Jalesveva Jayamahe - Di Laut Kita Jaya

Paradigma masyarakat Indonesia tentang laut cenderung berbeda dengan realitas sehingga arah kebijakan pembangunan lebih condong seolah kelautan menjadi sektor yang terpinggirkan (peripheral sector). Rencana pembangunan proyek Jembatan Selat Sunda, misalnya mencerminkan nalar daratan yang masih kuat. Penyebutan Indonesia sebagai negara maritim dalam kebijakan ekonomi nasional menjadi hambar. Sejarahwan AB Lapian dalam risetnya, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut (2009) menyatakan bahwa Indonesia disatukan oleh laut, bukan dipisahkan. Laut merupakan jalan raya (tol) yang menyatukan wilayah-wilayah dan pulau-pulau dari 17.800 di negeri ini. Dengan demikian, mental budaya maritim menjadi identitas manusia Indonesia seutuhnya yang menyatu dengan laut, bukan direduksi oleh nalar daratan.

Studi tahun 2014 Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menakar kerugian akibat penangkapan ikan ilegal di dunia mencapai 11-26 juta ton setiap tahun dengan total kerugian ditaksir 10-23 miliar dollar AS. Dari jumlah tersebut, 30 persen kejahatan perikanan dunia berlangsung di perairan Indonesia.

Dengan ukuran data FAO tersebut, potensi penerimaan ikan yang hilang mencapai Rp. 100 triliun. Persentase kerugian tersebut tidak mengalami perubahan dibandingkan data FAO 2001. Kinerja pemberantasan perikanan ilegal nyaris tak ada kemajuan. Kerugian yang fantastis itu mengindikasi dua hal, yakni kekayaan laut Indonesia yang terus dijarah dan posisi Inonesia yang terancam dalam perdagangan internasional, karena konsumen dunia yang semakin menghindari produk curian. Ironisnya sebagian ikan hasil curian dipasok lagi masuk ke Indonesia dalam bentuk ikan impor yang kerap kali dicampur formalin. Harga jual dari ikan-ikan tersebut terkadang bahkan dipatok lebih rendah dari tangkapan nelayan lokal.

Penjarahan ikan merugikan negara dan memiskinkan nelayan. Hingga kini 97 persen dari 2,7 juta nelayan Indonesia adalah nelayan kecil yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pemberantasan pencurian ikan adalah harga mati yang harus dilakukan pemerintah jika mereka berkomitmen membangun negara. Hadiah Tuhan berupa luas lautan mencapai dua pertiga dari keseluruhan wilayah tanah air dan garis pantai terpanjang di duni dengan bentangan luas 95,181 kilometer yang memiliki nilai ekonomis terbesar di seluruh dunia, seharusnya dapat menjadi rahmat, sekaligus titipan Tuhan yang dapat dikelola dengan baik seturut amanat UUD 1045 pasal 33.

Gambar1. Jalesveva Jayamahe

Membangun kesadaran dan Mewujudkan Visi Maritim
Dalam mengubah kesadaran akan jati diri bangsa Indonesia, presiden terpilih Joko Widodo menggaggas akan satu bentuk visi kelautan bersama yang disebutnya Poros Maritim Dunia. Dibutuhkan konsistensi dan kerja keras dalam mengaktualisasi visi besar tersebut.  Kerja untuk mewujudkan gagasan Poros Maritim Dunia setidaknya memerlukan tiga strategi yang mendasar. Pertama, kesiapan sumber daya manusia. Hal ini perlu dimulai dengan melakukan pengarusutamaan wawasan bahari ke dalam proses pendidikan. Indonesia juga perlu menyiapkan keahlian di berbagai bidang kelautan, mulai dari yang bersifat teknis, teknologi sampai ahli-ahli strategi dan hukum laut internasional. Pada level yang lebih strategis, bangsa Indonesia juga perlu memperkuat kesadaran lingkungan maritim (maritime domain awareness/ MDA). Kedua, wawasan bahari dan MDA perlu ditopang oleh, dan dituangkan dalam determinasi untuk melakukan penguatan infrastruktur maritim. Ketiga, pembangunan maritim disadari memerlukan biaya yang besar, ketersediaan teknologi yang cukup dan waktu yang panjang. Sulit rasanya membayangkan semua itu dapat dipenuhi sendiri oleh Indonesia secara mandiri. karena itu Indonesia perlu menyusun kerangka kerja sama kemitraan maritim multilateral untuk mewujudkan cita-cita dan pelaksanaan agenda pembangunan poros maritim ini.  

Mewujudkan Poros Maritim
Kompetisi ekonomi global abad ke-21 akan selalu mengacu pada persaingan memperoleh sumber daya dan pasar. Konstruksi persaingan ini pun bergeser ke lautan sebagai potensi baru pertumbuhan di tengah persoalan globalisasi dalam transformasi ekonomi politik dan budaya serta pergeseran paradigma perubahan sistem dengan teknologi sebagai kekuatan pendorong.

Kenyataan ini dicerminkan Indonesia melalui Poros Maritim Dunia pemerintah baru Joko Wdodo, ataupun presiden RRT Xi Jinping dalam strategi yang dirumuskan sebagai haishang sichou zhi lu (Jalan Sutra Maritim. Indonesia mencoba kembali ke jati dirinya (Rizal Sukma, Kompas, 20/8), sedangkan untuk Tiongkok, maritim menjadi platform baru penyegaran kembali impian Tiongkok untuk memperluas kemitraan perdagangan di Asia Pasifik.

Khusus di kawasan, kehadiran “armada” Tiongkok hari ini dapat dikatakan mulai mengganggu stabilitas kawasan. Terjadinya perseteruan di Laut Cina Selatan ternyata hingga hari ini tidak berhasil membuktikan ada kandungan minyak dan gas yang menjadi rebutan banyak pihak (Reuters, 23/7). Masalah yang kemudian mengemuka di kawasan lebih di dasarkan pada keamanan panganyang sangat mendesak dan dibutuhkan Tiongkok.

Sebagaimana dihimpun Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) dalam laporannya 2014 menyebutkan konsumsi ikan per kapitaTiongkok pda tahun 2010 mencapai 35,1 kilogram. Itu berarti dua kali rata-rata dunia yang 18,9 kilogram. Ketika agresivitas salah satu negara kuat dikawasan mulai terbentuk akibat keamanan pangan yang dapat memicu “perang”, sudah menjadi keharusan bagi kita, bangsa Indonesia memulai dan meluaskan kepentingan kita akan penguasaan laut.

Dalam pidato kemenangannya sesaat setelah pengumuman yang dilakukan KPU, presiden terpilih Joko Widodo dalam pidatonya menyinggung satu gagasan besar terkait konsep Poros Maritim yang direncanakan dibangun dengan bertumpu pada pusat pertumbuhan ekonomi di Alur Lintas Kepulauan Indonesia (ALKI)  dan kawasan pulau-pulau terluar. “Pembangunan poros ini rencananya 10 tahun” kata pakar Kelautan dan Perikanan IPB yang juga bagian dari tim pakar kelautan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Rokhmin Dahuri (Kompas 26/7).

Poros maritim sendiri, menurut Rizal Sukma (2014) dapat dipahami dalam tiga makna atau unsur. 

Pertama, poros maritim dapat dilihat sebagai sebuah visi atau cita-cita mengenai Indonesia yang ingin dibangun. Dalam konteks ini gagasan poros maritime merupakan sebuah seruan besar kembali ke jati diri Indonesia atau identitas nasional sebagai sebuah Negara kepulauan, yang diharapkan akan mewujud dalam bentuk Indonesia sebagai kekuatan maritim yang bersatu (unity), sejahtera (prosperity) dan berwibawa (dignity). Kedua, poros maritim juga dapat dipahami sebagai sebuah doktrin yang memberi arahan mengenai tujuan bersama (a sense of common purpose).

Sebagai doktrin, Jokowi mengajak bangsa Indonesiamelihat dirinya sebagai “Pros Maritim Dunia, Kekuatan di Antara Dua Samudera.” Doktrin ini menekankan realitas geografis, geostrategis dan geoekonomi Indonesia yang masa depannya tergantung dan pada saat yang bersamaan ikut mempengaruhi dinamika di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Ketiga, gagasan poros maritime Jokowi tidak berhenti pada level abstraksi dan koseptualisasi. Gagasan itu menjadi operasional ketika platform Jokowi juga memuat sejumlah agenda konkret yang ingin diwujudkan dalam pemerintahannya ke depan.

Dalam paparannya menurut Rokhim, sebagaimana dikutip di harian yang sama, di Indonesia ada tiga ALKI, yaitu jalur lintasan pertama di kawasan Barat yang melewati Laut Cina Selatan hingga selat Sunda dan bermuara di Samudera Hindia. Jalur kedua ALKI melintasi Selat Makassar, berlanjut hingga Selat Lombok, Nusa Tenggara Barat, sedangkan ALKI ketiga di kawasan Timur masuk dari Halmahera menuju Laut Banda dan keluar di Selat Ombai, Nusa Tenggara Timur. Secara rinci pusat pertumbuhan di kawasan barat berada di Cibening dan Cilegon. Pusat pertumbuhan di tengah ada di Nunukan dan Trakan, Kalimantan Utara, sedangkan di timur dipusatkan di Bitung, Morotai dan Sorong. Inilah sepotong gambaran akan rencana pembangunan maritim di bumi nusantara.

Sebagai satu gambaran kecil energi yang bersifat global yang diharapkan dapat menjadi bekal lainnya untuk presiden terpilih, misalnya dengan mengadopsi instrumen perlindungan nelayan kecil pertama di dunia yang bernama Voluntary Guidelines for Securing Sustainable Small Scale Fisherles (VGSSF) yang berisi 13 pasal yang mengatur pembaruan agraria kelautan, kelayakan lingkungan kerja neayan, rantai dagang berkeadilan, peran strategis perempuan pada hilir-hilir perikanan, perubahan iklim termasuk dukungan implementasi dan pemantauan VGSSF di negara masing-masing. Disadari memang perhatian terhadap sektor kelautan dan perikanan terus mengalami peningkatan, ini ditandai dengan penambahan alokasi APBN yang rata-rata hampir 20 persen er tahun. Sayangnya, besar amggaran itu belum diikuti prestasi menyelesaikam akar kemiskinan dan tantangan nelayan.

Pertama, ketimpangan pemanfaatan sumber daya agraria perikanan. Sekitar 90 persen dari 2,8 juta nelayan kecil hanya mampu membawa rata-rata 2 kilogram ikan per hari. Jika dapat menjual seluruh ikan ke pasar, mereka akan mendapat penghasilan Rp. 20.000 – 30.000. bukan karena laut tidak memiliki ikan, tetapi lebih disebabkan kapal berbobot besar dibuarkan bebas menangkap ikan di perairan kepulauan. Faktanya, 95 persen armada ikan Indonesia, termasuk kapal berbobot mati 20-100 GT, beroperasi di perairan kurang dari 12 mil laut dari garis pantai. Hanya 0,5 persen sisanya berarti berhadapan dengan kapal ikan asing di Zona Ekonomi Esklusif Indonesia (12-200 mil laut). Ini diperparah dengan kualitas lingkungan dan cuaca laut yang kian buruk.
Kedua, terabaikannya pemenuhan hak dasar keluarga nelayan. Di marunda, Jakarta Utara yang berjarak kurang dari 20 kilometer dari Istana Presiden, kealpaan pemerintah melindungi keluarga nelayan terlihat kasat mata. Ketidaklayakan fasilitas kesehatan dan pendidikan, kesulitan mendapat air bersih hingga pemukiman dan lingkungan perairan yang buruk. Terakhir meluasnya arus liberalisasi hingga ke perkampungan nelayan. Pada akhir 2015 Indonesia measuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Komoditas perikanan menjadi satu dari 12 sektor priioritas pasar tunggal ASEAN. Dengan buruknya prestasi pemerintah meindungi keluarga nelayan. MEA berpotensi membanjiri laut ndonesia dengan nelayan asing, kapal bukan berbendera merah-putih, maupun produk perikanan impor dari Thailand, Filiphina, Vietnam dan Malaysia.


Gambar 2. Ilustrasi Pinishi

Jika dijalankan VGSSF dapat membantu presiden terpilih untuk mengurangi angka kemiskinan dan membuka lapangan kerja. Instrumen ini daat dijadikan momentum pemerintahan baru untuk mengembalikan kejayaan Indonesia di laut, mengutip satu lagu anak yang sering didengarkan penulis sewaktu kecil

“nenek moyangku orang pelaut
gemar mengarung luas samudera
menerjang ombak tiada takut
menempuh badai sudah biasa

angin bertup layar terkembang
ombak berdebur di tepi pantai
pemuda berani bangkit sekarang
ke laut kita beramai-ramai

Hendaknya dapat menjadi pengingat besar dan jayanya nusantara di era Kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya, sebab inilah kekuatan yang menjadi pijakan diakuinya peradaban besar nusantara.


Komentar