Fakta Pasar Tradisional

Pasar Tradisional selalu menjadi salah satu tonggak isu politik yang dipakai para pemimpin negeri ini kala berkampanye. Dengan massa langsung (baca: pedagang) yang mencapai 17,1 juta jiwa menjadikan pasar tradisional sebagai ceruk "seksi" dalam mengenal dan mengetuk pasar pemilih.

Namun apa daya, "magnet" tersebut nyatanya hanya berlaku musiman. Pasca ajang pesta rakyat (baca: pemilu) berakhir, kondisi pasar seringkali justru menjadi semakin menyedihkan .

Di wilayah Yogyakarta saja misalnya, berdasar data yang dihimpun jumlah pasar tradisional pada tahun 2007, 2008 dan 2009 mengalami stagnasi di angka 338 pasar sedangkan pasar modern mengalami pertumbuhan pesat dari berjumlah 228 pada tahun 2007, berkembang menjadi 304 pada tahun 2008, sebelum kemudian berkembang kembali menjadi 352 pasar pada tahun 2009.

Data pasar modern menyebutkan bahwa pasar modern (minimarket, supermarket dan hypermarket) saat ini dikuasai 28 peritel modern dengan total cakupan pasar 31%.

Dari jumlah tersebut omzet yang dihasilkan mencapai Rp 70,5 triliun yang mana berarti tiap peritel modern rata-rata menikmati Rp 2,5 triliun. Dari jumlah tersebut, ritel dengan kategori minimarket 83,8%  terkosentrasi pada 2 entitas terkenal yaitu Indomart dan Alfamart.

Kemudian di ceruk kategori Supermarket dari 100% "lahan" yang tersedia, 75% dikuasai Hero, Carrefour, Superindo, Foodmart, Yogya dan Ramayana.

Untuk kelas hypermarket 48,7% ceruk pasar yang ada terkonsentrasi dalam 5 pemain besar yaitu Carrefour dengan jangkauan 48,7%, Hypermart dengan besaran 22%, Giant dengan besaran 17,7%, Makro dengan besaran 9,5% dan Indogrosir dengan besaran 1,9%.



Bandingkan dengan ritel tradisional yang memiliki omset Rp 156,9 triliun yang dibagi untuk 17,1 juta pelaku usaha, memiliki arti bahwa satu pelaku usaha hanya menikmati omset rata-rata sebesar Rp 9,1 juta per tahun atau Rp 764,6 ribu per bulan.

Sungguh angka yang miris bagi sepotong "lapis" masyarakat yang sering disebut para begawan sebagai tonggak ekonomi kerakyatan, namun seolah mati akibat perlakuan dan pembiaran yang dilakukan para wakilnya sendiri (baca: politisi, begawan dan mereka yang mengaku ahli) rakyatnya sendiri.

Selamat merenung....

Sumber:
1. Buku "Mempertahankan Pilar Ekonomi Rakyat", 2011

Komentar