mengaku salah atau setidaknya meminta maaf atas kebijakan yang dibuat bukanlah sebuah tradisi langsung yang berkar di pejabat Indonesia. Tradisi ini berlaku setidaknya dalam kurun waktu 2 pemerintahan awal Indonesia (baca: soekarno dan sorharto).
Faktor pemimpin yang merasa "jumawa" dan selalu berpikir untuk mengorbankan kepentingan segelintir pihak guna kepentingan kelompok lainnya, justru sering kali dijadikan dasar diambilnya sikap arogan tersebut.
Dan ditambah banyaknya jenderal salon serta brutus yang mencoba menguasai dan menyenangkan pimpinan dengan slogan ABS (Asal Bapak Senang) membuat situasi lapangan justru bertambah keruh.
Arogan akhirnya menjadi pakem tidak baku namun berlaku umum yang terjadi di lingkaran pejabat dari negeri berjuluk zambrud khataluistiwa.
Angin Perubahan yang berhembus
Namun demikian sejarah mencatat bahwa permulaan pergeseran atau perubahan tradisi ini juga terjadi saat Pangab/Menhankam Jenderal Wiranto dan Presiden Habibie berkuasa.
Adalah tanggal 7 Agustus 1998 menjadi catatan penting bagi ABRI sebagai salah satu lembaga terkuat di negeri ini kala itu, yang meminta maaf secara langsung kepada masyarakat atas tindakan represif yang dilakukannya selama lebih dari 2 dekade terakhir di bumi rencong (Provinsi NAD).
Pangab Jenderal Wiranto secara terbuka meminta maaf kepada publik yang disusul dengan putusan untuk mencabut status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer atau biasa disingkat DOM dan berjanji menarik seluruh pasukan ABRI (TNI saat ini) yang berasal dari luar Aceh selambat-lambatnya 1 bulan.
Hal tersebut juga didukung presiden yang secara resmi pada sidang paripurna DPR tertanggal 15 Agustus 1998 menyampaikan penyesalan atas pelanggaran HAM yang dilakukan dalam operasi menumpas separatis.
Orang boleh saja mencatat keduanya sebagai salah satu biang timbulnya krisis kekuasaan di awal era reformasi atau inisiator "ngawur" yang melepas provinsi ke 27 Indonesia kala itu.
Namun demikian keluar dari seluruh perkara tersebut, setiap dari kita juga harus mengapresiasi dan mengakui keberhasilan keduanya dalam membuka tradisi baru.
Lantas bagaimana dengan kondisi pejabat saat ini?
Faktor pemimpin yang merasa "jumawa" dan selalu berpikir untuk mengorbankan kepentingan segelintir pihak guna kepentingan kelompok lainnya, justru sering kali dijadikan dasar diambilnya sikap arogan tersebut.
Dan ditambah banyaknya jenderal salon serta brutus yang mencoba menguasai dan menyenangkan pimpinan dengan slogan ABS (Asal Bapak Senang) membuat situasi lapangan justru bertambah keruh.
Arogan akhirnya menjadi pakem tidak baku namun berlaku umum yang terjadi di lingkaran pejabat dari negeri berjuluk zambrud khataluistiwa.
Angin Perubahan yang berhembus
Namun demikian sejarah mencatat bahwa permulaan pergeseran atau perubahan tradisi ini juga terjadi saat Pangab/Menhankam Jenderal Wiranto dan Presiden Habibie berkuasa.
Adalah tanggal 7 Agustus 1998 menjadi catatan penting bagi ABRI sebagai salah satu lembaga terkuat di negeri ini kala itu, yang meminta maaf secara langsung kepada masyarakat atas tindakan represif yang dilakukannya selama lebih dari 2 dekade terakhir di bumi rencong (Provinsi NAD).
Pangab Jenderal Wiranto secara terbuka meminta maaf kepada publik yang disusul dengan putusan untuk mencabut status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer atau biasa disingkat DOM dan berjanji menarik seluruh pasukan ABRI (TNI saat ini) yang berasal dari luar Aceh selambat-lambatnya 1 bulan.
Hal tersebut juga didukung presiden yang secara resmi pada sidang paripurna DPR tertanggal 15 Agustus 1998 menyampaikan penyesalan atas pelanggaran HAM yang dilakukan dalam operasi menumpas separatis.
Orang boleh saja mencatat keduanya sebagai salah satu biang timbulnya krisis kekuasaan di awal era reformasi atau inisiator "ngawur" yang melepas provinsi ke 27 Indonesia kala itu.
Namun demikian keluar dari seluruh perkara tersebut, setiap dari kita juga harus mengapresiasi dan mengakui keberhasilan keduanya dalam membuka tradisi baru.
Lantas bagaimana dengan kondisi pejabat saat ini?
Komentar
Posting Komentar