G-6 plus 1 (Amerika)

Trump merupakan satu sisi lain dari wajah Amerika. Pengambilan keputusan yang kerap kali berujung kontroversi melekat pada jati diri pada presiden ke 45 Amerika Serikat.

Terbaru keputusannya untuk menerapkan tarif impor baja dan alumnium terhadap sekutu tradisionalnya di Eropa dan belahan Amerika Utara menjadi tamparan tersendiri.

Tak habis pikir memang, bagaimana sosok presiden yang satu ini kerap menempatkan posisi layaknya memimpin perusahaan dengan negara lain sebagai "bawahannya".

Tapi itulah Trump, gaya diplomasi yang "ceplas ceplos" dan tidak terprediksi membuat banyak kawan dan lawan menjadi bingung. Bahkan konon Presiden Korea Utara sampai harus menyewa konsultan untuk menjembatani komunikasi dengan presiden AS ini.

Sebenarnya apa yang menyebabkan Trump menjadi berani untuk menampilkan sisi lain dari wajah Amerika?



Mundurnya Daya Saing AS
Amerika hari ini menyajikan chapter mimpi buruk bagi mereka yang dulu mengidamkan America Dream (baca: konteks menjadi sukses yang banyak berkembang dalam dekade 1950 hingga 2000-an). Amerika hari ini terus merangsek ke zona dimana utang negara terus mengalami peningkatan hingga 20 triliun dollar AS dan terus bertambah karena satu utang harus ditutup dengan utang lainnya.

Berdasar catatan yang dikeluarkan pemerintah, pada tahun 2016 defisit perdagangan terus naik mencapai 796 miliar dollar AS. Pengangguran resmi memang berkisar 4,1% tapi itu hanya bersifat temporer, ekonomi pun melesu hingga hanya mengalami pertumbuhan 3%.

Tatanan dunia hari ini sudah banyak mengalami perubahan sejak 6 dekade lalu  menggantungkan pertumbuhan ekonomi pada AS semata.

Wajah AS hari ini ibarat seorang tua yang menjadi takut untuk bersaing. Gejala ini tentu berbeda dengan lanskap Pasifik yang terus berbenah menciptakan iklim inklusif.

Dengan jumlah penduduk 4 miliar jiwa, didukung faktor demografi dengan konsumen berusia muda, Asia memiliki efek lebih dramatis ketimbang konsumen AS pada dekade 1950-an kata Brian dari Davy Group (2016).

Kemampuan Asia menghasilkan produk kebutuhan konsumen juga semain mendorong perekonomian kawasan. Dapat kita lihat bahwa dulu Apple, Nokia dan Blackberry misalnya begitu mendominasi pasar Asia, namun kini menghadapi saingan berat dari Huawei, OPPO dan Xiaomi. Hasil studi Strategy Analytics menyebutkan bahwa 3 dari 5 pembuat telepon pintar terbesar di dunia adalah milik Asia. Sebagaimana dikutip oleh Mantan Menteri Keuangan AS, Larry Summers bahwa pangsa pasar trio asal China (Huawei, OPPO dan Xiaomi) sebanyak 25% dari total penjualan dunia yang tercatat pada kuartal III-2017. Pangsa pasar ini 2 kali lebih besar dari pangsa pasar Apple. Modernisasi fantastis perekonomian sia di samping efek revolusi industri menjadikan Asia sebagai tonggak pembangunan terpenting dalam sejarah dunia.

Memulai Abad Pasifik
Pasifik telah menjadi spektrum baru pertumbuhan global, sebagaimana disebutkan dalam beberapa artikel Kompas mengenai fakta pendorong adalah sebagai berikut:

Pertama, dilihat dari daya beli-nya, kelas menengah Asia sudah melampaui daya beli kelas menengah AS. Pada tahun 2015, kelas menengah asal India dan China menguasai 17% dari total konsumsi kelas menengah dunia;

Kedua, India berhasil menggeser AS sebagai pembeli telepon seluler terbesar kedua di dunia. Posisi pertama ditempati oleh China berdasar data Canalys (sebuah perusahaan riset);

Ketiga, berdasar penuturan Scott Maw, Direktur Keuangan Starbucks disebutkan bahwa sumber utama perolehan laba perusahaan didapat dari pasar Amrika Utara dan Asia. Khusus di Asia misalnya ertumbuhan laba di China sebesar 2 kali dari AS;

Keempat, pada tahun 2030 kelas menengah China dan India akan memiliki pangsa 39 persen dibanding Amerika yang hanya 7 persen. Boeing misalnya memperkirakan selama periode 2017 - 2036 bahwa 2 dari 5 pesawat yang lahir adalah untuk Asia.

Melawan Arus Global - Sebuah Perlawanan dari sekutu tradisional
Sikap proteksionis AS telah membuat para sekitu tradisional-nya menjadi sedemikian jengkel. Buntutnya banyak dari mereka memberikan banyak perlawanan. Beberapa contoh negara misalnya:

NAFTA atau kawasan perdagangan bebas Amerika Utara yang beranggotakan 3 negara di kawasan Amerika Utara (AS, Kanada dan Meksiko) kembali bersiap melawan kebijakan AS akibat tuntutan Paman Sam agar Meksiko misalnya menaikkan upah buruh agar produk AS mampu bersaing.

Selain itu AS juga meminta agar proses peroduksi mobil di Amerika Utara minimal 75% menggunakan komponen asli buatan NAFTA. Padahal sebagaimana diketahui bersama bahwa Kanada dan Meksiko bukan negara yang handal dalam otomotif, hal ini berarti pemakaian komponen yang bersumber dari produksi AS menjadi suatu keharusan. Dan dalam kondisi lain dimana terdapat komponen lain melebihi porsi 25% baik berasal dari Eropa, Jepang, maupun China maka AS akan menolak masuk.

Inilah yang disebut Stiglitz - peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001 sebagai kemunduran. Trump baginya mencoba membalikkan 70 tahun proses perjanjian internasional yang telah menciptakan jaringan indutri dimana perbatasan bukan lagi menjadi masalah.

Selain isu sebagaimana disebutkan diatas, keberadaan NAFTA juga dibuat goncang dengan keputusan AS untuk menaikkan tarif impor baja dan aluminium sebagai realisasi janji dari kampanye Trump.

Dalam hitungan jam setelah pengumuman, PM Kanada Justin Trudeau dalam konferensi persi Jumat, 1 Juni 2018 mengumumkan pembalasan atas barang-barang AS senilai 12,8 miliar dollar A. Karena kebijakan tarif oleh AS dianggap senagai penghinaan terhadap kemitraan keamanan jangka panjang yang telah terjalin selama ini.

Uni Eropa juga tidak kalah bersuara, Merkel (Kanselir Jerman) berjanji untuk membalas setiap tindakan yang diambil AS yang merugikan sekutu.

Pun demikian dengan Jepang serta China. Khusus China saat AS mengumukan tarif untuk produk impor asal China senilai 50 miliar dollar AS, tanpa segan China langsung membalas untuk manaikkan tarif impor untuk produk pertanian asal AS seperti buah segar, anggur, pipa baja, daging dan aluminium daur ulang dengan tarif antara 10 - 25% senilai 30 miliar dollar AS.



Hal ini tentunya menjadi ancaman serius karena petani yang menjadi sasaran China berasal dari negara bagian Illinois, Iowa, Minnesota, North Dakota, Indiana dan Missouri yang merupakan kantung pemilih Trump di AS.

Dengan nada mengancam, Gao Feng - Juru Bicara Kementerian Perdagangan menungkapkan bahwa Beijing akan berjuang hingga akhir.

Dalam pertemuan menteri keuangan kelompok G-7 yang berlangsung pada awal Juni 2018, dengan nada menyindir Menteri Keuangan Perancis menyebut pertemuan sebagai ajang G-6 plus 1 (AS)

Mari kita simak bersama apa yang akan terjadi selanjutnya.
Anomali politik AS selalu menarik untuk dicermati

Komentar