Indonesia dalam banyak refrensi masih disebut sebagai salah satu negara dengan indeks ketimpangan, kemiskinan dan korupsi yang memiliki rangking tinggi. Dinamika mesin politik tanah air yang dirasa cukup panas telah memantik cara pikir manusia penghuninya menjadi pragmatis.
Kasus teranyar adalah pencopotan salah satu menteri yang menempati sektor ESDM setelah berkuasa lebih dari 20 hari setelah pelantikan. Dan lebih gilanya lagi, hal tersebut justru terjadi saat arus demokrasi memasuki tahun ke 18 pasca tumbangnya rezim otoriter.
Adalah Arcandra Tahar, pria kelahiran padang, alumnus salah satu perguruan tinggi bergengsi di negeri ini yang kemudian menuntut ilmu hingga ke negeri paman sam untuk bukan sekedar menjadi akademisi namun juga ahli minyak kelas dunia.
Ia adalah sosok luar biasa yang mampu mengharumkan Indonesia dengan sikap profesionalisme yang ia junjungnya selama lebih dari 20 tahun.
Namun apa daya, tarik sumbang kepentingan politik yang mematerai dirinya sebagai pemegang green card di AS sejak tahun 2012 mengubur harapan besarnya untuk memajukan sektor migas di negeri ini. Karirnya sebagai pejabat negara terhenti bahkan kurang dari hitungan genap bulan.
Reformasi migas seolah menjadi momok, saat banyak profesional handal bergeser dan tertelan mafia yang begitu besar dan kuat.
Banyak pihak lupa bahwa calon presiden kebanggaan Indonesia pada pilpres sebelumnya juga pernah menjadi warga negara kehormatan Jordania (berdasar isu yang beredar) sebagai konsekuensi saat ia disisihkan lawan politiknya ketika deru orde baru tumbang.
Politik selalu memakan putera terbaik kita untuk kepentingan golongan dan bahkan pribadinya masing-masing.
Mengenang kembali SMI tahun 2012
SMI merupakan singkatan dari sosok salah satu wanita dan menteri keuangan paling berpengaruh di dunia. Bernama lengkap Sri Mulyani Indrawati, wanita kelahiran Lampung yang juga merupakan anak dari salah satu guru besar universitas negeri ini menjadi sosok kuat dalam menjaga stabilitas keuangan moneter nasional.
Namun apa daya, wanita yang berkorban untuk meluangkan waktunya dalam kesibukan rapat negara bahkan di saat-saat terakhir kehidupan ibunya guna menghantar negeri ini menjauh dari gelombang krisis ekonomi harus menerima kenyataan dibuang politikus di negerinya sendiri saat megaskandal Century menghantamnya pada tahun 2012.
Kala itu partai pengusung utama presiden Jokowi dan motor penggerak penolakan SMI berkelit bahwa sikap yang diambil partainya kala itu, merupakan respon atas keterlibatan yang bersangkutan dengan wakil presiden Boediono dalam upaya menyelamatkan bank yang dianggap sejumlah kalangan tidak memiliki daya sistemik dalam merusak perekonomian Indonesia. Pun demikian dengan banyak partai lainnya yang mencoba mencongkelnya dari kursi menteri keuangan.
Alhasil pada tahun 2012, kursi menteri keuangan beralih. Beruntung Bank Dunia kala itu langsung menawarinya jabatan Direktur Pelaksana. Sosok dan profesionalisme-nya justru dihargai kaum asing yang bukan merupakan tanah airnya.
Namun 2016 menjadi masa balik yang berada dalam genggamannya. Hantaman ekonomi yang terus mengecilkan arus pendapatan dalam negeri dengan pencapaian target pajak yang terus membumbung tinggi menjadi penyebab gagalnya pemerintah dalam pencapaian target.
Kondisi bahkan juga telah memakan korban mundurnya Dirjen Perpajakan akibat tak kunjung tercapainya target penerimaan pajak.
Momentum pun kembali menghampiri sang profesional kelas dunia. Harapan untuk kembali mengabdi menjadi bandul terdekatnya. Dan jabatan menteri keuangan pun kembali ke pangkuannya. Sungguh amanah besar guna menuntun negeri ini menuju hari esok yang lebih terang.
Inilah sekelumit pandang dari dinamika politik negeri ini. Fatal bahwa banyak orang besar yang diakui dunia justru dihujat di negerinya sendiri. Kepentingan jangka pendek seringkali menjadi acuan pemenuhan hidup kekinian. Semoga dalam menyambut 71 tahun kemerdekaan, setiap dari kita mampu merefleksi makna menjadi Indonesia.
Merdeka......
Komentar
Posting Komentar