Ide
utama dari “Pericles’ funeral oration” adalah suatu bujukan bagi para pendengar
(masyarakat Athena) untuk terus bertempur membela kebebasan yang harus
dipertahankan dan memuji mereka yang gugur dalam mempertahankannya.
Kata-kata
yang tertuang dalam “Pericles’ funeral oration” adalah suatu ungkapan ekspresi yang kuat dan
memberikan dorongan kewajiban untuk terus berjuang atas nilai yang mereka
percayai.
Hal
ini sebenarnya, dekat dengan bentuk propoganda yang kemudian identik dengan
proses peperangan.
Dalam “Pericles’ funeral oration” orang yang gugur dalam pertempuran digambarkan seperti mereka yang memahami tugas dan memiliki keberanian untuk mengorbankan hal tertinggi yang mereka miliki untuk Athena. Mereka akan hidup abadi dalam ingatan manusia lainnya.
Konsep utama dari penulisan dokumen ini ialah penghormatan kepada budaya, demokrasi dan kebebasan Athena yang dirayakan dari mereka yang bersedia mengorbankan nyawa untuk kota mereka.
Dalam konteks negara, catatan Thucydides ini memberikan serangkaian pengetahuan tentang prinsip dan strategi suatu negara dalam bertahan dan mengejar kekuasaan. Prinsip dan strategi ini harus mampu diyakini tiap individu dalam bingkai tujuan politik untuk mempertahankan negara dan sebagai fondasi utama atas strategi serta budaya militer yang pantang menyerah dalam mempertahankan nilai yang diyakini bersama. Dan bagi mereka yang gugur, tentunya mereka akan mendapat kemuliaan yang abadi.
Prinsip dan strategi dalam “Pericles’ funeral oration” inilah yang kemudian melahirkan semangat “bela negara” seperti yang dicontohkan 80 pasukan Amerika Serikat (AS) pada Serangan Doolittle, pasca serangan Pearl Harbor oleh pasukan Jepang pada tanggal 7 Desember 1941.
Bermodalkan semangat membela kepentingan dan eksistensi negara, 80 pasukan AS bertolak dari geladak kapal induk USS Hornet pada tanggal 18 April 1942 untuk melakukan pengeboman langsung di atas tanah Jepang. Misi ini adalah misi satu arah akibat waktu peluncuran pesawat yang lebih awal dari yang direncanakan dan terbatasnya bahan bakar untuk bertolak kembali.
Dari 80 penerbang, 3 awak tewas saat mencoba mendaratkan pesawat di daratan Cina dan terdapat 8 awak lainnya yang ditangkap tentara Jepang. 3 diantara mereka yang tertangkap kemudian dieksekusi dan 1 lainnya tewas di penjara. Namun alih-alih membawa duka, kisah 80 prajurit inilah yang kemudian membangkitkan moral semangat di dalam negeri AS untuk bangkit secara aktif dalam memerangi fasisme dan terlibat dalam Perang Dunia II.
Hal ini terlihat misalnya dari keaktifan pemuda (baca: dalam dominasi gender lelaki) dalam pendaftaran militer dan pemudi (baca: keterlibatan perempuan) dalam industri senjata AS.
Bagi Jepang sendiri, dampak dari serangan Doolittle dilihat bukan semata dari awal serangan menuju tanah air mereka (yang nantinya bahkan melahirkan bencana “bom atom” di kota Hiroshima dan Nagasaki), Serangan Doolittle bahkan dilihat sebagai panggilan penting untuk terus mempertahankan nilai dan tiap “jengkal” tanah yang mereka cintai serta yakini.
Maka menjadi tidak mengherankan, jika pada masa itu lahir pilot-pilot Kamikaze yang rela menjatuhkan dirinya ke pesawat dan/atau kapal musuh untuk “lumat” bersama.
Inilah
“bensin” yang kemudian lekat dengan bentuk propoganda untuk menggelorakan
semangat peperangan membela tanah air.
Dan jika ditelisik secara lebih mendalam, teks “Pericles’ funeral oration” memperlihatkan sisi kemanusiaan yang dipandang sebatas “kavling-kavling” untuk mengelompokkan manusia menurut “wilayah negara tempat kelahirannya”. Kemuliaan abadi terlihat dari mereka yang gugur di medan perang.
Menengok kembali “Pericles’ funeral oration” yang menyebutkan:
“We rely not upon management or
trickey, but upon our own hearts and hands….
For where the rewards of virtue are greatest, there the noblest citizens
are enlisted in the service of the state. And now, when you have duly lamented
every one his own dead, you may depart.”
Komentar
Posting Komentar