Fenomena
meningkatnya pembentukan berbagai forum kerjasama ekonomi regional sejak
2000-an muncul sebagai respon terhadap globalisasi (Soesastro, 2004). Semakin
biasnya batas wilayah antar kawasan dalam bidang politik, keamanan dan
perdagangan menjadi salah satu pendorong hadir dan meningkatya beragam forum di
kawasan.
ASEAN
sebagai salah satu forum kerjasama kawasan telah secara aktif membangun
konektifitas dan kolektifitas antar sesama anggotanya. Komitmen dalam membangun
Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mulai direalisasikan sejak Januari 2015 menjadi
tonggak sejarah yang penting bagi kepentingan kawasan di masa mendatang.
Selain
menguatkan kerangka kerja terutama ekonomi di kawasan, penandatanganan
kerjasama ekonomi regional dengan sejumlah negara besar lainnya juga menjadi
respon ASEAN dalam menjawab kebutuhan kawasan. Sebut saja beberapa kerjasama
seperti, ASEAN-China Free Trade Area, ASEAN – India-FTA, ASEAN-Korea FTA,
ASEAN-Jepang Partnership dan beragam kerangka kerjasama ekonomi lainnya.
Uni
Eropa dan Analisa BREXIT
Di
belahan dunia utara forum kerjasama atau kelompok ekonomi regional lainnya juga
telah lama terbentuk dengan sebutan Uni Eropa.
Uni
Eropa merupakan kelompok 28 negara dengan sekitar 507,8 juta jiwa penduduk.
Pendiirian forum kawasan ini diinisiatif oleh 6 negara, yaitu: Belgia, Jerman,
Perancis , Italia dan Luksemburg, serta Belanda.
Ide
awal pendirian Uni Eropa berangkat dari inisiatif sejumlah negara pasca perang
dunia kedua yang menghendaki hadirnya langkah-langkah penting untuk mencegah
terjadiya konflik di kawasan akibat penguasaaan sumber daya alam dan
bahan-bahan yang diperlukan untuk berperang, seperti batu bara dan baja.
Tujuan
utama dari berdirinya Uni Eropa adalah untuk membentuk: (1) kerjasama antar
negara anggota di bidang ekonomi yang fokus terhadap keleluasaan gerak sumber
daya manusia, hasil produksi dan jasa tanpa tarif atau minimal dengan
keseragaman tarif yang rendah; (2) Terjalinnya kerjasama antar negara anggota
di bidag politik sehingga daat mengurangi dampak negatif rivalitas antar
negara-negara besar di Eropa yang telah ada sejak dahulu kala sehingga bisa
menghindari terjadinya perang kembali di Eropa, serta menjadi salah satu
kekuatan di dunia dalam regulasi internasional (Nugraha, 2012).
Namun apa mau dikata, memasuki usia 40-an tahun, Uni Eropa diguncang sejumlah masalah, dimulai dari krisis ekonomi yang melanda Yunani pada tahun 2012 hingga menjalarnya krisis migran dan tenaga kerja yang pada akhirnya menuntun Inggris dalam suatu refendum untuk menentukan sikap untuk tetap menjadi bagian dalam satu pasar tunggal Eropa atau menjadi negara merdeka yang berdiri sendiri dalam kaki ekonomi nasional.
Tanggal
23 Juni 2016 akan menjadi sejarah tersendiri bagi Inggris, Eropa dan dunia.
Seusai refendum yang dilakukan didapat hasil bahwa, 52% dari pemilih,
menyatakan diri untuk berpisah dari pasar tunggal Eropa yang selama lebih dari
3 dekade mereka ikuti. Langkah ini kemudian mendapat respon cepat dari PM
Inggris, David Cammeron yang memutuskan untuk mengundurkan diri dari
jabatannya.
Menurut
Cammeron sebagaimana dikuti sejumlah media “saya bukanlah kapten yang tepat
untuk memimpin negeri ini dalam tatanan jalan yang baru...”
Sontak
langkah tersebut semakin menggegerkan kondisi di negeri tersebut. Nilai
pondsterling terus melorot menyentuh level terendah dalam 31 tahun terakhir.
Bursa eropa dan amerika terguncang dan beragam indikator negatif mulai menghantui
perekonomian Inggris. Lembaga pemeringkat
Standard & Poor (S&P) dan Fitch misalnya,
menurunkan peringkat utang Inggris menjadi lebih brisiko untuk jangka pendek.
Pembelajaran bagi ASEAN
ASEAN sebagai forum kerjasama ekonomi regional terus menjadi sorotan
internasional. Bergeraknya arus ekonomi dari Atlantik menuju Pasifik yang
dibarengi dengan tumbuhnya angkatan kerja produktif dengan rasio yang lebih
besar dibanding jumlah penduduk tua hendaknya menjadi momentum kawasan dalam
membangun kolektifitas dan konektifitas kawasan.
Pembelajaran dari Uni Eropa yang pada masa awalnya dibangun untuk mecegah
terjadinya konflik dan mempererat hubungan antar negara dalam kawasan, sebelum
kemudian tenggelam bersamaan dengan meredupnya pertumbuhan ekonomi kawasan,
disertai banjirnya pengungsi, dan derasnya arus perpinahan tenaga kerja
diantara sesama anggota untuk mencari penghidupan yang lebih baik menjadi 3
penanda awal retaknya kesatuan Eropa.
Pembelajaran ini hendaknya dapat menjadi contoh bagi ASEAN untuk menetapkan
pilar kooperatif diantara negara-negara anggota.
Kasus yang terjadi dalam Konferensi Tingkat
Tinggi ASEAN di
Kamboja tahun 2012 dimana penyusunan Code of Conduct (CoC) yang nantinya akan
disepakati oleh semua negara anggota ASEAN dan
China yang tak kunjung “diketok” menjadi salah satu bukti konkret kurangnya
rasa “bersama” antar anggota.
Gambar 3. ASEAN - China
Perbedaan pendapat mengenai bentuk dan waktu
keterlibatan China dalam perumusan CoC telah melahirkan spekulasi mengenai
besarnya pengaruh China dalam melanggengkan perbedaan pendapat di tubuh ASEAN.
Keputusan Kamboja, sebagai tuan rumah KTT Ke-20 ASEAN,
untuk tidak memasukkan soal Laut China Selatan ke dalam agenda resmi KTT
dilihat sebagai hasil dari pengaruh dan tekanan China terhadap negara itu
(Rizal, 2012).
Dengan kata lain, kondisi
dimana gerak ASEAN berada
pada cengkaraman China akan menjadi suatu fakta yang tak terbantahkan,
dibutuhkan keberanian dan rasa “bersama” untuk mempertahankan kerangka kerjasama
di kawasan.
Komentar
Posting Komentar