Cerita ini dimulai dari deret pertanyaan dialog fim The Insider,
"are you a businessmam or news man?
Dalam deret pertanyaan tersebut digambarkan tentang ketakutan manajemen CBS untuk menayangkan hasil karya jurnalisme investigatif wartawan mereka, Bergman yang mengancam pemasukan iklan perusahaan.
Dalam film tersebut, ditayangkan tentang perjuangan para jurnalis di ruang berita televisi dalam membongkar pelanggaran hukum di pabrik rokok terbesar Amerika Serikat. Sebuah Perjuangan yang berisiko besar, karena pabrik tersebut memiliki kemampuan merugikan perusahaan media yang menyiarkan hasil karya investigatifnya secara finansial.
Dengan beragam dinamika dan aksi yang terjadi, akhirnya Bergman diijinkan pihak manajemen untuk menyiarkan hasil liputan, meski pada akhirnya ia tetap memilih keluar dari ruang redaksi CBS.
Penggalan kisah diatas menggambarkan satu hal pasti, tentang bagaimana pemilik modal atau representasinya memiliki hak yang kuat untuk menetapkan dan memaksakan kebijakan redaksi (warrent breed, 1995, social control in the newsroom). Meski pada akhir cerita, mereka (para pemilik atau representasinya) juga kerapkali "tunduk" pada para panglima lapangan.
Memandang berita sebagai suatu komoditas
Era kapitalisme telah mendorong berita bukan lagi dipandang semata sebagai proses membuat dan mendistribusi informasi bagi khalayak, tetapi lebih dari itu telah mendorong para pembesar (pemilik dan representasi) yang terlibat di dalamnya untuk mengeruk keuntungan finansial dari bisnis penyediaan informasi.
Era para jurnalis idealis, seperti Paul Julius Reuter dan Walter Lippman (pendiri kantor berita Reuters), William Palley (pendiri CBS) dan Randolph Hearst, Henry Luke (pendiri Time) di belahan dunia utara yang kemudian disusul Mochtar Lubis (pendiri Indonesia Raya), Wonohito (pendiri Kedaulatan Rakyat) dan Rosihan Anwar (pendiri Pedoman) di belahan dunia selatan pun berganti dengan sederet penguasa media seperti: Rupert Murdoch (pemilik Fox Tv-USA, SKY Tv dan sederet media kenamaan dunia lainnya), Silvio Berlusconi (raja media asal italia yang juga pernah menjadi perdana menteri), Jacob Oettama (pendiri jaring kelompok Kompas Gramedia), Dahlan Iskan (Jawa Pos), hingga Surya Paloh (Media Indonesia).
Para tokoh sebagaimana disebutkan diatas telah mempertontonkan perubahan dinamika media dewasa ini.
Senjakala media cetak dan diplomasi ala televisi
Perubahan cara pandang dan platform teknologi informasi telah mendorong media untuk terus mencari peluang untuk maju atau sekedar bertahan hidup.
Seperti telah dijelaskan diatas, bahwa media telah bergeser dari praktik individu atau kelompok untuk melancarkan ide bergeser menjadi industri dengan putaran ekonomi fantastis.
(Bersambung.....)
Komentar
Posting Komentar