Hembusan angin kuat terkait "dugaan" drama dua sisi yang dilakukan panglima menjadi sorotan publik dalam 4 bulan belakangan. Penyebabnya isu seputar pembelian ribuan pucuk senjata yang dilontarkan panglima di hadapan para purnawirawan pada satu gelaran forum yang dilaksanakan TNI.
Hal ini sebenarnya jika ditelisik lebih jauh bukanlah suatu isu baru, karena pada tahun lalu saat Jakarta memanas akibat tensi pilkada yang memuncak, sang panglima kala itu juga telah "coba bermain api" di 2 sisi yang saling berseberangan.
Sikapnya yang kala itu mencoba merangkul dan mendudukan presiden serta para "pentolan" masa sempat mencuatkan namanya dalam pusaran politik nasional. Bahkan sikapnya yang "nekad" dan banyak dibalut "selimut patriotik" telah menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat yang selalu merindu akan hadirnya sosok pemimpin dari kalangan "militer hijau" yang bukan semata mampu bersikap tegas dan nasionalis namun juga memiliki kepribadian yang religius.
Panglima tentunya bukanlah orang yang tak mampu membaca tanda jaman. Gerak alam yang seolah bergerak mendekat dapat menjadi suatu "tangkapan" yang bagus, jika ia mampu bergerak secara elegan di mata presiden dan masyarakat saat ini yang menuntut profesionalisme beliau, apalagi jika mengingat wakil presiden saat ini telah memasuki usia yang sedemikian senja sehingga menuntun masyarakat untuk medorong presiden mencari sosok yang lebih muda dan tangguh untuk mendampingi beliau pada periode mendatang.
Dan bukan tidak mungkin jika pilihan tersebut akan dialamatkan kepada panglima yang akan memasuki usia pensiun pada kuartal pertama tahun mendatang.
Hitung-hitungan politik pun juga sudah di kalkulasi Istana dan partai pendukung pemerintah untuk menggerus suara rival sebelah yang juga memiliki latar belakang cenderung sama (baca: militer)
Selamat menanggapi pesan semesta panglima, namun jika saya boleh bersaran lakukanlah hal tersebut secara elegan dengan tidak menarik institusi dalam arena politik praktis
Salam kebangsaan.....
Hal ini sebenarnya jika ditelisik lebih jauh bukanlah suatu isu baru, karena pada tahun lalu saat Jakarta memanas akibat tensi pilkada yang memuncak, sang panglima kala itu juga telah "coba bermain api" di 2 sisi yang saling berseberangan.
Sikapnya yang kala itu mencoba merangkul dan mendudukan presiden serta para "pentolan" masa sempat mencuatkan namanya dalam pusaran politik nasional. Bahkan sikapnya yang "nekad" dan banyak dibalut "selimut patriotik" telah menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat yang selalu merindu akan hadirnya sosok pemimpin dari kalangan "militer hijau" yang bukan semata mampu bersikap tegas dan nasionalis namun juga memiliki kepribadian yang religius.
Panglima tentunya bukanlah orang yang tak mampu membaca tanda jaman. Gerak alam yang seolah bergerak mendekat dapat menjadi suatu "tangkapan" yang bagus, jika ia mampu bergerak secara elegan di mata presiden dan masyarakat saat ini yang menuntut profesionalisme beliau, apalagi jika mengingat wakil presiden saat ini telah memasuki usia yang sedemikian senja sehingga menuntun masyarakat untuk medorong presiden mencari sosok yang lebih muda dan tangguh untuk mendampingi beliau pada periode mendatang.
Dan bukan tidak mungkin jika pilihan tersebut akan dialamatkan kepada panglima yang akan memasuki usia pensiun pada kuartal pertama tahun mendatang.
Hitung-hitungan politik pun juga sudah di kalkulasi Istana dan partai pendukung pemerintah untuk menggerus suara rival sebelah yang juga memiliki latar belakang cenderung sama (baca: militer)
Selamat menanggapi pesan semesta panglima, namun jika saya boleh bersaran lakukanlah hal tersebut secara elegan dengan tidak menarik institusi dalam arena politik praktis
Salam kebangsaan.....
Komentar
Posting Komentar