Pagi tempe sore dele

Tulisan ini memuat tentang tradisi politik yang berkembang belakangan di Indonesia. Saat politik praktis membuat cara berpikir kritis menjadi hilang dan justru cenderung membimbing bentuk sifat oportunis.

Semoga tulisan ini dapat menjadi pembelajaran bagi generasi kelak.


Tulisan pembuka ini diadaptasi dari tulisan M Subhan di Kompas 2017
"Alkisah Konrad Herman Joseph Adenaeur (1876 - 1967), kanselir pertama Jerman menjadi tamsil klasik politikus yang mencla- mencle dan hipokrit.

Ketika memimpin sidang, seorang politikus muda nan kritis mengkritiknya "bagaimana mungkin anda mengatakan berbeda dengan yang anda katakan sebulan silam? Peduli apa dengan omongan saya yang kemarin-kemarin sahut Adenauer. 

Inilah wajah politik penuh kepura-puraan serta kepalsuan.

Jean Baudrillard menggambarkannya sebagai topeng-topeng simularka yang menggambarkan realitas politik semu.

Belakang ketika realita ini ditarik maju kekinian, nyatanya masih berlaku.

Kasus terbaru tentang bagaimana partai bergambar burung garuda dan matahari dengan warna dominan biru dan putih mencoba merongrong aturan perundang undangan komisi antikorupsi akibat salah satu kader dari kedua partai yang tersangkut isu korupsi.

Tidak lebih dari pantauan masyarakat 2 bulan yang lalu mereka menolak dengan keras perubahan perundang-undangan bagi komisi antirusuah, tapi saat kader mereka terindikasi mereka berbalik mengaum bak singa marah yang kalap merobek mangsa.

Gila memang tapi itulah wajah politik kita. Dan tidak menjadi salah saat guru besar STF Driyakara menyerukan bahwa pemilu dirancang bukan semata untuk memilih orang berkuasa tapi mencegah orang buruk berkuasa. Kekuatan pemimpin diindikasi merubah arah partai secara gradual.

Pertanyaan mendasar bagaimana langkah kita memutus rantai mencla-mencle ini?

Selamat merenung

Komentar