Perubahan
iklim merupakan predator yang tidak terelakan. Lahirnya revolusi industri telah
secara langsung merangsang penggunaan mesin-mesin dan pengunaan sumber daya
alam dalam jumlah yang sangat massif. Dampaknya sangat luar biasa, memasuki
abad 21 frekuensi terjadinya banjir, kekeringan, badai dan naiknya muka air
laut sebagaimana diungkapkan mantan wakil presiden AS, Al Gore menjadi ciri
utamanya.
Laporan
Global Humanitarian Forum, The Anatomy of Silent Crisis (2009) menyebutkan
tentang perubahan iklam yang telah menyebabkan kematian 300.000 orang dan
berdampak pada kehidupan 325 juta orang lainnya.
Sejalan
dengan hal tersebut, kajian Oxfam, Climate Change Alarm: Disaster Increase as
Climate Changes Bites (2007) menyebutkan perbandingan “kematian akibat bencana”
jauh lebih bsar di negara dan komunitas miskin dibandingkan dengan negara kaya.
Bagi
Indonesia, negeri dimana 2/3 masyarakatnya tinggal di wilayah pedesaan,
perubahan iklim telah mengubah derajat ekonomi yang dimilikinya. Perubahan cuaca,
curah hujan dan paparan sinar matahari telah mengubah secara signifikan total
jumlah produksi pertanian yang dicirikan
dengan kondisi produksi yang semakin menurun. Data Rizaldi Boher (2003)
menunjukkan hilangnya produksi padi akibat kejadian eksterem pada periode 1981 –
1990 adalah sekitar 100.000 ton per tahun per kabupaten.
Disisi
lain kalangan nelayan juga mengalami dampak negatif dari perubahan iklim. Bagi para
nelayan, kondisi laut dengan intensitas badai yang semakin tingi ditambah pola
cuaca yang semakin tidak menentu menjadi bentuknya. Akibatnya jumlah tangkapan
hasil laut menjadi kian tidak pasti.
Perubahan
iklim tak dating begitu saja, kerusakan pla yang terjadi kekinian timbul
sebagai akibat peningkatan emisi gas karbondioksida. Dan mereka yang
mengeluarkan karbondioksida tertinggi adalah kalangan negara maju seperti
Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan negara-negara Eropa. Namun secara umum
dari mereka mengelak dari tanggung jawab tersebut dan nyaris sukses memaksakan dictum
baru pasca protocol Kyoto bahwa negara miskin dan berkembang adalah juga
penghasil emisi rumah kaca yang sama besar beban dan kewajibannya dengan
negara-negara industri maju (Hira Jhamtani, 2008).
Cina
yang tumbuh sebagai negara industri baru, selalu dijadikan alasan negara maju
untuk mengelak dari tanggung jawab itu. Padahal negara berkembang dengan
populasi terbesar seperti Cina, India dan Indonesia ini hanya menghasilkan
emisi antara 1,2 – 2,7 metri ton per kapita disbanding Singapura yang
menghasilkan 13,8 metrik ton/kapita, Kanada 16,5 metrik ton/kapita, Australia
18,3 metrik ton/kapita dan terbesar Amerika dengan besaran 20,2 metrik
ton/kapita.
Kondisi
ini memperjelas teori lama tentang survival of fitness, dimana yang kuat yang
menang. Kaitannya jika 1,7 miliar masyarakat miskin di dunia-termasuk 31 juta
penduduk miskin di Indonesia-tidak mampu bertahan menghadapi perubahan iklim
adalah salah sendiri dan karena itu “layak punah” (Ahmad Arif, 2011)
Komentar
Posting Komentar