Krisis dalam balutan perekonomian dunia

Charles P Kindleberger seorang ekonom terkenal pernah menulis bahwa salah satu topik yang tak pernah "lapuk" dalam ilmu ekonomi ialah krisis. Bagi Kindleberger krisis ekonomi akan selalu ada dari waktu ke waktu dengan beragam alasan yang melatarbelakanginya kejadiannya.

Hentakan krisis ekonomi tak pernah mengenal bentuk struktur kuat, maupun lemah dari suatu sistem ekonomi yang dianut suatu negara.

Krisis dapat datang melalui beragam saluran dan terjadi kapan saja. Respon dalam menanggulangi potensi krisis yang dilakukan secara cepat dan tepat akan mencegah terjerumusnya ekonomi ke lembah keterperosokan.

Sebagai contoh, sikap yang diambil Bank Sentral Spanyol dalam penyelamatan Bank CajaSur pada tahun 2010.

Demi mencegah terjadinya domino efek akibat kepanikan pasar, Bank Sentral Spanyol rela mengambil alih bank lokal kecil tersebut. Bank ini pada dasarnya tidak termasuk bank yang dikategorikan berdampak sistemik, tapi toh Bank Sentral Spanyol tidak berani mengambil risiko.

Faktor pembelajaran dari krisis Asia terutama yang melanda Indonesia pada tahun 1997 menjadi bahan dan bukti empiris tak terbantahkan dari gunjangan sektor perbankan yang dapat menyapu fondasi ekonomi nasional.

Krisis Indonesia tersebut, bermula dari rekomendasi IMF untuk menutup 16 bank yang dikategorikan bermasalah/kurang sehat dan memiliki pangsa pasar yang tidak terlalu besar.

Akibat penutupan bank secara mendadak, pasar bereaksi negatif dengan melakukan penarikan dana secara besar-besaran dalam waktu yang bersamaan. Dampaknya pemerintah harus menginjeksi dana secara besar-besaran, melalui penyaluran BLBI untuk menanggulangi kepanikan.

Minsky dan geliat krisis dari waktu ke waktu
Minsky seorang ekonom nonkonvensional pernah berujar:
''Tak henti-hentinya, dunia dihantui oleh krisis yang datang silih berganti, bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Di tengah-tengah kegalauan menghadapi masa depan yang masih terus akan diwarnai oleh serangkaian krisis, ada satu pertanyaan menarik: bagaimana kita akan bersikap?
(Prasetyantoko, 2010).

Roubini dalam bukunya Crisis Economics menjelaskan bahwa krisis hari ini telah menjadi sebuah rutinitas baru. Jika dulu masa normal dianggap sebagai masa tanpa krisis, maka masa tanpa krisis saat ini dapat dianggap sebagai masa abnormal.

Senada dengan hal tersebut, Paul Krugman, peraih nobel ekonomi tahun 2008 juga pernah berujar, bahwa hantaman krisis ibarat vaksin yang semakin lama semakin reisisten terhadap penyakit. Semakin lama dibutuhkan semakin banyak dosis untuk menormalkan kondisi.

Krisis telah menjadi momok yang menakutkan sekaligus tantangan yang ingin diselesaikan bagi korban dan para pemburu krisis (istilah ini muncul dari para pemikir ekonomi yang bantak melakukan kajian di negara-negara berpotensi krisis untuk mempelajari pola penyebab krisis). Hentakan krisis yang dapat terjadi tiba-tiba menjadi seni tersendiri bagi para pemburu.

Kolektifitas dan keterpaduan peran pemerintah dan swasta yang hadir dalam perekonomian, struktur regulasi, sistem hukum, peran institusi bisnis dan secara lebih spesifik peran institusi keuangan, menurut Minsky menjadi dasar keterikatan dalam pencegahan krisis. Selain itu perilaku berhutang yang mana akan memunculkan risiko gagal bayar yang semakin besar apabila akumulasi terjadi secara liar menjadi salah satu poin utama pemikiran Minsky.

Lantas bagaimana swasta dapat menjerumuskan pemerintah dalam krisis
Pembelajaran utama dari krisis swasta yang dapat menyeret pemerintah akibat kebijakan, serta regulasi keuangan yang buruk dapat disimak dari kasus Lehman Brothers.


Lehman Brothers adalah salah satu perusahaan terkemuka asal AS yang mempekerjakan setidaknya 25.000 karyawan.

Gejolak kematian Lehman Brothers mulai terjadi akibat gelembung kredit perumahan yang menlanda AS pada dekade 2000-an.

Dengan didukung suku bunga pinjaman yang rendah, harga jual rumah yang terus meningkat dari waktu ke waktu dan imbal hasil sewa yang cukup menjanjikan, setiap masyarakat AS  saat itu menjadi tergila-gila dengan investasi properti.

Namun pemberian kredit perumahan tersebut nyatanya tidak diikuti dengan penerapan regulasi yang memadai.
Akibatnya, saat terjadi letupan gelembung, dikarenakan banyaknya penerima kredit yang tidak sanggup melakukan pembayaran utang. Sejumlah perusahaan penyalur dan penjamin kredit tersungkur ke jurang titik nadir.


Guna menyelamatkan perekonomian nasionalnya, pemerintah AS harus menyuntikan miliaran dollar ke pasar uang untuk mencegah meluasnya dampak penutupan Lehman Brothers dan sejumlah intitusi keuangan lainnya.




Komentar