Merefleksi Pancasila Dalam Bingkai Investasi Sosial

Tulisan ini telah dipresentasikan pada tahun 2016 menyambut hari kelahiran Pancasila

Pemahaman akan gerak perusahaan terus menjadi kritik tak henti dari beragam kalangan. Praktik operasi perusahaan yang selama ini dianggap mementingkan dirinya sendiri dan cenderung abai akan kepentingan masyarakat (relasi pemerintah dan rakyat) menjadikan jarak diantara keduanya seolah terus menjauh.

Tulisan ini dibuat untuk memberikan suatu gambaran lain dari praktik operasional perusahaan. Manifestasi dari ruang perusahaan yang lebih humanis dalam menjawab tantangan jaman digambarkan penulis dalam bingkai investasi sosial yang telah secara massif mulai digeluti banyak perusahaan.

Guna memberikan pemahaman utuh terkait investasi sosial, dalam, penulis juga akan memberikan pemahaman dan gambaran praktik terkait ISO 26000 untuk memberikan perspektif yang lebih luas dari konsep tanggung jawab sosial yang dalam banyak anggapan dimaknai sebatas “pemanis buatan” untuk meredam konflik sosial yang terjadi di lingkungan sekitar perusahaan. 

Pendekatan yang dilakukan dalam tulisan ini dilakukan melalui telaah studi literatur dan stakeholder diffusion untuk menangkap aktivitas perusahaan yang lebih holistik.

Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa konsep investasi sosial jika dilakukan dalam kerangka yang tepat dan strategis akan membantu menciptakan sinergi antar aktor pemangku kepentingan, seperti pemerintah, perusahaan dan rakyat dalam menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.
  
Kata kunci: Perusahaan, Investasi Sosial, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, ISO 26000




  
Latar Belakang
Perusahaan merupakan aktor yang tidak terpisahkan dalam sendi perekonomian Indonesia. Kontribusi perusahaan memiliki materialisme signifikan bagi pembangunan. Periode awal pembukaan keran swasta (perusahaan) di Indonesia ditandai dengan dilakukannya konfrensi Time Life Corp di Geneva dan diberlakukannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada tahun 1967.

Sektor migas yang kemudian disusul dengan sektor perbankan dan properti menjadi  refrensi utama pengembangan usaha dan akumulasi modal bagi pihak swasta yang mengembangkan usahanya di Indonesia. Di sektor minyak dan gas bumi (migas) misalnya, setelah dikeluarkannya UU Penanaman Modal Asing pada tahun 1967, para pemain migas yang biasa disebut supermajor (atau dengan nama lain IOC/International Oil Company) berlomba-lomba untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Sebut saja beberapa nama kaliber dunia seperti Total, British Petroleum, Conoco Philips, Chevron, Inpex dan banyak lainnya yang mencoba peruntungan bisnis migas di Indonesia.

Berdasar sajian data kementerian ESDM akhir Mei 2009, sebagaimana dikutip dalam Gandhi (2014) menunjukkan bahwa 69,9% industri migas tanah air didominasi asing. Dari jumlah tersebut 70 persen diantaranya dimiliki perusahaan-perusahaan asal Amerika Serikat, seperti Chevron, Conoco Philips dan Exxon. Bahkan Chevron dalam sejumlah literatur disebut memiliki kontribusi 40% dari keseluruhan total minyak yang dihasilkan Indonesia.

Kemudian di sektor perbankan misalnya, data sebagaimana dikutip dalam Kompas (2011) disebutkan bahwa dominasi pihak asing dalam sektor ini telah mencapai 50,6% dari total aset perbankan. Persentase ini mengalami kenaikan dari posisi Juni 2008 yang mencapai besaran angka 47,02%. Dengan cakupan besaran persentase 2011, kepemilikan swasta terutama asing dalam sektor perbankan mencapai Rp 1.551 triliun dari total aset perbankan yang mencapai Rp 3.065 triliun.

Sama halnya dengan sektor migas, maupun perbankan, dominasi swasta (perusahaan) dalam sektor properti  di tanah air signifikasi peran swasta dalam menggerakan sektor ini memiliki andil yang cukup besar. Hasil penelitian Jurusan Perencanaan Kota dan Real Estat Universitas Tarumanegara pada tahun 2011 menunjukkan bahwa sebanyak 28 kota baru di Jabodetabek telah dikuasai 5 pengembang besar. Dari jumlah tersebut Bakrieland Development menguasai besaran lahan pengembangan terbesar dengan cakupan 36.000 ha; disusul Sinarmas Land di posisi kedua dengan cakupan 10.850 ha; Lippo Group di posisi ketiga dengan cakupan 3.700 ha; Ciputra Group di posisi keempat dengan cakupan 3.360 ha dan terkahir dikuasai oleh Jaya Real Property dengan cakupan 4.066 ha. Apabila ditinjau dari sisi harga penawaran, nominal yang ditawarkan pengembang banyak menyasar pangsa pasar menengah dengan banderol harga mulai Rp 400.000.000,- hingga mencapai miliar. Pertanyaan menarik yang dapat dibangun disini ialah bagaimana dengan tawaran para pengembang besar terkait penyediaan “papan” bagi pangsa pasar kelas menengah ke bawah?

Sajian sejumlah data, sebagaimana telah ditulis peneliti dalam sajian beberapa paragraf awal diatas bukan dimaksudkan untuk membangkitkan sentimen anti modal (kapital), apalagi anti terhadap keberadaan swasta, terutama asing. Disadari atau tidak kehadiran swasta (perusahaan) dalam putaran ekonomi telah memberikan dampak dan kontribusi. Mengenai bentuk nilai positif, maupun negatif yang dihasilkan akan bergantung pada perspektif yang dipakai masing-masing individu.

Bung Hatta sendiri dalam penjelasan mengenai Pasal 33 UUD 1945 smengungkapkan bahwa:
“... Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan Pemerintah...

Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di Tanah Air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. Syarat-syarat yang ditentukan itu terutama menjamin kekayaan alam kita, seperti hutan kita dan kesuburan tanah, harus tetap terpelihara. Bahwa dalam pembangunan negara dan masyarakat bagian pekerja dan kapital nasional makin lama makin besar, bantuan tenaga dan kapital asing, sesudah sampai pada satu tingkat makin lama makin berkurang”

Dari penjelasan 2 paragraf diatas dapat ditarik suatu premis sederhana tentang dibutuhkannya suatu collaborative action dari para pemangku kepentingan, baik pemerintah, swasta (perusahaan), Lembaga Swadaya Masyarakat, media, dan masyarakat dalam mengembangkan dan mencipatkan masyarakat yang adil dan makmur dalam kerangka keadilan sosial.

Penyadaran akan hakikat awal Perusahaan yang menurut sejarahnya dalam Estes (2005) tidak diciptakan semata untuk “mengutamakan keuntungan bagi para pemegang saham semata” namun sebenarnya diizinkan berdiri oleh pemerintah untuk melayani kebutuhan hidup masyarakat dapat menjadi pijakan guna me-reaktulasisasi keberadaan perusahaan untuk tujuan bersama. Dibutuhkan satu komitmen dan langkah konkrit untuk menerjemahkan ide dan narasi yang telah berkembang. Model pengembangan bisnis dengan skema investasi sosial diharapkan dapat menjadi alternatif untuk menghadirkan wajah baru perusahaan yang lebih humanis.

Metode Penelitian
Penelitian merupakan proses yang dilakukan secara bertahap, yakni dari perencanaan dan perancangan penelitian, menentukan fokus penelitian, waktu penelitian, pengumpulan data, analisis dan penyajian hasil penelitian.

Penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini dilakukan menggunakan pendekatan studi literatur dan Stakeholder Diffusion, dimana peneliti akan melakukan kunjungan lapangan secara langsung ke masing-masing wilayah operasi dan bermukim sementara waktu di masing-masing wilayah tersebut. Dalam tinjauan masa bermukim, peneliti akan melakukan interaksi langsung dan berpatisipasi aktif dalam kegiatan yang dilakukan masyarakat dan/ atau komunitas lokal.

Babak Baru Gerak Perusahaan
Dekade ini ditandai dengan kehadiran perusahaan yang tidak akan mampu lagi untuk bersikap egoistik dan abai akan kepentingan masyarakat seperti yang telah banyak mereka lakukan di berbagai belahan dunia pada dekade-dekade sebelumnya. Konflik antara perusahaan dengan masyarakat, serta pemerintah yang lazim terjadi pada dekade 1960 – 1990an pada dekade 2000-an hanya akan menjadi boomerang bagi perusahaan apabila ia tetap berposisi dengan sikap masa lampau.

Derasnya arus informasi dan pengaruh internet telah menjadi salah satu dasar penggerak perubahan yang dialami perusahaan. Jika pada masa lalu, sumber informasi berita terpercaya hanya dapat diakses masyarakat salah satunya  melalui platform media cetak, seperti surat kabar yang hanya memuat 120 konten berita setiap harinya. Pada dekade 2000-an ini capaian konten yang dapat disajikan portal berita online mencapai 1.000 setiap harinya (Kompas, 2015). Pada rentang ini akses masyarakat untuk mendapat informasi terbuka dengan sangat lebar dan cepat, bahkan tiap individu pada masa ini dapat membuat portal berita online dengan biaya investasi yang lebih rendah.

Hal tersebut membuat perusahaan pada dekade ini dituntut untuk berperan secara lebih transparan dan akuntabel. Dorongan untuk senantiasa bertanggung jawab atas dampak dari keputusan dan aktivitas yang dibuat perusahaan menjadi kunci utama apabila perusahaan ingin mencapai keberlanjutan. Maksimalisasi laba tanpa pertanggungjawaban proses menjadi model bisnis yang tidak menjadi relevan lagi.

Terkait kunci utama dalam mencapai keberlanjutan, hal tersebut secara nyata dapat dilihat dari berkembangnya tuntutan pasar terutama yang berlokasi di wilayah Eropa yang mulai menekankan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan, bahkan dimulai dari penyediaan bahan baku. Sejumlah kasus seperti yang menimpa Sinarmas di pasar Singapura, Eropa dan Amerika Serikat dapat menjadi pembelajaran berharga bagi perusahaan-perusahaan lainnya agar menjalankan aktivitas operasionalnya secara lebih bertanggung jawab.

Kasus Sinarmas dimulai dari gerakan sejumlah kelompok masyarakat akan boikot produk keluaran Sinarmas terutama yang berasal dari minyak sawit. Setidaknya sepanjang tahun 2010, sederet perusahaan dunia, seperti Burger King, Unilever, Nestle dan Kraft, serta jaringan swalayan Singapura menolak melakukan pembelian minyak sawit dan produk turunannya dari Sinarmas. Simbol perlawanan akan aktivitas operasional Sinarmas misalnya, dilakukan dengan mengubah merek dagang KitKat menjadi Killer dengan bentuk huruf dan slogan yang hampir sama, yaitu “Have a Break, Have a KitKat” dipelesetkan menjadi “Have a Break Give me a Break” atau dalam terjemahannya sesuai konteks perusakan habitat hutan “Ada rehat, ada KitKat” menjadi “berhentilah sejenak menyingkirkan saya” dengan latar wajah orang utan yang dicetak pada poster merah, warna komersial KitKat (Tempo, 2010).

Hal ini tentunya menjadi tamparan dan pembelajaran sendiri bagi perusahaan. Munculnya berbagai lembaga guna menverifikasi ataupun mensertifikasi produk berstandar ramah lingkungan menjadi tuntutan pasar yang tidak terelakan. Sebut saja sejumlah verifikasi/sertifikai, seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang berlaku bagi perusahaan yang bergerak di sektor kelapa sawit, Forest Stewardship Council  yang berlaku bagi perusahaan yang bergerak di sektor perkayuan, serta masih banyak lainnya.

Apa hal yang hendak dijawab dalam tren yang ada saat ini? Jawabannya iaha bahwa masyarakat menginginkan suatu bentuk tanggung jawab yang terintegrasi oleh perusahaan dimulai dari hulu ke hilir atau yang dalam bahasa Radyati (2014) dikenal sebagai SIPOC yang berasal dari singkatan Supply, Input, Process, Output dan Consumer.

Corporate Social Responsibility dan Ruang Lingkup pembangunan yang holistik
Sebagaimana telah diurai pada sub-bab sebelumnya, aktivitas ekonomi perusahaan memasuki abad 21 telah bergeser memasuki tahap selanjutnya, dimana dorongan kinerja ekonomi tidak melulu menjadi faktor dominan dalam mengukur keberhasilan kinerja suatu perusahaan. Elkington, melalui karya monumentalnya yang berjudul Cannibals with forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) sebenarnya telah mulai mengenalkan prinsip bisnis berdasar tiga prinsip dasar utama atau yang lebih dikenal dengan Triple Bottom Line. Melalui penjelasan tiga prinsip dasar ini, bentuk economic prosperity, environmental quality dan social justice diterjemahkan Elkington dalam mengembangkan bisnis yang berkelanjutan.

Bagi Elkington, pemenuhan dan perhatian akan kesejahteraan masyarakat yang turut didukung dengan kegiatan partisipatif dalam menjaga kelestarian lingkungan menjadi model yang berimbang disamping pengejaran laba (profit). Hal ini merupakan semangat yang berkeinginan untuk membawa arah ekonomi perusahaan menuju arah yang lebih berkepedulian terhadap lingkungan dan tidak semata hanya pada sisi materialitas semata.
Pengembangan konsep Triple Bottom Line (TBL) yang diperkenalkan Elkington inilah yang kemudian diharapkan dapat menjadi penyeimbang model bisnis eksploitatif tanpa mempedulikan peran sesama dan lingkungan yang jamak berkembang selama abad 20 yang kemudian melahirkan konsep Corporate Social Responsibility (CSR).

Terdapat banyak definisi dari CSR, salah satu definisi yang paling baku digunakan adalah pemahaman berdasar ISO 26000 yang menyatakan Social Responsibility sebagai suatu bentuk tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak dari keputusan dan kegiatan bisnisnya terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitar organisasi beroperasi.

Bentuk pertanggungjawaban suatu organisasi diwujudkan dalam perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat serta mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional, serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh.

ISO 26000 sebagai suatu produk panduan implementasi Social Responsibility memiliki sifat sukarela. Keunikan ISO 26000 adalah fungsinya yang hanya berupa panduan kegiatan tanggung jawab sosial dan bukan terkunci pada satu ruang yang disebut standarisasi layaknya ISO 14001 terkait dengan lingkungan, ataupun ISO 31000 tentang manajemen risiko.

Pedoman ISO 26000 tidak hanya diperuntukan bagi perusahaan saja tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik swasta maupun publik atau juga untuk seluruh jenis organisasi yang didirikan dengan tujuan memperoleh laba maupun tidak (Radyati dan Rahmi, 2011).

Dalam ISO 26000 disebutkan tujuh subyek pokok dari Tanggung Jawab Sosial yang meliputi:


                                                                 Gambar 1. Tujuh Subyek Inti menurut ISO 26000


 
 



                  1.       Tata kelola organisasi
2.       Hak asasi manusia
3.       Praktik tenaga kerja
4.       Praktik bisnis yang adil
5.       Isu konsumen
6.       Lingkungan hidup
7.       Pelibatan dan pengembangan komunitas

Melalui pemahaman 7 subjek pokok inti inilah, konsep Tanggung Jawab Sosial diperkenalkan kepada khalayak untuk memberikan penjelasan yang “utuh”.

Pemahaman konsep Tanggung Jawab Sosial yang selama ini identik dengan pemenuhan kepentingan dan kebutuhan external stakeholder, melalui pemahaman konsep berdasar ISO 26000, dinegasi untuk kemudian diseimbangkan dengan internalisasi pemenuhan kepentingan dan kebutuhan internal stakeholder sebagai bagian tidak terpisahkan dalam organisasi. Sehingga melalui pemahaman tersebut, Tanggung Jawab Sosial dapat dipahami sebagai suatu konsep yang menjawab kebutuhan kepentingan external stakeholder dan internal stakeholder, serta mencakup pembangunan operasional bertanggungjawab dari hulu ke hilir.

Salah Kaprah CSR
Meskipun telah diperkenalkan sejak tahun 1950-an dengan beragam dinamika perkembangan tren yang terjadi, implementasi program CSR nyatanya masih banyak menemui permasalahan. Anggapan para pelaku di sekitar wilayah operasi perusahaan dan bahkan di perusahaan sendiri yang sering kali melakukan “blunder” menjadikan bias dalam pemaknaan CSR jamak terjadi.

Radyati (2013) menggarisbawahi beberapa salah kaprah yang sering terjadi:
       Yang salah       : CSR adalah bagi-bagi uang (distribusi laba).
       Yang benar      : CSR BUKAN cara perusahaan membagi-bagi laba, akan tetapi CSR adalah
                          “bagaimana cara perusahaan menghasilkan laba”.
       Yang salah       : CSR dapat dilakukan oleh pihak ketiga.
       Yang benar      : CSR harus didesain, dilakukan dan dipimpin oleh perusahaan akan tetapi
  dalam pelaksanaannya sebaiknya berpartnership/bermitra dengan pihak
  ketiga (bisa organisasi, universitas, konsultan, atau pemerintah, dan lain-
  lain) 
       Yang salah       : anggaran CSR bisa diminta oleh pihak lain
       Yang benar      : hanya perusahaan yang bersangkutan yang mempunyai hak penuh atas
             anggaran CSR, karena harus perusahaan yang bersangkutan yang
             melakukan CSR, bukan pihak lain.

Adopsi program CSR yang sering dilakukan tanpa melihat konteks permasalahan yang dihadapi di wilayah operasi, menurut Soeharto (2008) akan mengubah singkatan dari makna CSR menjadi Candu, Sandera dan Racun.

Jika ditelisik, memang semangat implementasi program CSR yang dijalankan dengan bias karikatif, tidak dipungkiri dapat membawa keuntungan jangka pendek bagi perusahaan, namun apabila semangat tersebut terus menerus dilakukan dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin bahwa implementasi program justru berbalik membawa dampak negatif.

Mengadaptasi Konsep Investasi Sosial
Pelaksanaan program Social Resposibiity atau dalam bahasa perusahaan dikenal dengan sebutan Corporate Social Responsibility (CSR) telah berkembang secara pesat dalam dunia bisnis. Didorong desakan masyarakat akan perubahan kualitas lingkungan dan sosial, perusahaan dituntut untuk bersikap lebih humanis dalam menjalankan aktivitas operasionalnya. Program CSR yang ideal adalah yang mampu menciptakan kemandirian masyarakat, meningkatkan ekonomi lokal dan menghantar mempersiapkan masyarakat mencapai keadilan sosial (Radyati, 2014). Implementasi CSR membutuhkan kolaborasi dengan banyak pemangku kepentingan.

Memasuki awal 2010, terjadi banyak pergeseran dunia usaha dalam memandang CSR. Aktivitas CSR yang selama ini dipandang sebagai bagian dari kegiatan filantropis mengalami pergeseran makna menuju pemahaman investasi sosial. Implikasinya tuntutan akan keterukuran dari aktivitas yang dijalankan menjadi suatu keharusan.

Terkait dengan pemahaman tersebut, IPIECA (2008) mendefinisi investasi sosial sebagai bentuk kontribusi sosial perusahaan terhadap masyarakat di lokasi di mana mereka beroperasi, tujuannya untuk memberikan keuntungan kepada para pemangku kepentingan. Kegiatan sosial ini biasanya dilakukan perusahaan dalam bentuk memberikan berbagai macam keahlian.

Sedangkan, IFC (2010) mendefinisi investasi sosial sebagai bentuk kontribusi sosial perusahaan untuk membantu masyarakat di sekitar wilayah operasi perusahaan. Investasi sosial tersebut ditujukan untuk perkembangan masyarakat itu sendiri, dan mengambil keuntungan dari peluang yang diciptakan oleh modal swasta dengan cara yang berkelanjutan dan mendukung tujuan perusahaan.

Berdasar deskripsi penjelasan diatas dapat dipahami bahwa investasi sosial merupakan upaya perusahaan untuk menginvestasikan sumber daya yang dimilikinya guna mendukung program yang bertujuan untuk meningkatkan aspek sosial dari kehidupan komunitas.

Dalam ISO 26000 penanganan isu terkait investasi sosial  dapat dimasukkan dalam core subject  pengembangan community involvement and development, dimana aspek terkait:

1.       Pendidikan dan kebudayaan
2.       Penciptaan lapangan kerja dan pengembangan keterampilan
3.       Pengembangan dan akses atas teknologi
4.       Kesejahteraan dan peningkatan pendapatan
5.       Kesehatan

Menjadi pilar penting dalam mendalami investasi sosial dalam konteks tanggung jawab sosial perusahaan.

Kemudian secara lebih luas, pengembangan konsep investasi sosial dalam implementasi CSR akan mendatangkan banyak manfaat positif. Berdasar IFC (2010), adapun manfaat yang diberikan dari praktik investasi sosial meliputi:
No
Bagi Perusahaan
Sudut Pandang Komunitas
1
Mendapatkan social license to operate
Meningkatkan kualitas hidup komunitas (pendidikan, kesehatan, penghidupan dan ekonomi, serta sosial budaya), khususnya yang hidup dan tinggal di sekitar wilayah operasi perusahaan
2
Bagian dari manajemen risiko (sosial dan lingkungan)
Meningkatkan kemandirian komunitas
3
Untuk menciptakan keunggulan kompetitif
Meningkatkan kemampuan komunitas dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan
4
Meningkatkan reputasi perusahaan
5
Pemenuhan atas peraturan dan perundang-undangan

6
Sinergi dengan program pembangunan nasional/daerah

7
Meningkatkan loyalitas konsumen

Tabel 1. Manfaat dari Investasi Sosial
Sumber: IFC (2010)

Berdasar penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa manfaat dari investasi sosial yang dilakukan secara baik dan benar akan membawa dampak positif, baik bagi perusahaan, maupun masyarakat sebagai subjek yang terdampak. Harmoni antara perusahaan dengan lingkungan, dewasa ini menjadi tuntutan yang melekat ada sejak aktivitas operasional perusahaan pertama kali dijalankan guna menjamin keberlangsungan usaha.

Elemen Kunci dan Langkah Pengembangan Investasi Sosial
Guna membangun framework yang komprehensif dalam memaknai konsep investasi sosial, IFC (2010) mengenalkan 5 kunci elemen yang harus dipahami perusahaan agar konsep investasi sosial yang dijalankannya berjalan sesuai track. Kelima kunci elemen tersebut meliputi:
1.       Perumusan strategi
2.       Penyelarasan
3.       Kemitraan antar pemangku kepentingan
4.       Keberlanjutan
5.       Pengukuran hasil

Berdasar pemaparan kelima kunci elemen di atas, perumusan strategi menjadi titik awal yang wajib untuk mampu diterjemahkan dan diakselerasi perusahaan agar mampu mendorong keberhasilan investasi sosial.

Melalui perumusan strategi yang tepat, penyelarasan konsep investasi sosial dalam kerangka pengembangan masa depan perusahaan yang dilakukan dengan merangkul para pemangku kepentingan, baik yang berasal dari internal, maupun eksternal menjadi arahan kerja yang ditawarkan. Hasilnya dapat diwujudkan dalam jaminan keberlanjutan usaha.

Sebagai tambahan atas kelima kunci elemen yang telah terlebih dahulu dijelaskan diatas, IFC (2010) juga memberikan 7 langkah pengembangan yang strategis agar implementasi investasi sosial dapat berjalan baik. Ketujuh langkah pengembangan tersebut antara lain:
1.       Mengkaji konteks bisnis
2.       Mengkaji konteks lokal
3.       Membina hubungan dengan komunitas
4.       Investasi dalam pengembangan kapasitas
5.       Menentukan parameter keberhasilan
6.       Memilih model pelaksanaan
7.       Mengukur dan mengkomunikasikan
Dengan mendasarkan konsep investasi sosial berdasar 5 prinsip dan 7 langkah pengembangan yang strategis, diharapkan pencapaian investasi sosial yang dilakukan perusahaan dapat bermanfaat secara maksimal bagi kemaslahatan lingkungan dalam konteks yang lebih luas.

Studi Kasus
Dalam memahami investasi sosial dalam kerangka yang lebih praksis, penulis mencoba untuk memberikan 2 gambaran contoh dari praktik yang terjadi di lapangan. Penulisan kedua contoh diambil berdasar pertimbangan sektor usaha yang memiliki signifikasi dan kontribusi besar bagi perekonomian Indonesia.

1.       Program Microfinance
Koperasi Amanah Madani merupakan salah satu lembaga keuangan non-bank yang didirikan oleh salah satu perusahaan Geothermal yang beroperasi di Sukabumi, Jawa Barat dengan menggandeng mitra anggota masyarakat pada 2009.

Pemilihan bentuk koperasi sebagai salah satu program yang dijalankan perusahaan didasarkan pada akses permodalan dari keberadaan lembaga pembiayaan resmi yang terbatas dan pertimbangan hasil pemetaan kondisi sosial ekonomi di kecamatan Kalapanunggal, khususnya di desa Pulosari yang banyak ditekan oleh kehadiran Bank Keliling. Bentuk Bank Keliling yang lazim ada kala itu adalah koperasi dan/atau individual dengan kisaran besaran bunga pinjaman yang mencapai 1% per hari dengan rentang jangka peminjaman 30-40 hari.

Guna memperbaiki kondisi yang ada, perusahaan menggandeng beberapa anggota masyarakat berinisiatif membangun koperasi. Bentuk koperasi yang dipilih ialah syariah dengan pertimbangan mayoritas anggota masyarakat yang memeluk agama Islam dan masih belum banyaknya lembaga keuangan syariah di sekitar kecamatan Kalapanunggal.

Dengan sasaran utama ibu-ibu dalam usia produktif, Koperasi Amanah Madani mendasarkan semangat berkoperasi dalam 2 bentuk, yaitu: kelompok yang disalurkan melalui skema tanggung renteng dan kelompok yang disalurkan melalui skema konvensional yang dilakukan dengan bentuk pinjaman individu.

Pemilihan kedua bentuk ini didasarkan pada pertimbangan: (a) karakter ibu-ibu yang lebih bertanggung jawab dalam proses pinjam meminjam; (b) keberadaan ibu-ibu yang cukup mendominasi dan memiliki jiwa untuk berwirausaha yang besar dan (c) semangat koperasi yang ingin memberikan akses permodalan kepada semua pihak yang membutuhkan.
 
Adalah “penuntasan ketergantungan masyarakat dari bank keliling” yang menjadi visi awal koperasi. Saat ini setidaknya rata-rata jumlah anggota dan calon anggota yang dilayani Koperasi Amanah Madani telah mencapai 1.181 orang per tahunnya, dengan sebaran wilayah kerja yang meliputi 5 kecamatan. Perusahaan sebagai salah satu pihak yang menginisiasi koperasi saat ini berada dalam posisi Exit Strategy.

Analisa
Tujuan CSR adalah keberlanjutan bisnis (Radyati, 2014). Dalam bisnis, keberlanjutan akan menjamin keberadaan perusahaan di masa mendatang. Peraih Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen dalam bukunya yang berjudul Development of Freedom (1999) mengemukakan bahwa ukuran kemiskinan seseorang bukan dinilai dari kekurangan saja, melainkan juga dari ketidakmampuan untuk mewujudkan potensinya sebagai manusia.

Merujuk pada tingkatan CSR berdasarkan ruang lingkup dan kompleksitasnya (Radyati, 2014) , maka program microfinance yang dijalankan perusahaan dapat dikelompokkan pada level 6, yaitu Creating Sustainable Livelihood, dimana keberdaan program dapat menjadikan masyarakat sebagai pemilik bisnis (mendorong lahirnya Community Entrepreneurship/CE).

Menciptakan CE berarti mewujudkan local ownership. Melalui keterlibatan ini masyarakat tidak hanya menjadi buruh UKM ataupun Perusahaan, tetapi menjadi pemilik bisnis (pemilik saham). Selain itu CE juga akan menciptakan wellbeing impact dalam bentuk dignity (ke-martabatan)

Sustainale Livelihood juga dapat menciptakan keadilan sosial (sesuai sila ke-5 Pancasila  dan pengalaman musyawarah untuk mufakat yang diimplementasi sesuai pengalaman sila ke-4 sesuai pengembangan praksis koperasi. Kemudian berdasar hasil pengukuran investasi sosial atas program menggunakan Social Return On Investment (SROI) didapatkan besaran rasio 1:11,79.

Sebagai informasi tambahan, Laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan menunjukkan jumlah penduduk miskin dalam rentang tahun 2009 – 2014 mengalami penurunan. Jika pada tahun 2009 jumlah penduduk mencapai angka 32,53juta jiwa, maka pada tahun 2014 jumlah tersebut menurun mencapai besaran 28,28 juta jiwa. Namun demikian pencapaian ini bertolak belakang dengan sajian data indeks gini. Jika pada tahun 2009 rasio indeks gini mencapai angka 0,37 pada tahun 2013 rasio gini tersebut melebar hingga menyentuh angka 0,41. Apabila ditinjau lebih jauh, rasio gini ketimpangan di perkotaan mencapai angka 0,43 jauh lebih tinggi dari pedesaan yang mencapai angka 0,32.

Penggalangan program layaknya microfinance sebagaimana dijelaskan dalam tulisan ini hendaknya dapat menjadi contoh baik penerapan konsep investasi sosial. Investasi sosial dapat dinyatakan berhasil dalam konteks Indonesia apabila ia dapat membantu mengurangi pengangguran dan ketimpangan di wilayah operasi, serta memberikan ruang tentang adanya Exit Strategy dalam menggagas keberlanjutan dan menciptakan kemandirian. Tujuannya agar pasca keluarnya perusahaan dari wilayah operasi pada periode yang akan datang, tidak akan menciptakan ketergantungan masyarakat akan kehadiran perusahaan dalam bentuk filantropi (sebatas pemberian dana).

2.       Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Program kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu program yang wajib dilaksanakan perusahaan dalam menjalankan aktivitas operasionalnya. Dalam konteks CSR dalam bingkai ISO 26000 aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja menjadi salah satu rangkaian pembahasan utama dari 7 subyek inti pedoman. Namun demikian dalam praktik implementasinya pengabaian yang dilakukan perusahaan masih jamak terjadi. Rangkaian peristiwa yang terjadi di area Big Gossan dapat dijadikan pembelajaran penting bagi perusahaan yang berkecipung dalam industri tambang.

Secara lebih mendalam kajian milestone dan dampak atas kecelakaan tambang yang melanda perusahaan akan disajikan sebagai berikut:
ü  14 Mei 2013
Dinding lorong bawah tanah di area Big Gossan, Kabupaten Mimika runtuh, sebanayak 38 pekerja tambang yang sedang mengikuti pelatihan terjebak reruntuhan. Operasi perusahaan ditutup.
ü  17 Mei 2013
Tim Penyelamat perusahaan berhasil membuka 2 akses yang dapat dipergunakan untuk masuknya alat berat menuju lokasi yang runtuh
ü  18 Mei 2013
Pemimpin Cabang Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan Mimika Virgo Salossa, meminta presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar membentuk tim investigasi untuk mencari penyebab runtuhnya Big Gossan
ü  19 Mei 2013
Kapolda Papua Inspektur Tito Karnavian mengatakan pihaknya telah membentuk tim investigasi untuk menyelidiki kasus di Big Gossan 
ü  20 Mei 2013
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta semua pihak melakukan pengecekan terhadap kondisi tambang di daerah lain
ü  21 Mei 2013
Semua korban berhasil dievakuasi. Hasil laporan menyatakan total 28 korban tewas dan 10 korban selamat, 2 pekerja lainnya selamat karena belum datang ke lokasi pelatihan
ü  22 Mei 2013
DPR meminta perusahaan bertanggung jawab meliputi santunan kepada keluarga korban, serta potensi adanya pelanggaran hukum atas bencana runtihnya terowongan Big Gossan
ü  22 Juni 2014
Menteri ESDM mengizinkan perusahaan beroperasi kembali
Sumber: Litbang "Kompas"/ GLF, diolah dari pemberitaan "Kompas"
Disarikan dari:Buku Pintar Kompas 2013 (2014: 167)

Inilah secuil gambaran terkait dengan sensitifitas industri pertambangan akan ruang ekonomi dan politik. Pengabaian praktik ketenagakerjaan, terutama terkait dengan isu keselamatan pekerja, telah secara nyata dapat menghentikan aktivitas operasional bisnis suatu perusahaan.

Bahkan untuk kasus di Indonesia sendiri, perhatian pemerintah pusat, baik DPR, Presiden dan pembantunya yang menangani masalah energi menjadi pelik terdengar dan jelas mengganggu aktivitas perusahaan. Mungkin sudah ratusan juta, bahkan miliar dana yang harus digelontorkan perusahaan guna mengatasi kondisi yang ada. Karena setidaknya selama kasus pertambangan Big Gossan terjadi, tidak terhitung headline surat kabar yang menggambarkan kondisi di mulut tambang perusahaan dan tentunya hal tersebut sangat tidak baik guna kepentingan perusahaan.

Analisa
CSR memiliki 7 ruang lingkup utama yang mampu mengakomodir kepentingan inernal dan eksternal pemangku kepentingan. Dan sudah menjadi lazim bilamana perusahaan yang memiliki akumulasi kekayaan besar akan memiliki sensitifitas yang tinggi.

Berdasar sejumlah data yang dihimpun peneliti dari Kompas (2011), perusahaan telah membayar 2 miliar dollar AS yang terdiri dari pajak, royalti dan deviden pada 9 bulan pertama di tahun 2011 dan 13,4 miliar dollar secara total sejak 1992 berdasar kontrak karya saat ini

Hasil penelitian UI juga menyebutkan bahwa perusahaan telah berkontribusi lebih dari 96% PDB Kabupaten Mimika dan lebih dari setengah PDB Papua. Perusahaan per tahun 2011 setidaknya telah memperkerjakan sekitar 22.000 karyawan yang mencakup 98% WNI dimana 28% terdiri dari warga asli Papua.

Pada tahun 2010, perusahaan melakukan investasi lebih dari 137 juta dolar AS pada berbagai program keberlanjutan di Papua, dimana 64 juta dolar AS dialokasi bagi komunitas lokal melalui dana kemitraan bagi pengembangan masyarakat.

Dorongan alokasi ini sudah dimulai sejak tahun 1996 dan 1997 dimana perusahaan mengeluarkan kebijakan untuk memberi dana kepada masyarakat sekitar tambang sebesar 1% dari pendapatan kotor yang diperoleh dan hasil audit sosial oleh Labat Anderson yang merevisi agar perusahaan lebih tanggap terhadap kebutuhan pembangunan di desa-desa.

Selain itu sejak tahun 2003, perusahaan juga telah berkontribusi untuk mendirikan Institut Pertambangan Nasional untuk memperoleh kesempatan meningkatkan kompetensi. Sampai tahun 2010 setidaknya hampir 3.500 siswa magang telah mengikuti pelatihan dan memperoleh keterampilan untuk menjadi karyawan produktif

Banyaknya kucuran dana bagi pengembangan komunitas dengan beragam program, nyatanya tidak mampu melepaskan perusahaan dari pemberhentian aktivitas operasi akibat pengabaian tindak keselamatan kerja. Poin dalam ruang lingkup CSR yang banyak menekankan perhatian kepada internal sebagai ruang lingkup utama dalam memahami Social Responsibility seharusnya menjadi salah satu perhatian utama perusahaan. Dibutuhkan harmonisasi dalam menyeimbangkan kebutuhan antar para pemangku kepentingan.

Mengimplementasi CSR, pada dasarnya bukan semata menekankan pada banyaknya program dan jumlah uang yang diciptakan, serta diinvestasikan perusahaan, namun lebih dari itu implementasi CSR hendaknya lebih menuntut pada penciptaan dan besaran dampak yang dihasilkan dari suatu program. Kemudian komitmen pelaksanaan program yang bersifat reaktif dan bukan preventif dalam menjawab persoalan/gejolak sosial ekonomi yang terjadi telah menjadikan pelaksanaan program sering kali tidak memiliki sumbu keberlangsungan yang berkelanjutan.
  
Kesimpulan
Dalam buku merajut nusantara yang diterbitkan harian Kompas dengan judul “Rindu Pancasila”,  St. Sularto (2010:5) menyebutkan:

“…warisan luhur yang dipuji berbagai tokoh dunia itu, karena kesalahan praktik pemerintahan Orde Baru yang menjadikannya mesin indoktrinasi politik, Pancasila dianggap sudah apak-basi… Tidak hanya tidak dihayati, dihafalkan anak sekolah pun tidak, apalagi dipraktikkan dalam praksis kehidupan bernegara dan berbangsa…”

Inilah “secuil” gambaran masyarakat mengenai keberadaan Pancasila hari ini. Pancasila sebagai suatu dasar dan asas berdirinya negara, menjadi suatu nilai yang termarjinalkan dikarenakan kepentingan politik sekelompok orang yang menjadikannya tameng legitimasi untuk mencari kekuasaan pada masa lalu. Akibatnya sungguh fatal, Pancasila saat ini hanya dijadikan simbol negara yang tidak dipahami maksud dan tujuannya, lebih dari itu dianggap sebagai suatu gambaran nilai yang tidak relevan lagi.

Berangkat dari gambaran tersebut, membumikan Pancasila dalam potret Investasi Sosial dapat menjadi alternatif untuk mendorong perusahaan untuk berpatisipasi dalam kehidupan masyarakat setidaknya dimulai dari area terdekat dimana perusahaan beroperasi. Konsep ini meski dilihat sempit, namun akan memberikan dampak yang besar apabila menjadi suatu gerakan bersama dalam pembangunan nasional sebagai suatu gerak awal perubahan.

Daftar Pustaka

Amartya Sen. 1998. Development of Freedom. New York: Anchor Book.
Emerson, J. and Twersky, F. 1996. New Social Entrepreneurs: The Success, Challenge and Lessons of Non-profit Enterprise Creation. San Francisco: The Roberts Foundation.
Gandhi, Prima. 2014. Analisa Kualitatif Nilai Ekspor Migas Indonesia dan Kepemilikan Blok Migas oleh Perusahaan Asing di Indonesia. Journal of Agriculture, Resource, and Environmental Economics.
Hatta, Mohammad. 2002. Bung Hatta Menjawab. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung Tbk.
IFC. 2010. Strategic Community Investment: A Quick Guide. International Finance Corporation.
IPIECA. 2008. Guide to successful, sustainable social investment for oil and gas industry. UK: International Petroleum Industry Envirinmental Conservation Association.
ISO 26000. 2010. ISO 26000 Social Responsibility. International Organization for Standardization.
Kompas. 2010. Rindu Pancasila. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kompas. 2011. Ekonomi Indonesia didominasi asing.  Online, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/05/23/07263157/ekonomi.indonesia.didominasi.asing.
Kompas. 2012. Buku Pintar Kompas 2011. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kompas. 2013. Buku Pintar Kompas 2012. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kompas. 2014. Buku Pintar Kompas 2013. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kompas. 2015. Buku Pintar Kompas 2014. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Kompas. 2016. Buku Pintar Kompas 2015. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Radyati, Maria. 2013. CSR dari Hulu ke Hilir. Jakarta: Harian Kompas, diterbitkan 13 Desember 2013.
Radyati, Maria. 2013. Menghitung program sosial sebagai investasi, online, http://karangtarunateratai.blogspot.co.id/2012/05/menghitung-program-sosial-sebagai.html, diakses tanggal 19 Juni 2015.
Radyati, Maria. 2014. Sustainable Business dan Corporate Social Responsibility. Jakarta: Center for Entrepreneurship, Change and Third Sector, Universitas Trisakti.
Rahmi, Santi. 2011. Hubungan Motif Moral & Strategi Terhadap Kinerja CSR. Tesis. Jakarta: Magister Manajemen CSR Universitas Trisakti.
Tempo. 2014. Peran Migas untuk Indonesia. Online, https://m.tempo.co/read/news/2014/05/16/140579956/peran-migas-untuk-indonesia, diakses tanggal 20 Mei 2016.
Tempo. 2010. Greenpeace Tempel Stiker di KitKat untuk Desak Nestle. Online, https://m.tempo.co/read/news/2010/04/16/090241028/greenpeace-tempel-stiker-di-kitkat-untuk-desak-nestle, diakses tanggal 16 Mei 2016.

Komentar