Jika ada yang bertanya, hal apa yang akan terus bertahan (abadi) di dunia,
mungkin jawabnya hanya 1, yaitu Perubahan.
Untuk memahami satu cara untuk melakukan perubahan, ada baiknya
kita merenungkan sedikit tulisan sastrawan terkenal Indonesia Pramoedya Ananta
Toer dalam novelnya yang terkenal Arus Balik, sebagaimana ditulis Pram:
“sekarang
makin lama makin sedikit kapal-kapal Jawa berlayar ke Utara, ke Atas Angin, ke
Campa ataupun ke Tionkok. Arus kapal dari Selatan semakin tipis. Sebaliknya
arus dari Utara semakin deras, membawa barang-barang baru, pikiran-pikiran
baru, agama baru, juga ke Tuban...
Dahulu, di
jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari Selatan ke Utara dari Nusantara ke
Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut terbesar di antara nagsa-bangsa
beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya muatannya, manusianya, amal dan
perbuatannya, cita-citanya – semua itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya
datang dari Selatan, Majapahit jatuh. Sekarang orang tidak mampu lagi membuat
kapal besar. Kapal kita hanya dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan
kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke Utara, sebaliknya dari Utara
sekarang ke Selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke
Pulau Jawa, termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama
kapal-kapal kita semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali...
Tidak
mungkin – asal kalian menguasai jalan laut lagi. Selama mereka yang menguasai,
mereka takkan menenggang kapal kita, akan menghancurkannya sama sekali. Sampai
kita dibikin tidak beranjak dari dusun kita sendiri di pesisir dan gunung
(Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik, Jakarta: Hasta Mirta 2001).
Dengan lugas pram menggambarkan relasi antara dua dunia yang waktu
itu dikenal dengan sebutan “negeri bawah angin” dan “negeri atas angin”. Negeri
bawah angin adalah sebutan lain dari Nusantara; negeri atas angin adalah
sebutan untuk wilayah sepanjang utara Nusantara, termasuk India. Semenanjung
Arab, hingga dataran Eropa. Oleh Pram relasi itu digambarkan pada sebuah
“arus”. Negeri yang besar digambarkan bergerak dari selatan menuju ke atas, ke
utara. Meski berada di “bawah”, tapi nusantara punya kemampuan untuk bergerak
ke atas, menjangkau wilayah-wilayah seberang sana. Ini berkat kekuatan arus
kapal besar.
Gambar 1. Buku Arus Balik
Arus ini memang biasa dikenal di sebuah negeri yang sebagian
besar komponennya adalah kepulauan. Laut adalah modal besar kemajuan negeri.
Simbol kedigdayaan negeri maritim seperti ini adalah pada kapal laut. Tepatnya
kapal besar. Pram menggambarkan kekuatan kapal besar ini pada muatannya:
“Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya”.
Dengan kapal ini, orang-orang negeri bawah angin bisa leluasa bergerak kesana
kemari di belahan utara, membawa berbagai amal dan perbuatan, termasuk
cita-cita, dari negeri sendiri. Tepatnya, mereka membawa kebudayaan dan ide-ide
besar dan dengan itu mereka besar dan kuat. Arus ini pula yang membawa
kmakmuran bagi negeri. Dengan kata lain ke Utara membawa ide dan pulan kembali
ke Selatan membawa kekayaan untuk negeri.
Tapi, apa yang terjadi kemudian, ketika lambat laun arus mulai
berbalik? Yakni dari Utara ke Selatan. Kerajaan menjadi kecil, demikian pula
kapalnya dan juga manusianya menjadi kerdil. Kalau sebelumnya penduduk negeri
di bawah angin adalah pencipta ide-ide, kini menjadi pemanah ide-ide. Alias
konsumtif belaka. Merekapun tidak banyak lagi memiliki kapal sendiri., apalagi
kapal besar. Kebanyakan sudah menjadi buruh bagi kapal-kapal asing yang datang
dari Utara. Sebagian lagi menjadi kuli yang mengusung kekayaan negeri sendiri
naik ke atas kapal-kapal asing itu. Arus balik inilah yang membawa
segala-galanya ke Jawa termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan.
Bung Karno dalam satu catatannya pernah menuliskan tentang apa
yang beliau sebut sebagai jas merah (jangan
sekali-kali melupakan sejarah), melalui kata tersebut Bung ingin mengingatkan
mengenai lintas sejarah yang tidak boleh dilupakan generasi di bawahnya.
“Seekor kedelai tidak akan jatuh pada lubang yang sama untuk kedua kalinya”,
akankah kita menjadi bebal ketika kita tidak mau belajar sejarah dan terus
berputar pada kesalahan yang sama?
Dalam pengembangan teori dan kajian praktik manajemen perubahan
terdapat beberapa langkah yang dapat membantu Indonesia dalam menghadapi
persolan yang membelitnya. Arus perubahan akan menjadi persoalan jika kita
tidak mampu memanfaatkan kondisi yang ada. Sampai kapan kita akan terus mencari
kambing hitam atas kegagalan penyusunan perencanaan pembangunan? Dalam kajian
Manajemen Perubahan, Burnes mengungkapkan tentang 2 pendekatan dalam mengatasi
perubahan yang terjadi. Adalah planned
approach dan emergent approach yang dapat menjadi pendekatan guna
menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
Dalam planned approach, pemerintah
Indonesia pada era order baru sebenarnya telah mencoba dengan metode penyusunan
Rencana Pembangunan Lima Tahun atau biasa disingkat Repelita dan Garis Besar
Haluan Negara atau biasa disingkat GBHN. Melalui dua induk rencana pembangunan
teresbut pemerintah mencoba menetapkan dan mengukur suatu sasaran pembangunan.
Namun dalam geraknya pasaca reformasi, disebabkan oleh ego leader dalam memahami arti kepemimpinan, kebijakan perencanaan
pembangunan telah menjadi terabaikan dan menjadi bias. Hampir setiap berganti
presiden, pengambilan keputusan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) akan terus berubah, hal tersebut
makin diperparah susunan menteri yang tidak capable
di bidangnya masing-masing akibat prakti politik “bagi kursi”. Diperlukan satu
kerangka kerja bersama apabila Indonesia ingin maju. Di sisi lain, perkembangan
politik, ekonomi dan sosial global yang semakin terintegrasi telah menuntut
perubahan yang dapat terjadi dalam “sekejab”. Penyusunan kerangka dasar memang
membutuhkan planned approach dalam
mengatasi hal yang ada, namun perlu dipertimbangkan pula emergent approach dalam mengatasi gelombang perubahan yang terjadi.
Dalam skala mikro sebagaimana diurai IBM dalam studi-nya tahun
2008, menyatakan bahwa dari 75 persen CEO menyatakan bahwa pendekatan yang
mereka gunakan saat ini, rata-rata dilakukan secara informal, ad hoc atau
improvisasi. Pada tahun 2004 misalnya, faktor pasar seperti tren pelanggan ,
pergeseran pasar dan tindakan pesaing mendominasi agenda CEO dan hal lain
seperti sosial ekonomi, isu geopolitik dan lingkungan dipandang kurang penting.
Tapi pada 2008, faktorial eksternal telah menuntut CEO untuk menyeimbangkan
sudut pandang mereka. 3 Faktor utama telah menuntut perhatian yang lebih dari
CEO, yaitu:
a. Market
factors
b. People
skills
c. Technology
Pada tahun 2006, sebanyak 22% CEO merasa bahwa ekspetasi perubahan
yang mereka harapkan adalah lebih lambat dan jumlah tersebut meingkat pada
tahun 2008 dimana terdapat 60 persen CEO yang mengalami rasa khawatir yang
sama.
Indonesia sebagai negara yang selama ini menjalankan gerak
operasionalnya secara autopilot
tengah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yang ditopang oleh bonus
demografi yang cukup besar. Namun rentang masa bonus demografi akan menjadi boomerang yang mencederai Indonesia
sendiri, jika ia tidak mampu memanfaatkan setiap peluang yang ada. Angka pertumbuhan
rata-rata yang mencapai 5,8 persen sangatlah tidak cukup. Merujuk jawaban poin
diatas, dimana Indonesia berpotensi menjadi negara gagal, apabila idak mampu
menggenjot angka pertumbuhannya ke angka dua digit. Bonus demografi juga akan
habis masa-nya dalam rentang 14 tahun mendatang. Dibutuhkan satu agen perubahan
dalam mengakomodir kondisi yang ada.
Burnes sendiri sebenarnya telah mengenalkan beberapa model agen
perubahan. Dalam kajiannya Burnes memperkenalkan mengenai Leadership models,
Management Models, Consultancy models dan Team models. Dalam satu opini saya
pribadi, saat ini diperlukan satu model agen perubahan yaitu, Leadership
models. Dalam skala negara, Leadership Models dapat diartikan dengan posisi
jabatan presiden.
Muncul dan terpilihnya Jokowi sebagai presiden Indonesa ketujuh
telah membawa pesan yang tegas dari rakyat, dimana mereka telah menjadi sangat
“muak” dengan kondisi yang ada. Mereka mencari pemimpin yang mampu memberikan
satu keteladanan dari tindakan, bukan sekedar kata-kata. Rakyat semakin sadar
akan kedalaman mencari dan mempelajari substansi bukan sekedar mencari sensasi.
Modal inilah yang dapat menjadi modal sosial Jokowi dalam menjalankan
pemerintahannya 5 tahun mendatang. Dan corak kepemimpinan ala “demokrasi terpimpin”
dapat menjadi alternatif jalan yang diambil. Seperti diurai Stace dan Dunphy
dalam Burnes yang mengidentifikasi pendekatan manajemen berdasar “degree to ehich employees are involved in
planning and executing change” dengan 4 pendekatan: collaborative,
consultative, directive dan coercive. Pilihan alternatif collaborative dapat
menjadi pilihan rasional yang dimiliki Jokowi.
Gambar 2. Kampanye Jokowi 2014
Dengan mandat rakyat, acuan revolusi mental dan dukungan banyak
pihak yang memiliki integritas Jokowi diharapkan berani mengimplementasi
rencana program kerjanya. Fase unfreezing,
moving, refreezing merujuk three step model saat ini sedang berlangsung dan
telah dipraktikan presiden terilih pada jabatan yng diemban yang bersangkutan
sebelumnya dan nilai keberhasilan telah didapat yang bersangkutan. Hambatan
akan budaya organisasi dan power, serta politik yang mengganggu terbukti dapat
direduksi.
Kapan perubahan tersebut perlu
dilakukan?
Perubahan perlu dilakukan sekarang dan dimulai dari diri sendiri.
Merujuk kalimat calon presiden no 1 dalam kampanye tahun 2014 di berbagai media lokal dan nasional yang
berbunyi “kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi” dapat
menjadi motor penggerak saat kapan kita mengharapkan perubahan dan kapan kita
harus berubah.
Komentar
Posting Komentar