Artikel ini akan bercerita tentang sebuah dokumen "lawas" asal Roma yang menjadi suatu refrensi lain dalam memandang religio.
Pengenalan akan dokumen tersebut melintas di pemikiran penulis setelah membaca catatan pinggiran yang ditulis Goenawan Mohamad pada awal tahun 2014.
Selamat menikmati.....
De Rerum Natura atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai "Tentang Kodrat Benda-Benda) merupakan penggalan suatu ajaran (yang termaktum dalam 6 jilid buku) yang melintas beberapa dasawarsa menjelang kelahiran Isa Almasih.
Dalam De Rerum Natura, religio digambarkan sebagai mahkluk mengerikan yang menindas manusia. Religio juga dilihat sebagai sarana mempertontonkan sisi gelap dan kegairahan hasrat manusia akan bentuk kemashuran dan kegilaannya untuk merengkuh kuasa.
Kemudian tentang menjawab makna kesalihan sendiri, dalam dokumen tersebut juga dikritisi bentuk religio yang pada banyak kasus justru berpekara semata dengan tradisi menghampiri semua altar, bersujud di kuil para dewa, dan membasahi altar dengan darah hewan kurban.
Disebutkan bahwa bentuk yang demikianlah yang harus dikikis untuk memberi makna baru dari kesalihan yang didefinisi sebagai bentuk kita menatap semua hal dengan pikiran yang damai.
Gambaran akan De Rerum Natura bisa kita simak dalam syair, Lucretius seorang penyair dan pemikir asal Roma melukuskan religio dengan kalimat sebagai berikut:
.... di seluruh negeri
hidup manusia rusak terlindas
di bawah beban berat agama,
yang menampakkan kepalanya
dari lapis langit,
mengancam manusia yang fana
dengan wajah yang menakutkan
Inilah penggalan suatu masa, dimana religio dipandang sebatas ritus pembuka atau pamer diri bukan sebagai gambar manifestasi manusia dari hidup manusia yang nyata.
Membaca penggalan tulisan GM diatas, kita sebenarnya diingatkan akan jebakan religio yang dapat meng-kotak-an manusia, saat manusia itu sendiri seolah mulai berperan mengganti Tuhan yang memutuskan dia (sosok lain) berdosa dan harus diadili.
Bahkan lebih konyolnya lagi, penggunaan pakaian, aksesoris gaya hidup dan bahkan ritus yang dipamerkan ke khalayak demi mengundang pikiran-pikiran manusia lainnya akan betapa religiusnya "dia", adanya telah meracuni pikiran banyak manusia lainnya dalam memandang seorang religius dalam dudukan visible mata bukan lagi invisible hati yang melihat kedalaman hati dan tindak perbuatan real
Semoga arus tindak ini akan berputar agar manusia lainnya tidak terseret bentuk penyesatan yang bergerak atas kehendaak kepentingan segelintir manusia lainnya
Mengutip salah satu ungkapan seorang kolega di kantor, "kamu boleh jadi bodoh tapi jangan sampai jadi goblok"
Salam
Pengenalan akan dokumen tersebut melintas di pemikiran penulis setelah membaca catatan pinggiran yang ditulis Goenawan Mohamad pada awal tahun 2014.
Selamat menikmati.....
De Rerum Natura atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai "Tentang Kodrat Benda-Benda) merupakan penggalan suatu ajaran (yang termaktum dalam 6 jilid buku) yang melintas beberapa dasawarsa menjelang kelahiran Isa Almasih.
Dalam De Rerum Natura, religio digambarkan sebagai mahkluk mengerikan yang menindas manusia. Religio juga dilihat sebagai sarana mempertontonkan sisi gelap dan kegairahan hasrat manusia akan bentuk kemashuran dan kegilaannya untuk merengkuh kuasa.
Kemudian tentang menjawab makna kesalihan sendiri, dalam dokumen tersebut juga dikritisi bentuk religio yang pada banyak kasus justru berpekara semata dengan tradisi menghampiri semua altar, bersujud di kuil para dewa, dan membasahi altar dengan darah hewan kurban.
Disebutkan bahwa bentuk yang demikianlah yang harus dikikis untuk memberi makna baru dari kesalihan yang didefinisi sebagai bentuk kita menatap semua hal dengan pikiran yang damai.
Gambaran akan De Rerum Natura bisa kita simak dalam syair, Lucretius seorang penyair dan pemikir asal Roma melukuskan religio dengan kalimat sebagai berikut:
.... di seluruh negeri
hidup manusia rusak terlindas
di bawah beban berat agama,
yang menampakkan kepalanya
dari lapis langit,
mengancam manusia yang fana
dengan wajah yang menakutkan
Inilah penggalan suatu masa, dimana religio dipandang sebatas ritus pembuka atau pamer diri bukan sebagai gambar manifestasi manusia dari hidup manusia yang nyata.
Membaca penggalan tulisan GM diatas, kita sebenarnya diingatkan akan jebakan religio yang dapat meng-kotak-an manusia, saat manusia itu sendiri seolah mulai berperan mengganti Tuhan yang memutuskan dia (sosok lain) berdosa dan harus diadili.
Bahkan lebih konyolnya lagi, penggunaan pakaian, aksesoris gaya hidup dan bahkan ritus yang dipamerkan ke khalayak demi mengundang pikiran-pikiran manusia lainnya akan betapa religiusnya "dia", adanya telah meracuni pikiran banyak manusia lainnya dalam memandang seorang religius dalam dudukan visible mata bukan lagi invisible hati yang melihat kedalaman hati dan tindak perbuatan real
Semoga arus tindak ini akan berputar agar manusia lainnya tidak terseret bentuk penyesatan yang bergerak atas kehendaak kepentingan segelintir manusia lainnya
Mengutip salah satu ungkapan seorang kolega di kantor, "kamu boleh jadi bodoh tapi jangan sampai jadi goblok"
Salam
Komentar
Posting Komentar