Dunia dalam singgungan kekerasan serta identitas

Pelbagai tindak kekerasan, intimidasi dan penyanderaan akibat perbedaan pandangan politik, agama, suku, ras atau golongan terus menjadi aksi berulang yang terus terjadi dalam dekade ini.

Pertikaian yang terjadi dalam lingkup global, nasional, maupun lokal terus berputar dan membentuk pola kekerasan yang mulai dianggap lumrah bagi komunitas. Dunia dan setiap insan didalamnya seolah hanya dipahami sebagai federasi agama atau kesatuan golongan lainnya. Dunia tersekat dalam warna perbedaan yang melakat pada identitas setiap dari kita.

Sebagaimana diceritakan Amartya Sen, seorang peraih nobel ekonomi dalam bukunya yang berjudul kekerasan dan identitas (2005) tentang sastrawan Oscar Widle yang melontarkan klaim penuh teka teki:

"Sebagian besar orang adalah orang lain"

Celoteh Wright mungkin akan membingungkan. Ia seolah menempatkan pikiran, ide dan pendapat dari setiap insan sebagai duplikasi dari insan lainnya. Dan seringkali berbagai konflik dan kekerasan dimulai dari adanya senyawa penunggalan yang ingin menyamakan dunia dalam satu kutub dan menegasi segala bentuk perbedaan.

Hasil gambar untuk the big sea

Hal senada juga kurang lebih dilontarkan seorang penulis afro-amerika, Langston Hughes yang dituangkan dalam The Big Sea (1940). Melalui bukunya tersebut ia menyatakan

"Rasanya seperti melontarkan jutaan beban ke luar batinku"

Saat ia bergegas berangkat menuju Afrika, tumpah darah dan asal bermukim orang-orang Negro. Sambil melempar buku-buku Amerika sepanjang perjalanan, ia merasakan hal yang sebenar-benarnya ia sentuh dan dilihat, bukan sekedar dibaca dalam buku.

Rasa inilah yang kemudian memiliki suatu identitas bukan hanya bisa menjadi sumber lahirnya kebanggaan dan kebahagiaan, melainkan pula sumber tumbuhnya kekuatan dan kepercayaan diri. Tidak heran bila gagasan tentang identitas memperoleh pengakuan yang begitu luas dari seruan yang sangat umum untuk mengasihi sesamahingga teori-teori canggih modal sosial dan definisi diri komunitarian (Sen, 2005).

Lebih lanjut ujar Sen, banyak pemikir komunitarian cenderung berpendapat bahwa identitas komunal yang tetap pasti hanya merupakan persoalan realisasi diri, dan bukan persoalan pilihan. Namun demikian tetap sulit bagi kita untuk percaya bahwa orang sama sekali tidak punya pilihan dalam menentukan derajat kepentingan relatif yang dikenakannya pada berbagai kelompok tempatnya bernaung atau bahwa dia hanya perlu menemukan identitas kodratinya, seolah langkah menemukan identitas itu sepenuhnya merupakan fenomena alami.

Shakepeare dalam drama yang coba dilakukan Shylock dalam buku berjudul The Merchant of Venice mengatakan

"Tidakkah orang yahudi juga punya mata? Tidakkah orang yahudi juga memiliki tangan, anggota badan, ukuran indera, rasa sayang dan hasrat? Makan dengan makanan yang sana, terluka oleh senjata yang sama, disembuhkan dengan cara yang sama, merasa hangat dan dingin oleh musim dingin dan musim panas yang sama, sebagaimana seorang kristen?

Agama sebagaimana disebutkan Sen, tidak harus menjadi identitas eksklusif yang melingkupi seluruh diri orang tersebut. Sebagaimana dicontohkan Sultan Salahudin yang bertarung dengan luar biasa di pihak islam dalam perang salib yang terjadi pada abad 12 pun akhirnya bersedia menawarkan satu posisi penting di istana Mesir kepada maimonides, seorang filsuf yahudi yang melarikan diri dari tanah eropa yang tidak toleran.

Sikap keras untuk mendesakkan, meski hanya secara tersirat, suatu identitas manusia yang tunggal dan tanpa pilihan tidak hanya membuat kita menjadi kerdil, melainkan pula akan membuat dunia jauh lebih membara. Pemikiran alternatif terhadap pengotak-kotakan kategorisasi itu bukanlah dengan melontarkan klaim tak realistis bahwa kita semua sama saja. Ilusi tentang identitas tunggal sebenarnya jauh lebih memecah ketimbangberagam jenis klasifikasi yang mencerimkan dunia tempat tinggal kita.

(Bersambung....)

Komentar