Subsidi menjadi salah satu momok menakutkan bagi 5 pemerintahan berkuasa di Indonesia dalam menjalankan praktik tugas dan fungsi pelayanannya bagi masyarakat.
Distorsi pemberian subsidi, terutama bahan bakar minyak telah melumpuhkan aktivitas produktif pemerintah menjadi konsumtif.
Wacana pencabutan subsidi telah bergulir lama, didorong hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia tentang dampak pengurangan subsidi bbm terhadap angka kemiskinan menjadi cerita lain dari dukungan akademisi terhadap rencana pengurangan subsidi oleh pemerintah tersebut.
Indonesia dan subsidi energi fossil
Ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil menjadi suatu fakta yang tidak terbantahkan. Dengan laju produksi yang mencapai rata-rata produksi 800.000 barel per hari dan diasumsikan tidak ada penemuan ladang minyak baru, maka cadangan minyak Indonesia yang berjumlah sekitar 3,7 miliar barel akan habis dalam 11 tahun ke depan (Kompas, 5 Maret 2015).
Cadangan gas bumi akan habis dalam 40 tahun ke depan, sementara itu cadangan batubara masih akan tersedia hingga 80 tahun mendatang (Setiawan, 2012).
Dampak dari pencabutan subsidi mengakibatkan industri otomotif merespon negatif. Setidaknya berdasar data yang berhasil dihimpun Gaikindo mencatat terjadinya penurunan produksi dan penjualan domestik akibat pencabutan subsidi bbm secara bertahap pada tahun 2013.
Dibutuhkan satu pendekatan khusus untuk mencegah kepanikan pasar. Metode pendekatan ala "jokowi" yang mencoba memberi pandangan tanpa bumbu politik yang terlalu manis, telah memberi pemahaman yang "masuk akal" bagi masyarakat.
Disusun: Parikesit dan Susanto
Distorsi pemberian subsidi, terutama bahan bakar minyak telah melumpuhkan aktivitas produktif pemerintah menjadi konsumtif.
Wacana pencabutan subsidi telah bergulir lama, didorong hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia tentang dampak pengurangan subsidi bbm terhadap angka kemiskinan menjadi cerita lain dari dukungan akademisi terhadap rencana pengurangan subsidi oleh pemerintah tersebut.
Indonesia dan subsidi energi fossil
Ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil menjadi suatu fakta yang tidak terbantahkan. Dengan laju produksi yang mencapai rata-rata produksi 800.000 barel per hari dan diasumsikan tidak ada penemuan ladang minyak baru, maka cadangan minyak Indonesia yang berjumlah sekitar 3,7 miliar barel akan habis dalam 11 tahun ke depan (Kompas, 5 Maret 2015).
Cadangan gas bumi akan habis dalam 40 tahun ke depan, sementara itu cadangan batubara masih akan tersedia hingga 80 tahun mendatang (Setiawan, 2012).
Menurut Bank Dunia, konsumsi energi fosil Indonesia per tahun 2009 mencapai 65,6% dari keseluruhan total konsumsi energi. Besaran persentase tersebut tentunya cukup mengkhawatirkan mengingat potensi energi fosil yang terus menurun dari waktu ke waktu. Adapun besaran konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) Indonesia berdasar data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam rentang 2007-2013 akan disajikan dalam tabel berikut:
Konsumsi BBM Nasional
Sumber: diolah dari Kemenkeu (2014)
Dari jumlah tersebut dapat dilihat bahwa konsumsi energi fosil terus mengalami peningkatan. Di sisi lain, akibat minimnya penggunaan sumber energi terbarukan, besaran Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang digunakan untuk menyubsidi harga BBM terus melonjak tajam.
Konsumsi energi fosil secara masif telah menciptakan dampak negatif terhadap lingkungan dan menciptakan parasit dalam sendi ekonomi Indonesia akibat kebijakan subsidi bahan bakar yang mendistorsi.
Berdasar data Kemenkeu dan pemberitaan Kompas adapun besaran subsidi BBM dalam rentang 2008-2016 dapat disajikan sebagai berikut:
No Tahun Besaran Subsidi
1. 2008 139,10
2. 2009 45,00
3. 2010 82,40
4. 2011 165,20
5. 2012 211,90
6. 2013 210,00
7. 2014 240,00
8. 2015* 64,70
9. 2016** 63,70
*) APBNP
**) APBN
disajikan dalam triliun Rupiah
Sumber: diolah dari Kemenkeu dan Kompas (2016)
Jika diperhatikan dalam sajian penjelasan di atas, besaran subsidi pada 2009, 2013 dan 2015 sempat mengalami penurunan dan kembali naik di tahun-tahun berikutnya, kecuali pasca 2015.
Penurunan besaran subsidi BBM bukan dipengaruhi oleh faktor turunnya konsumsi BBM oleh masyarakat, namun lebih dipengaruhi kenaikan harga BBM oleh pemerintah. Tanpa kebijakan pola kebijakan subsidi yang tepat, besaran APBN akan terus tergerus oleh subsidi energi yang bersifat konsumtif dan tidak produktif.
Pembelajaran dari pengurangan subsidi BBM 2013
Tahun 2013 menjadi ujian pertama keberanian presiden SBY melakukan pengurangan subsidi untuk kegiatan perekonomian yang lebih produktif.Dampak dari pencabutan subsidi mengakibatkan industri otomotif merespon negatif. Setidaknya berdasar data yang berhasil dihimpun Gaikindo mencatat terjadinya penurunan produksi dan penjualan domestik akibat pencabutan subsidi bbm secara bertahap pada tahun 2013.
Lonjakan harga bbm pada tahun 2013 yang mencapai titik kenaikan signifikan (Lihat tabel sejarah BBM indonesia dibawah) ditenggarai telah menyebabkan pasar otomotif merespon negatif.
Dibutuhkan satu pendekatan khusus untuk mencegah kepanikan pasar. Metode pendekatan ala "jokowi" yang mencoba memberi pandangan tanpa bumbu politik yang terlalu manis, telah memberi pemahaman yang "masuk akal" bagi masyarakat.
Disusun: Parikesit dan Susanto
Komentar
Posting Komentar