Jejak Tragedi 98

Tepat 20 tahun yang lalu proses demokrasi di negeri ini dimulai.


Krisis ekonomi yang terjadi di Thailand merambat ke kawasan (baca: Asia Tenggara) dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun.

Apa dampaknya bagi Indonesia?
Indonesia dan Malaysia menjadi 2 negara yang paling parah terpapar. Khusus Indonesia misalnya, krisis bukan hanya meruntuhkan pertumbuhan ekonomi nasional, tapi juga menumbangkan kuasa "Raja" yang telah memimpin selama 32 tahun.
Dan hanya dalam hitungan bulan setelah ia dilantik untuk periode kepresidenan keenamnya, Ia - pun dipaksa untuk meletakkan tahta kepada wakilnya.
Bagi kita yang hidup dalam dekade 1990-an, peristiwa itu bukan semata menjadi suatu kenangan tapi juga pembelajaran akan "gilanya" kekuasaan, baik mereka yang terlibat menjadi aktor-nya secara langsung maupun berposisi sebagai pembisik.
Dalam roman yang muncul pasca kejadian, banyak para pembisik licik yang kemudian lolos dari peristiwa dan kembali berhasil meneruskan "kebiasaan" politik busuknya. Tapi bagi mereka yang loyal, pada akhir cerita harus tersapu oleh gelombang pembaharu jaman.

Dalam beberapa seri tulisan kedepan penulis tidak akan bercerita panjang lebar tentang polarisasi politik yang terjadi dalam periode 1998, namun akan lebih banyak membawakan kisah tentang para pejuang reformasi yang terlupakan.
Kebanyakan dari mereka nyatanya banyak merenggang nyawa saat dan pasca rezim yang mereka kritik tumbang.

Dan hari ini sejarah perjuangan mereka seolah lumat termakan arus jaman yang telah memberi kenikmatan bagi rekan sejawat dan adik angkatannya. Tak jarang orang sekarang juga menjadi ahistoris melupakan sejarah kelam yang pernah dilalui bangsanya. Dan bahkan terdapat segelintir orang yang merindukan kembali sosok yang dulu mereka tumbangkan.

Kisah yang akan saya bawakan disini ialah potongan cerita mengenai sosok pejuang HAM Indonesia yang secara berani membeberkan fakta mengenai kasus pemerkosaan, pembunuhan dan pembakaran yang dialami gadis dan perempuan Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998.

Sosok tersebut ialah Ita Martadinata Haryono, siswa kelas III SMA Paskalis. Sebagai seorang muda yang banyak melihat dan mengalami peristiwa buruk dalam kerusahan Mei 1998, ia menjadi sosok yang muncul kepermukaan untuk menyajikan fakta mengenaskan dalam periode yang terjadi.

Namun naas pada tanggal 9 Oktober 1998 tepat beberapa minggu sebelum keberangkatannya ke Amerika untuk bersaksi dihadapan Kongres Amerika, ia dibunuh di kamar rumahnya yang terletak di Jakarta Pusat .
Dari kisah yang terjadi, agaknya menjadi miris saat kita mengetahui bahwa kisah perjuangan Ita hanya berujung pada kematian di tangan seorang pemuda teler yang terpenggok mencuri di dalam rumah.

Sebenarnya apa yang terjadi dalam rententan waktu Mei 1998:
Berdasar data yang disampaikan Ita Fatia Nadia, mantan direktur Kalyanamitra dalam rentang 4 hari (12 - 15 Mei 1998) terdapat 200 pengaduan kasus pemerkosaan. dari jumlah tersebut sebanyak 189 kasus terverfikasi. Namun berdasar data Tim Gabungan Pencari Fakta setidaknya terdapat 52 kasus pemerkosaan, 14 kasus pemerkosaan dengan penganiayaan, 10 kasus penyerangan atau penganiayaan seksual dan 9 kasus pelecehan seksual.
Terjadinya perbedaan jumlah ini terjadi akibat banyaknya tekanan yang dialami korban sehingga saat mereka dimintai untuk diwawancarai oleh TGPF kebanyakan menolak.
Bahkan jika didalami secara lebih mendalam, kisah pemerkosaan juga berujung pada kehamilan yang dialami sepasang kakak beradik yang masih remaja sekolah dimana keduanya harus menanggung "akibat" dari munculnya kasus pemerkosaan.

Pengusutan tuntas tentang apa yang dialami saudara/i kita menjadi suatu tuntutan untuk mengurai apa yang terjadi pada Mei 1998 dan ini menjadi pelajaran penting agar kita tidak terantuk pada lubang yang sama untuk kedua kali.

Salam Pembelajar

Komentar