Gerakan diantara 2 sisi bernama Teologi Pembebasan

Teologi Pembebasan adalah suatu kajian atas "decak" penderitaan masyarakat di Amerika Latin yang terusir dari tanah tempat tinggalnya sendiri.

Sebagai suatu bentuk gerakan sosial, teologi pembebasan menimbulkan banyak perhatian besar, bukan hanya dari kubu internal gereja katolik roma (vatikan) sendiri, tapi juga menyita perhatian pentagon, terutama mereka yang berada di pusaran kekuasaan presiden Ronald Reagen kala itu.



Tonggak teologi pembebasan yang dibangun jauh melampaui kerangka perdebatan ideologis dan teologis yang tradisional telah melahirkan tantangan praktis terhadap kekuasaan yang telah mapan. Pemahaman akan bentuk teologi pembebasan inilah yang kemudian menjadikannya momok menakutkan bagi sebagian lapis masyarakat yang telah berada pada level mapan, termasuk kaum kapitalis dan klerus didalamnya.

Leonardo Boff dalam Lowl (2013) menyatakan teologi pembebasan sebagai pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praxis yang sudah ada sebelumnya.

Teologi Pembebasan secara populer lahir dari rahim tulis Gustavo Gutierrez, seorang imam Jesuit melalui karya bukunya yang berjudul Liberation Theology: Perspective.

Melalui karyanya ini, Gutierrez mengajukan berbagai gagasan antikemapanan yang kemudian membawa pengaruh kuat yang terduga sebelumnya terhadap doktrin gereja (Lowl,2013).

Pada tahap 1, Gutierrez menekankan perlunya melepaskan diri dari paham ganda yang terwarisi dari pemikiran filsafat Yunani Platonis bahwa tidak ada 2 kenyataan seperti yang mereka pradugakan selama ini, yang satu bersikap fana, yang lain bersifat rohani dan bahwa tidak ada 2 wajah sejarah, yang satu suci (sacred) yang lainnya duniawi (profane). Hanya ada 1 sejarah dan itu terjadi dalam sejarah manusia yang fana, bahwa penebusan dan kerajaan Tuhan mesti diwujudkan kini dan di dunia ini.

Pandangan akan teologi pembebasan ini juga muncul sebagai respon dari Kitab Keluaran dalam Injil yang memperlihatkan "Manusia membangun dirinya dengan kekuatannya sendiri melalui perjuangannya yang bersejarah".

Berdasar pandangan ini orang miskin tidak boleh terus menerus menjadi obyek kedermawanan tetapi harus mampu menjadikan dirinya pelaku perjuangan kebebasan. Tentang bagaimana hal tersebut dilakukan, sebagaimana diungkapkan dalam injil bahwa penyelamatan akan datang dengan sifat komunal (bersama) bukan atas kehendak dan kepentingan pribadi.

Gereja dan tertidurnya sang harimau roma
Semangat teologi pembebasan berangkat dari perpaduan kitab keluaran dalam injil, serta penggunaan alat analisis marxisme dalam menjawab sebab musabab kemiskinan, pertentangan kapitalisme dan perjuangan kelas.

Perhatian penguasa pusat gereja roma (vatikan) yang condong menolak segala bentuk ajaran marxisme telah menjadikan wacana akan pembahasan teologi pembebasan sangat canggung untuk diperbincangkan dan didiskusikan secara umum.

Gereja Roma mencoba menekan segala bentuk upaya penyebarluasan paham teologi pembebasan. Tidak terhitung jumlah uskup, pimpinan gereja lokal dan pejabat gereja lainnya yang dibekukan, diberhentikan dan dipindah akibat keyakinan untuk memperjuangkan paham teologi ini.

Sebagai contoh misalnya hal yang menimpa Leonardo Boff, seorang teolog fransiskan dari brasilia pasca menerbitkan buku yang berjudul church, charisma and power pada tahun 1981.

Dalam bukunya tersebut Boff mengecam sistem otoriter dalam gereja yang cenderung tidak memiliki toleransi, dogmatis kaku dan pemujaan kristen pada pribadi para pemimpin tertingginya.

Bentuk pandangan negatif yang dibentuk Boff ditambah dengan tafsirannya akan hasil dan dinamika CELAM (konfrensi uskup amerika latin) di Puebla tahun 1979 yang merumuskan risahlah "Pilihan Khusus Gereja bagi Orang Miskin" setelah terjadi silang pendapat,serta pelarangan sejumlah teolog pembebasan mengikuti konfrensi menjadi bagian tidak terpisahkan gejolak pengenalan bentuk teologi ini dalam merespon kebutuhan ranah praksis.

Namun desakan untuk merespon kebutuhan teologi di belahan Amerika Latin terus bertumbuh. Kondisi sosial dan ekonomi yang berbeda dengan gereja roma (vatikan) menjadikannya ibarat sisi kepingan yang berbeda.

Guna merespon kondisi yang ada, pemimpin kongregasi suci ajaran imam, kardinal Ratzinger melalui surat gembala yang berjudul, instruction on some aspects of liberation theology mengutuk teologi pembebasan sebagai suatu bentuk baru ajaran bid'ah yang didasarkan pada konsep marxis.

Bentuk pengutukan akan paham teologi pembebasan pun akhirnya menuai banyak kritik dan penolakan dari kalangan gereja sendiri. Gereja roma dianggap telah abai akan kepentingan umat di belahan dunia lainnya.

Akibatnya konflik didalam internal menjadi semakin membesar, sebelum akhirnya ditengahi paus dan Ratzinger sendiri kala itu dengan mengeluarkan dokumen baru yang berjudul christian, liberty and liberation yang menyetujui beberapa tema teologi pembebasan, tetapi dengan lebih merohanikan dan membatasi kandungan sosialnya yang revolusioner.

Perubahan wajah gereja roma di amerika latin- pun akhirnya berhasil dilakukan secara bertahap pasca teologi pembebasan. Bahkan hari ini salah satu tokoh pembela teologi pembebasan telah menjadi pimpinan tertinggi gereja roma.

La fuerza historica de los pobres
Gustavo gutierrez pernah menyebutkan teologi pembebasan sebagai La fuerza historica de los pobres atau kekuatan si miskin dalam sejarah. Ini menunjukkan ikhtiar untuk memahami iman dari praksis yang secara historis konkrit yang membebaskan dan subversif, yang praktis kaum miskin di dunia - kelas yang diisap, kelompok etnis yang dihina dan budaya yang dipinggirkan (gunawan, 2011).

Pertanyaan menarik yang hendak disimak, seperti pelbagai gerakan sebelum abad 20 lainnya dalam menghadapi problem kemiskinan, akankah teologi pembebasan mencapai tujuan yang sosialistis tersebut? Atau hanya akan menjadi cerita layaknya Uni Soviet dan Cina yang gagal dalam eksperimen sosialisme yang radikal tersebut?

Komentar