainnya yang memiliki perbedaan suku, agama dan/atau golongan.

Komentar