Bonus Demografi ditengah keberanian mengambil sikap untuk mereformasi sistem Anggaran dan Subsidi

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sejatinya harus bisa mendorong perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Sayangnya, APBN kita sulit mencapai hal tersebut karena pendapatan negara yang tidak optimal dan belanja yang tidak efisien. Salah satu persoalan klasik yang terus membelit dalam penyususnan alokasi APBN adalah karena APBN selalu didesain defisit dalan kondisi “inoptimalisasi” pendapatan dan “inefisiensi” belanja.

“Inoptimasilasi” pendapatan terlihat dari pendapatan dalam  negeri, terutama dari perpajakkan yang jauh dari potensi yang dipunyai. Penerimaan perpajakkan, meski secara nominal terus meningkat persentasenya terhadap besaran ekonomi (produk domestik bruto) cenderung mengecil dan di bawah kondisi ideal. Nominal penerimaan pajak dalam sepuluh tahun terakhir naik 2,5 kali lipat. Namun, rasio pajak kita terhadap PDB masih di kisaran 11-12 persen, di bawah potensi yang bisa mencapai 15-16 persen. Kemudian “inefisiensi” belanja terlihat dari anggaran belanja yang terus meningkat, tetapi alokasinya tidak berbasis prioritas dan belum sesuai dengan amanat konstitusi. Belanja negara dalam sepuluh tahun terakhir juga meningkat minimal 2,5 kali lipat. Tetapi, alokasi anggaran sebagian besar dipakai untuk membayar gaji dan belanja pegawai, membayar cicilan pokok dan bunga utang, serta subsidi energy, sehingga tidak memberikan ruang yang cukup bagi pemerintah untuk menstimulasi perekonomian . Gambaran (infografik) singkat terkait postur APBN dapat disajikan sebagai berikut:

Tabel 1. Rincian Pendapatan dan Belanja Negara
Disarikan Litbang Kompas, berdasar sumber Kementerian Keuangan

Sehingga dalam menghadapi masalah-masalah klasik yang akan dan terus menjadi circle of devil dibutuhkan satu niat dan keberanian untuk menerobos politik anggaran yang selama ini membelenggu. Desain iklim politik Indonesia yang selama ini banyak di sandera parlemen (legislatif) yang ditunggangi para bandit, hendaknya berani ditarik ke dalam kerangka implementatif presidensil (eksekutif), sehingga hambatan-hambatan politis dapat di negasi dan cepat untuk diselesaikan. Mandat dan kepercayaan mayoritas masyarakat Indonesia kepada presiden terpilih, dapat menjadi satu modal sosial besar yang berguna.


Deskripsi akan satu hal yang paling rasional untuk dilakukan pemerintah saat ini ialah dengan mengurangi besaran subsidi energi yang terus membebani APBN. Proporsi konsumsi BBM bersubsidi yang selama ini di dominasi transportasi darat (97,3 persen) dengan penggunaan mobil pribadi dan sepeda motor yang masing-masing mencapai 53 persen dan 40 persen perlu untuk segera diredam, agar tidak merobek postur anggaran saat ini dan di masa-masa mendatang. dibutuhkan satu keberanian politik yang jelas dan menjamin kehidupan rakyat di masa mendatang.

Gambaran skenario kenaikan BBM bersubsidi dan perkiraan inflasi serta tambahan ruang fiskal yang disediakan dapat disajikan sebagai berikut:  

 Tabel 2. Skenario Kenaikan Harga BBM Bersubsidi
Disarikan Litbang Kompas/ LUP/ PUT, diolah dari Kementerian Keuangan


Dengan desain pilihan skenario yang tersaji, maka aktivitas pemerintah dalam mendanai dan menjadikan program yang lebih menyentuh fisik pembangunan (infrastuktur) dapat dengan mudah dan cepat dirasakan masyarakat, sehingga gerak roda ekonomi dapat segera berputar semakin cepat dan merata. Selain itu pengalihan subsidi dapat mendorong terciptanya sarana dan prasarana pendidikan dalam menunjang periode maksimal dari bonus demografi.

Indonesia dan Potensi Bonus Demografi
Bonus demografi akan membawa kemakmuran hanya apabila tenaga kerja berusia produktif tersebut berkualitas dan berada di sektor formal. Indonesia diproyeksikan mengalami puncak bonus demografi pada tahun 2013-20130. Itu berarti tersisa 14 tahun untuk memetik manfaat dari besarnya jumlah penduduk usia produktif.

Bonus demografi adalah situasi ketika penduduk usia produktif lebih banyak daripada yang tidak produktif. Hal itu hanya sekali menghampiri suatu bangsa. Pada puncak bonus demografi, Indonesia diperkirakan akan berpenduduk 300 juta jiwa, dimana 200 juta diantaranya berusia produktif 15-64 tahun. Hanya negara yang mampu membangun sumber daya manusia yang akan melompat menjadi negara maju, seperti terjadi di negara Eropa Barat, Jepang dan Korea Selatan.

Bank Dunia merinci tiga aspek supply side revolution yang berkaitan dalam memaksimalkan bonus demografi. Pertama, mempercepat penyediaan berbagai infrastruktur mendasar yang menopang kegiatan produksi dan perdagangan internasional yang selama ini membuat mahal biaya logistik (closing infrastructure gap). Kedua, penguatan kualitas sumber daya manusia yang pada hakikatnya menjadi modal utama pembangunan Indonesia. Ketiga memperlancar bekerjanya mekanisme pasar secara menyeluruh, baik untuk pasar komoditas, tenaga kerja, keuangan, maupun lahan (make market work for all).

Khusus untuk poin kedua, adalah masuk akal pernyataan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Nasional, Fasli Jalal bahwa untuk mendapat manfaat bonus demografi sumber daya manusia harus berkualitas. Manusia yang berkualitas di mulai dari kesehatan fisiknya, termasuk pertumbuhan otak, diikuti pendidikan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan serta keunggukan kompetitif dan komparatif bangsa. Membangun fisik dimulai dengan mempersiapkan calon ibu. Artinya, bukan hanya fisik remaja putri harus sehat, tetapi perempuan juga harus medapat pendidikan yang baik. Kita mengetahui gejala tubuh pendek menghinggapi anak-aak Indonesia. Hal ini menandakan kekurangan gizi yang tidak selalu disebabkan oleh kemiskinan, tetapi dapat karena ketidaktahuan orangtua mengenai gizi. Pembangunan infrastuktur ekonomi, sosial dan kesehatan yang memadai menjadi prasyarat mutlak jika kita ingin menjai negara maju.




Komentar