Kisah 3 Jenderal pembuka kuasa orde baru

Soeharto pada awal masa kekuasaannya merupakan sosok pembaharu jaman yang naik ke tampuk kekuasaan dengan dukungan tentara dan masyarakat.

Polarisasi politik dan memburuknya ekonomi di awal dekade 1960-an telah menyeret rakyat untuk mendorong bergulirnya sistem dan cara pemerintah baru yang tak lagi sekedar "mengaumkan" argumen-argumen politik, namun bekerja nyata untuk memenuhi sendi kehidupan ekonomi masyarakat.


Piringan nasi yang tersaji, berikut lauk yang cukup bagi sebagian masyarakat kala itu, menjadi tumpuan dalam membangun Indonesia yang merdeka.

Namun apa mau dikata, penunggalan tokoh dari kekuasaan absolut akan selalu melahirkan rezim otoriter dan sudah menjadi cerita berulang saat kekuasaan telah merobek nalar banyak pemimpin untuk tidak lagi mengurusi perut masyarakat-nya, namun cenderung aktif memenuhi "hobi" dari praktik kekuasaanya.

Bagi beberapa penguasa, kekuasaan dalam banyak kasus telah memanipulasi dirinya untuk senantiasa menyingkirkan para pendukung setianya - yang berpotensi mengancam kontrolnya atas negara dan tentara.

Kisah tersebut misalnya dapat dilihat dari masa awal kekuasaan Kesultanan Turki (Kemarharajaan Ottaman) yang melalui potongan sejarah menggambarkan tindak tanduk negatif dari sejumlah sultan untuk melanggengkan kekuasaan dengan melakukan pembunuhan, bahkan terhadap saudara kandungnya sendiri begitu sang sultan terpilih naik tahta.

Pun demikian, cerita yang dialami Uni Soviet, dimana para "kamerad" yang tadinya berjuang bersama Stanlin demi kemerdekaan, justru pada masa emas rezim otoriter bergulir, dibinasakan.

Gejala ini juga menjadi pengalaman Mao Zedong kala mempimpin Cina.

Soekarno dan Soeharto sebagaimana dicatat Said (2016) memang tidak seganas para sultan Ottoman, Stanlin, maupun Mao. Namun kecenderungan untuk "mematikan" langkah politik rival tetaplah berlangsung.

Di era Soekarno misalnya, nasib ini menghantui Jenderal Nasution yang digantikan Jenderal Ahmad Yani pada tahun 1962.

Persahabatan diantara kedua pemimpin sempat berjalan manis, kala hadangan penguasa Belanda yang masih berusaha menancapkan "kuku" kuasanya di wilayah bekas jajahannya terus berlangsung.

Namun saat negeri ini "steril" dari potensi invasi, perilaku Soekarno yang mencoba memainkan perang nasionalisme dan komunisme, serta membentuk sistem parlementer telah membuat hubungan diantara kedua tokoh merenggang.

Buntut dari perselisihan meruncing dengan diarahkannya sejumlah meriam dari Monas ke Istana Merdeka atas instruksi Nasution, meski kemudian tidak menimbulkan tragedi.

Hal serupa juga terjadi saat rezim Soeharto berkuasa. Jasa para jenderal, seperti Kemal Idris, Dharsono dan Sarwo edhi wibowo berakhir tragis demi mencegah lahirnya "matahari kembar" pada era orde baru. Kisah dari para jenderal tersebut dapat dituturkan sebagai berikut:

DHARSONO
Dalam satu kisah, jenderal Dharsono merupakan jenderal dengan gempita pamor dan ketenaran yang cukup mentereng di era-nya.

Ia adalah jenderal bintang dua berpangkat Mayjend yang pernah menjabat sebagai Panglima Daerah Militer IV Siliwangi sebelum digeser menjadi Duta Besar Thailand pada tahun 1969 dan Duta Besar Kamboja pada sekitar tahun 1970-an.

Sebagai salah satu jenderal pembuka jalan kekuasaan orde baru. Mayjend Hartono tampak menjadi jenderal yang dipinggirkan oleh orde yang dibidaninya.

Ketakutan penguasa akan lahirnya matahari kembar menjadi alasan presiden Soeharto kala itu menggeser jauh jenderal bintang dua ini.

Sebagai militer pecinta kebenaran, Dharsono selalu menunjukkan keberaniannya bahkan saat melawan penguasa orde kala itu.


Bersama sejumlah tokoh pada tahun 1980, ia menjadi salah satu penandatangan petisi 50 yang kemudian menjerumuskan dirinya dalam konflik dengan penguasa.

Puncaknya saat pecah kasus pemboman salah satu cabang Bank Central Asia di jalan hayam wuruk, gajah mada, jakarta tahun 1984, nama Dharsono terseret dalam pusaran tersangka.

Ia diadili secara tidak adil dan diharuskan mendekam 10 tahun lamanya di dalam sel penjara.

Namun setelah 5 tahun menjalani masa hukumannya pada tahun 1990 ia bebas dari penjara. Tak banyak aktivitas yang dilakoninya pasca keluar penjara. Ia pun tidak mendendam kepada penguasa yang telah dia besarkan, sekaligus menjebloskannya dalam kubangan sel tahanan.

Kisah di penjara telah menggerogoti tubuhnya hingga ia terkena bronkitis parah. Dan tepat pada usianya yang menginjak 70 tahun, ia pun dipanggil Sang Penguasa Kehidupan. Tak ada rasa dengki yang muncul darinya, maupun keluarganya.

Dan dalam perjalanan menuju kehidupan abadinya, ia bahkan dilarang untuk dimakamkan di taman makam pahlawan. Hal tersebut sampai membuat Jenderal Kemal Idris berguman "seperti menguburkan kucing saja".

Sungguh sebuah ironi dari salah satu kisah pahlawan pembuka jalan orde baru yang justru tersingkir dari roman yang ia ciptakan.

(Bersambung.....)

Komentar