Penggalan tulisan ini akan dimulai tentang politik dan dinamika atasnya yang diluncurkan dalam gambar berikut:
Bagi Bertold Breacht manusia tidak bisa menjadi mahkluk apolitis karena hidup tanpa politik adalah hidup mimpi dalam pusaran tanah surga. Politik bagi Breacht akan membawa tatar hidup kritis manusia (masyarakat umum) terhadap tindak tanduk dari kebijakan penguasa.
Sama seperti Breacht, Mao salah seorang penguasa paling termasyur asal Cina pernah mengatakan
"Politik adalah perang tanpa darah, sedang perang adalah politik dengan darah."
Sumbu politik memang selalu menjadi roman yang tak kunjung bosan untuk dicermati, terutama bagi mereka yang bermukim di negara yang masih jauh dari kata stabil dan sejahtera.
Politik bagi para penikmatnya, dianggap sebagai jalan untuk memperoleh kuasa dan kekayaan. Sehingga tanpa bercokol dalam politik, impian kemapanan yang menjadi tujuan pencapaian hidup mereka niscaya akan tercapai.
Pun demikian cerita di Indonesia. Politik selalu menjadi warna harapan sebagian kaum untuk menjadi penerang kemewahan tanpa cucur keringat usaha. Akibatnya banyak masyarakat terdilusi dalam fatamorgana "nikmat" politik.
Politik dan keteladanan kepemimpinan
Jika ada orang yang bisa menjelaskan politik secara bermartabat, mungkin hanya Sultan Sjahrir dan Moh Hatta yang dapat memberikan contoh paripurna.
Kedua lelaki ini berasal dari satu pulau yang sama. Ditempa pada kesulitan yang memiliki tensi yang tak jauh berbeda. Hasilnya pola pikir diantara kedua menunjukkan persamaan.
Sjahrir adalah salah satu guru politik termasyur. Ia adalah seorang perdana menteri pertaman dan pendiri partai di negeri ini yang memiliki haluan sosialis. Baginya memiliki partai dan menguasai massa bukanlah gabungan 2 instrumen yang berkesinambungan dalam membangun harapan negeri.
Partai boleh jadi kendaraan "seksi" menuju kuasa. Tapi partai tanpa massa bukan berarti mati.
Bagi Sjahrir, massa yang berkualitas bukan berkuantitas menjadi tumpuan dalam membangun partai secara khusus dan negeri secara umum untuk membangun kesadaran berpolitik. Namun apa daya, tarik pemikirannya dirasa utopis dan cenderung tak masuk akal. Dan ia pun tertelan jaman akibat partainya yang tak kunjung menjadi pemenang, namun arus pemikirannya akan terus terkenang.
Ia adalah peletak dasar pertama dari pengedepanan konsep diplomasi dalam sejarah Indonesia. Meski menuai perdebatan akibat perannya yang mengecilkan republik, baik akibat bubuhan tanda tangannya dalam perjanjian Linggarjati maupun beberapa perjanjian lainnya yang membuat sosoknya diculik oleh Tan Malaka. Person berjuluk Bung Kecil ini tak kunjung gentar menggunakan pendekatan diplomasi dalam penyelesaian masalah.
Demikian pula Moh Hatta, wakil presiden pertama Indonesia. Digambarkan sebagai pria serius tanpa senyum. Bung Hatta sapaan akrab dari wakil presiden pertama ini dapat menjadi contoh menarik dari keteladaan.
Bung Hatta adalah sosok pemikir yang dalam banyak kesempatan berusaha untuk melenturkan pemikiran yang dinamis di masyarakat. Ia bukan seorang penggila kekuasaan, baginya jabatan di sektor pemerintahan adalah tempat untuk mengabdi bukan semata mencari nafkah.
Ia rela mundur dari jabatannya pada tahun 1956, saat amanah yang diembannya dirasa tak sanggup untuk dijalaninya lagi.
Ia pun enggan saat banyak tawaran jabatan swasta menghampirinya pasca periode wakil presiden dilepaskannya. Baginya mengenakan jubah swasta akan membuatnya sulit berteriak saat himpitan lara masyarakat mendengung.
Bahkan dalam kondisi sebagai mantan orang kedua di negeri ini, Hatta mampu menerima kondisi saat tagihan listrik dirumahnya tak sanggup ia bayar. Ia rela untuk mencari alternatif pekerjaan untuk memenuhi panggilan hidupnya uang bersahaja.
Bahkan untuk Soekarno, sahabat dan sosok yang banyak ia kritik pada akhir dekade 1956an hingga awal 1965-an pun tetap ia berkenan kunjungi saat sakit dan telah banyak ditinggalkan para sahabat orde lama-nya.
Meski warna politik diantara keduanya boleh jadi pemisah, namun sifat manusia-nya tak boleh berubah.
Ia memamg bukan sosok orator, pun juga seorang penuh pesona. Ia adalah sosok pejuang yang banyak berteriak dalam tulisan. Baginya buku dan tulisan adalah sarana untuk memperjuangkan hidup dan kehidupan.
Dalam satu kisah saat ia bermimpi untuk memiliki sepatu bally yang hingga akhir hayat tak mampu ia beli, secara ikhlas dia tetap dalam-dalam menyimpan hasratnya tersebut dalam potongan iklan sepatu yang sampai kematiannya tersimpan rapi dalam salah satu lembaran buku hariannya.
Baginya pemenuhan aspek hidup bagi sesama jauh lebih penting dibanding kebutuhan pribadi, sehingga pada banyak kesempatan ia memilih untuk mengalahkan kepentingannya.
Selamat menjadi manusia yang berbudi luhur dan semoga kedua sosok ini dapat menjadi pencerah ditengah lorong gelap politik Indonesia dekade ini.
Bagi Bertold Breacht manusia tidak bisa menjadi mahkluk apolitis karena hidup tanpa politik adalah hidup mimpi dalam pusaran tanah surga. Politik bagi Breacht akan membawa tatar hidup kritis manusia (masyarakat umum) terhadap tindak tanduk dari kebijakan penguasa.
Sama seperti Breacht, Mao salah seorang penguasa paling termasyur asal Cina pernah mengatakan
"Politik adalah perang tanpa darah, sedang perang adalah politik dengan darah."
Sumbu politik memang selalu menjadi roman yang tak kunjung bosan untuk dicermati, terutama bagi mereka yang bermukim di negara yang masih jauh dari kata stabil dan sejahtera.
Politik bagi para penikmatnya, dianggap sebagai jalan untuk memperoleh kuasa dan kekayaan. Sehingga tanpa bercokol dalam politik, impian kemapanan yang menjadi tujuan pencapaian hidup mereka niscaya akan tercapai.
Pun demikian cerita di Indonesia. Politik selalu menjadi warna harapan sebagian kaum untuk menjadi penerang kemewahan tanpa cucur keringat usaha. Akibatnya banyak masyarakat terdilusi dalam fatamorgana "nikmat" politik.
Politik dan keteladanan kepemimpinan
Jika ada orang yang bisa menjelaskan politik secara bermartabat, mungkin hanya Sultan Sjahrir dan Moh Hatta yang dapat memberikan contoh paripurna.
Kedua lelaki ini berasal dari satu pulau yang sama. Ditempa pada kesulitan yang memiliki tensi yang tak jauh berbeda. Hasilnya pola pikir diantara kedua menunjukkan persamaan.
Sjahrir adalah salah satu guru politik termasyur. Ia adalah seorang perdana menteri pertaman dan pendiri partai di negeri ini yang memiliki haluan sosialis. Baginya memiliki partai dan menguasai massa bukanlah gabungan 2 instrumen yang berkesinambungan dalam membangun harapan negeri.
Partai boleh jadi kendaraan "seksi" menuju kuasa. Tapi partai tanpa massa bukan berarti mati.
Bagi Sjahrir, massa yang berkualitas bukan berkuantitas menjadi tumpuan dalam membangun partai secara khusus dan negeri secara umum untuk membangun kesadaran berpolitik. Namun apa daya, tarik pemikirannya dirasa utopis dan cenderung tak masuk akal. Dan ia pun tertelan jaman akibat partainya yang tak kunjung menjadi pemenang, namun arus pemikirannya akan terus terkenang.
Ia adalah peletak dasar pertama dari pengedepanan konsep diplomasi dalam sejarah Indonesia. Meski menuai perdebatan akibat perannya yang mengecilkan republik, baik akibat bubuhan tanda tangannya dalam perjanjian Linggarjati maupun beberapa perjanjian lainnya yang membuat sosoknya diculik oleh Tan Malaka. Person berjuluk Bung Kecil ini tak kunjung gentar menggunakan pendekatan diplomasi dalam penyelesaian masalah.
Demikian pula Moh Hatta, wakil presiden pertama Indonesia. Digambarkan sebagai pria serius tanpa senyum. Bung Hatta sapaan akrab dari wakil presiden pertama ini dapat menjadi contoh menarik dari keteladaan.
Bung Hatta adalah sosok pemikir yang dalam banyak kesempatan berusaha untuk melenturkan pemikiran yang dinamis di masyarakat. Ia bukan seorang penggila kekuasaan, baginya jabatan di sektor pemerintahan adalah tempat untuk mengabdi bukan semata mencari nafkah.
Ia rela mundur dari jabatannya pada tahun 1956, saat amanah yang diembannya dirasa tak sanggup untuk dijalaninya lagi.
Ia pun enggan saat banyak tawaran jabatan swasta menghampirinya pasca periode wakil presiden dilepaskannya. Baginya mengenakan jubah swasta akan membuatnya sulit berteriak saat himpitan lara masyarakat mendengung.
Bahkan dalam kondisi sebagai mantan orang kedua di negeri ini, Hatta mampu menerima kondisi saat tagihan listrik dirumahnya tak sanggup ia bayar. Ia rela untuk mencari alternatif pekerjaan untuk memenuhi panggilan hidupnya uang bersahaja.
Bahkan untuk Soekarno, sahabat dan sosok yang banyak ia kritik pada akhir dekade 1956an hingga awal 1965-an pun tetap ia berkenan kunjungi saat sakit dan telah banyak ditinggalkan para sahabat orde lama-nya.
Meski warna politik diantara keduanya boleh jadi pemisah, namun sifat manusia-nya tak boleh berubah.
Ia memamg bukan sosok orator, pun juga seorang penuh pesona. Ia adalah sosok pejuang yang banyak berteriak dalam tulisan. Baginya buku dan tulisan adalah sarana untuk memperjuangkan hidup dan kehidupan.
Dalam satu kisah saat ia bermimpi untuk memiliki sepatu bally yang hingga akhir hayat tak mampu ia beli, secara ikhlas dia tetap dalam-dalam menyimpan hasratnya tersebut dalam potongan iklan sepatu yang sampai kematiannya tersimpan rapi dalam salah satu lembaran buku hariannya.
Baginya pemenuhan aspek hidup bagi sesama jauh lebih penting dibanding kebutuhan pribadi, sehingga pada banyak kesempatan ia memilih untuk mengalahkan kepentingannya.
Selamat menjadi manusia yang berbudi luhur dan semoga kedua sosok ini dapat menjadi pencerah ditengah lorong gelap politik Indonesia dekade ini.
Komentar
Posting Komentar