Kekuasaan telah membuat manusia rapuh di hadapan naluri menguasai, atau warisan reptilian old brain di kepala yang membuat manusia terus berada pada tingkat mempertahankan diri (Hartiningsih, 2011). Respon atas sikap mempertahankan diri tersebut dalam banyak kasus mendorong manusia untuk melakukan usaha preventif seperti KORUPSI.
Menjadi miskin bukanlah kutukan, karena kemiskinan juga bukan semata disebabkan sifat malas atau tidak mau bekerja keras semata. Faktor menjadi miskin bersifat multidimensi akibat pola kebijakan APBN, keputusan dan agenda politik pembangunan, serta keterbatasan akses kesehatan dan perbankan.
Khusus kemiskinan yang disebabkan korupsi, Ketua Dewan Pembangunan Thailand tahun 1980-an Pote Sarasin mengatakan jika korupsi masih dibatasi di bawah 20 persen pembangunan masih mungkin berjalan (Lubis 1988). Para ahli ekonomi, termasuk Sumitro Djojohadikusumo mengatakan tingkat kebocoran di Indonesia sejak akhir tahun 1980-an mencapai lebih dari 30%.
Orde telah bergulir berubah, namun tingkat kejadian perkara pidana korupsi justru menunjukkan peningkatan. Berdasar data yang dihimpun dari KPK sepanjang tahun 2004 - 2010 jumlah tindak pidana korupsi yang terjadi di pemerintah pusat, jawa, sumatera, sulawesi, kalimantan, papua, kepulauan sunda kecil, malaysia dan singapura menunjukkan data sebagai berikut:
1. Tahun 2004 sebanyak 2
2. Tahun 2005 sebanyak 19
3. Tahun 2006 sebanyak 27
4. Tahun 2007 sebanyak 24
5. Tahun 2008 sebanyak 47
6. Tahun 2009 sebanyak 37
7. Tahun 2010 sebanyak 40
Bahkan secara lebih lanjut, berdasar penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dikemukakan bahwa pada setiap kenaikan anggraran untuk kemiskinan sebesar 10 - 15 persen per tahun tidak diikuti dengan perbaikan efektivitas penggunaannya. Pada periode 2000 - 2004 , setiap persen kenaikan anggaran mampu menurunkan 0,4 persen angka kemiskinan, sementara periode 2005 - 2009 hanya 0,06%
Kenyataan sebagaimana diungkap diatas dapat ditinjau dari besaran anggaran kemiskinan yang bertumbuh positif namun tidak diikuti pengurangan angka kemiskinan yang signifikan. Berdasar data BPS dan Kemenkokesra kenaikan anggaran kemiskinan dengan besaran
1. Tahun 2004 besaran Rp 16,7 triliun
2. Tahun 2005 besaran Rp 23 triliun
3. Tahun 2006 besaran Rp 42 triliun
4. Tahun 2007 besaran Rp 51 triliun
5. Tahun 2008 besaran Rp 63 triliun
6. Tahun 2009 besaran Rp 66 triliun
7. Tahun 2010 besaran Rp 94 triliun
tidak diikuti dengan penurunan angka kemiskinan, jumlah penduduk dalam kurun waktu yang sama
1. Tahun 2004 dengan persentase penduduk miskin 16,7%
2. Tahun 2005 dengan persentase penduduk miskin 16%
3. Tahun 2006 dengan persentase penduduk miskin 17,8%
4. Tahun 2007 dengan persentase penduduk miskin 16,6%
5. Tahun 2008 dengan persentase penduduk miskin 15,4%
6. Tahun 2009 dengan persentase penduduk miskin 14,2%
7. Tahun 2010 dengan persentase penduduk miskin 13,3%
hal ini membukatikan bahwa terdapat kesalahan terhadap sistem politik anggaran dan penyerapannya.
Kaum Miskin menjadi musuh (Sri Palupi, 2011)
Dalam persentasi yang dilakukan Palupi di redaksi Kompas tahun 2011, terdapat beberapa sajian kasus yang menghigapi proses akualisasi penurunan angka kemiskinan.
Di Jakarta saja misalnya adapun temuan dari hasil studi yang dilakukan dapat dijawab sebagai berikut:
1. Tahun 2001 - 2003
Terjadi 161 kasus penggusuran dengan korban; 53.246 orang kehilangan tempat tinggal;
10.470 orang kehilangan tempat usaha; 13.262 orang kehilangan pekerjaan; 102 luka;
20 orang mati; 50 sakit; 3.000 kehilangan becak; 1.000 sakit jiwa
2. Tahun 2006 - 2008
Terjadi 353 kasus penggusuran, dengan korban 125.266 orang kehilangan tempat tinggal
dan atau tempat usaha
3. Sejak 1999
Setiap tahun rata-rata terjadi 700 kasus kebakaran dan mayoritas (70%) menimpa pemukiman
miskin dan 29% menimpa fasilitas publik, termasuk pasar tradisional
Peta Dampak Kekerasan terhadap Kaum Miskin (Sri Palupi, 2011)
Bahkan dalam persentasinya secara lebih lanjut, kasus dalam pengentasan angka kemiskinan juga menunjukkan pola pelanggaran HAM karena dalam banyak kasus menganggap dan menempatkan para kaum proletar dalam kedudukan yang terpinggirkan. Beberapa contoh kasus yang terjadi misalnya:
1. Pengamen dan anak jalanan ditangkap dan dibuang ke hutan (Mojokerto, 2008)
2. Gelandangan dan pengemis berusia lanjut dirazia dan dibuang ke hutan (Nganjuk, 2008)
3. Irfan Maulana, salah satu dari puluhan remaja joki 3 in 1 di Jakarta dipukuli satpol PP sampai
meninggal (Jakarta, 2007)
4. Sugiarti, seorang joki 3 in 1 ditangkap dan digudili petugas satpol PP. Ia tertangkap beserta
anaknya yang masih kecil. Anaknya dipaksa melihat ibunya yang sedang digunduli dan
ditampar wajahnya (Jakarta. 2006)
5. Seorang PKL di Sudirman, PKL di Halim, PKL di Palmerah memutuskan bunuh diri karena tak
tahan menanggung beban hidup dan ancaman penggusuran yang terus mengejar mereka
(2006/2007)
(Bagian 1......)
Menjadi miskin bukanlah kutukan, karena kemiskinan juga bukan semata disebabkan sifat malas atau tidak mau bekerja keras semata. Faktor menjadi miskin bersifat multidimensi akibat pola kebijakan APBN, keputusan dan agenda politik pembangunan, serta keterbatasan akses kesehatan dan perbankan.
Khusus kemiskinan yang disebabkan korupsi, Ketua Dewan Pembangunan Thailand tahun 1980-an Pote Sarasin mengatakan jika korupsi masih dibatasi di bawah 20 persen pembangunan masih mungkin berjalan (Lubis 1988). Para ahli ekonomi, termasuk Sumitro Djojohadikusumo mengatakan tingkat kebocoran di Indonesia sejak akhir tahun 1980-an mencapai lebih dari 30%.
Orde telah bergulir berubah, namun tingkat kejadian perkara pidana korupsi justru menunjukkan peningkatan. Berdasar data yang dihimpun dari KPK sepanjang tahun 2004 - 2010 jumlah tindak pidana korupsi yang terjadi di pemerintah pusat, jawa, sumatera, sulawesi, kalimantan, papua, kepulauan sunda kecil, malaysia dan singapura menunjukkan data sebagai berikut:
1. Tahun 2004 sebanyak 2
2. Tahun 2005 sebanyak 19
3. Tahun 2006 sebanyak 27
4. Tahun 2007 sebanyak 24
5. Tahun 2008 sebanyak 47
6. Tahun 2009 sebanyak 37
7. Tahun 2010 sebanyak 40
Bahkan secara lebih lanjut, berdasar penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dikemukakan bahwa pada setiap kenaikan anggraran untuk kemiskinan sebesar 10 - 15 persen per tahun tidak diikuti dengan perbaikan efektivitas penggunaannya. Pada periode 2000 - 2004 , setiap persen kenaikan anggaran mampu menurunkan 0,4 persen angka kemiskinan, sementara periode 2005 - 2009 hanya 0,06%
Kenyataan sebagaimana diungkap diatas dapat ditinjau dari besaran anggaran kemiskinan yang bertumbuh positif namun tidak diikuti pengurangan angka kemiskinan yang signifikan. Berdasar data BPS dan Kemenkokesra kenaikan anggaran kemiskinan dengan besaran
1. Tahun 2004 besaran Rp 16,7 triliun
2. Tahun 2005 besaran Rp 23 triliun
3. Tahun 2006 besaran Rp 42 triliun
4. Tahun 2007 besaran Rp 51 triliun
5. Tahun 2008 besaran Rp 63 triliun
6. Tahun 2009 besaran Rp 66 triliun
7. Tahun 2010 besaran Rp 94 triliun
tidak diikuti dengan penurunan angka kemiskinan, jumlah penduduk dalam kurun waktu yang sama
1. Tahun 2004 dengan persentase penduduk miskin 16,7%
2. Tahun 2005 dengan persentase penduduk miskin 16%
3. Tahun 2006 dengan persentase penduduk miskin 17,8%
4. Tahun 2007 dengan persentase penduduk miskin 16,6%
5. Tahun 2008 dengan persentase penduduk miskin 15,4%
6. Tahun 2009 dengan persentase penduduk miskin 14,2%
7. Tahun 2010 dengan persentase penduduk miskin 13,3%
hal ini membukatikan bahwa terdapat kesalahan terhadap sistem politik anggaran dan penyerapannya.
Kaum Miskin menjadi musuh (Sri Palupi, 2011)
Dalam persentasi yang dilakukan Palupi di redaksi Kompas tahun 2011, terdapat beberapa sajian kasus yang menghigapi proses akualisasi penurunan angka kemiskinan.
Di Jakarta saja misalnya adapun temuan dari hasil studi yang dilakukan dapat dijawab sebagai berikut:
1. Tahun 2001 - 2003
Terjadi 161 kasus penggusuran dengan korban; 53.246 orang kehilangan tempat tinggal;
10.470 orang kehilangan tempat usaha; 13.262 orang kehilangan pekerjaan; 102 luka;
20 orang mati; 50 sakit; 3.000 kehilangan becak; 1.000 sakit jiwa
2. Tahun 2006 - 2008
Terjadi 353 kasus penggusuran, dengan korban 125.266 orang kehilangan tempat tinggal
dan atau tempat usaha
3. Sejak 1999
Setiap tahun rata-rata terjadi 700 kasus kebakaran dan mayoritas (70%) menimpa pemukiman
miskin dan 29% menimpa fasilitas publik, termasuk pasar tradisional
Peta Dampak Kekerasan terhadap Kaum Miskin (Sri Palupi, 2011)
Bahkan dalam persentasinya secara lebih lanjut, kasus dalam pengentasan angka kemiskinan juga menunjukkan pola pelanggaran HAM karena dalam banyak kasus menganggap dan menempatkan para kaum proletar dalam kedudukan yang terpinggirkan. Beberapa contoh kasus yang terjadi misalnya:
1. Pengamen dan anak jalanan ditangkap dan dibuang ke hutan (Mojokerto, 2008)
2. Gelandangan dan pengemis berusia lanjut dirazia dan dibuang ke hutan (Nganjuk, 2008)
3. Irfan Maulana, salah satu dari puluhan remaja joki 3 in 1 di Jakarta dipukuli satpol PP sampai
meninggal (Jakarta, 2007)
4. Sugiarti, seorang joki 3 in 1 ditangkap dan digudili petugas satpol PP. Ia tertangkap beserta
anaknya yang masih kecil. Anaknya dipaksa melihat ibunya yang sedang digunduli dan
ditampar wajahnya (Jakarta. 2006)
5. Seorang PKL di Sudirman, PKL di Halim, PKL di Palmerah memutuskan bunuh diri karena tak
tahan menanggung beban hidup dan ancaman penggusuran yang terus mengejar mereka
(2006/2007)
(Bagian 1......)
Komentar
Posting Komentar