Warna Baru Politik Timur Tengah

Awal juni 2017 menjadi penanda awal perubahan peta politik Timur Tengah. Tema terorisme dan kebijakan politik luar negeri salah satu negara teluk mendorong negara yang tergabung dalam Liga Arab untuk menendang Qatar dari jaringan kawasan.

Kaget memang karena sang polisi kawasan (baca: Arab Saudi) akhirnya berani melakukan tindakan terbuka yang menjatuhkan sanksi kepada Qatar.

Dan sudah menjadi rahasia umum jika tonggak politik Qatar selama ini menjadi warna beda dibanding negara teluk lainnya. Hal tersebut terlihat dari paham kebijakan luar negeri Qatar yang medukung gerakan garis keras di timur tengah, mendukung gerakan musim semi arab atau biasa dikenal arab spring dan menghargai langkah politik Iran.

Sikap Qatar yang mencoba mengambil langkah moderat maju kedepan akhirnya mulai menimbulkan gesekan dengan pemimpin kawasan. Dampaknya pemutusan hubungan diplomatik oleh arab saudi dan bahrain yang terjadi pada tanggal 5 juni, diikuti uni emirat arab, mesir, yaman dan libya 1 hari setelahnya.



BOM WAKTU QATAR
Sebagaimana ditulis dalam kompas 2017, sejak Tamin mengkudeta kekuasaan ayahnya pada tahun 1990an, negara yang paling gelisah adalah arab saudi. Hal ini disebakan kudeta yang berlangsung dianggap menyalahi norma-norma suksesi negara teluk. Kegelisahan itu berlanjut dengan upaya arab saudi  membangun aliansi dari keluarga kerajaan Al-Thani untuk mengkudeta Emir Hamad pada 1996 dan mengembalikan kekuasaan Qatar pada Emir Khalifa bin Hamad al-Thani. Manuver politik inilah yang kemudian menjadi benih diplomasi kedua negara yang berada pada titik nadir.

POSISI QATAR PASCA ISOLASI
Dampak pemutusan hubungan diplomatik telah membuat rantai perdagangan menuju Qatar mengalami isolasi total. Tidak terhitung pelabuhan seperti Pelabuhan Jabal Ali yang berlokasi didekat Dubai dan pelabuhan Al Fujairah di UEA telah menutup diri dengan Qatar.

Bahkan penerbangan Qatar Airways pun telah dilarang melintas di wilayah udara beberapa negara di kawasan yang telah memutus hubungan diplomatik.

Namun beruntung bagi Qatar, mitra dekatnya seperti Turki dan Iran berkomitmen untuk menyuplai segala kebutuhan Qatar. Seperti diberitakan Turki misalnya telah mengirim 5 kapal dengan kapasitas ribuan ton makanan tiap harinya menuju Qatar.

Masuknya kapal-kapal Turki via mesir tidak mengalami hambatan berarti meski negeri tersebut telah memutus hubungan diplomatik. Kesepatan Constantine 1888 telah mengikat mesir bahwa larangan kapal melewati terusan suez hanya berlaku bagi kapal pengangkut budak, kapal pengangkut narkotika dan kapal negara yang sedang berperang dengan mesir.

REAKSI AMERIKA SERIKAT
Polarisasi politik AS dalam mendamaikan 2 sekutu tuanya di kawasan menjadi hal yang paling ditunggu publik, namun apa daya, presiden trump dengan gayanya yang "koboi" merespon gejolak yang terjadi via twitter dengan sikap yang seolah membenarkan sikap arab saudi.

Pernyataan presiden trump sontak menimbulkan kekagetan diseluruh negeri bahkan di dunia. Posisi Qatar yang selama ini ditempatkan sebagai sekutu terdekat dan merupakan "rumah" pangkalan militer terbesarnya di kawasan (berdasar info setidaknya terdapat lebih dari 10.000 pasukan di Qatar) telah membuat dunia seolah bingung dengan langkah kaki polisi dunia tersebut.

Namun demikian akibat pernyataan sembarangan yang dikeluarkannya, juru bicara gedung putih dan kementerian luar negeri AS merespon berbeda dengan mengajukan diri mereka sebagai mediator gejolak yang terjadi. Sebelum kemudian presiden mengambil langkah serupa.

PERAN DIPLOMASI INDONESIA
Indonesia melalui kementerian luar negeri juga sudah mengulurkan bantuan sebagai mediator. Dan bersamaan dengan hal tersebut, presiden jokowi juga telah secara intens melakukan komunikasi kepada sejumlah negara di kawasan timur tengah untuk mendinginkan situasi.

Semoga gejolak di timur tengah segera padam dan membawa angin perubahan bagi kedewasaan di kawasan.



Komentar