Jerman adalah salah satu negara kuat di dunia saat ini. Sebagai negara eksportir terbesar ketiga (setelah China dan Amerika Serikat). Jerman saat ini melaju sebagai negara pemilik produksi domestik bruto keempat dunia (setelah Amerika Serikat, China dan Jepang).
Di saat banyak negara Uni Eropa menderita defisit anggaran, Jerman justru bergerak dengan surplus ekonomi mencapai 25 miliar euro
Seperti diungkapkan mantan Dubes Inggris untuk Jerman, Paul Lever, Jerman lebih kuat dari segala zaman, terutama di UE. Ini bukan karena Jerman memilih demikian, melainkan karena tidak ada negara lain yang mampu memimpin.
Berangkat dari sejarah pahit
Dekade 1990-an adalah salah satu periode panjang nan pahit bagi perekonomian Jerman. Penggabungan 2 Jerman setelah terpecah dalam era perang dingin ditambah dengan hancurnya infrastruktur ekonomi membuat Jerman lunglai, pada saat itu Jerman disebut mengalami Eurosclerosis (sebuah julukan untuk negara dengan pertumbuhan rendah; saat itu tingkat pengangguran berada di atas 10%). Konsidi Jerman saat itu berbanding terbalik dengan Paman Sam yang sedang memasuki periode emas ekonomi.
Jerman dan Peringkat Kenyamanan
Jajak pendapat yang dilakukan Wharton School University of Pennsylvania tahun 2016 mengemukakan bahwa Jerman adalah negara terbaik keempat di dunia setelah Swiss, Kanada dan Inggrsi diukur berdasar aspek sosial, ekonomi, bisnis, dsb.
Di Jerman tingkat pengangguran hari ini hanya mencapai 2,6 juta orang atau sekitar 5,9%, jauh diantara negara kawasan lainnya yang mendekati 10%.
Kunci Perubahan Jerman
Christian Dustmann, Bernd Fitzenberger, Uta Schonberg dan Alexandra Spitz-Oener melalui artikel berjudul Sick Man of Europe to Economic Superstar: Germany's Resurgent Economy (2014) menuliskan bahwa pada dekade 1990-ab, Jerman melakukan serangkaian perombakan pasar ketenagakerjaan yang selama ini berjalan kaku dengan besaran upah yang cukup tinggi.
Berbagai komunikasi politik dan serangkaian kebijakan nyatanya kala itu mampu membangun relasi serta keseimbangan antara karyawan dan perusahaan. Serikat-serikat pekerja yang kuat dipaksa merespon pada realitas baru dan bersedia fleksibel, hal ini tentunya di luar perkiraan banyak kalangan mengingat sejarah serikat pekerja Jerman yang cukup solid membela kepentingan kaum pekerja.
Jerman pun melakukan desentralisasi soal penentuan upah sepanjang dekade 1990 dengan kesediaan buruh untuk menurunkan upah yang diterima dengan tidak mengabaikan produktivitas.
Saat itu warga Jerman menyadari bahwa sedang terjadi perubahan era dimana Asia terutama China dan Eropa Timur sedang bertumbuh menjadi pusat-pusat ekonomi dunia.
Reformasi ketenagakerjaan dekade 1990-an ini dilanjutkan dengan reformasi Hartz pada era Kanselir Gerard Schoerder pada tahun 2003. Bentuk reformasi lanjutan ini dilakukan dengan mengurangi jaminan sosial untuk para penganggur dengan tujuan agar mereka mencari pekerjaan. Secara bersamaan pemerintah banyak memberi jasa termasuk pelatihan ketenagakerjaan.
Hubungan industrial juga dibuat otonom dimana penetuan tidak bergantung kebijakan pemerintah pusat. Ada tripartit ketenagakerjaan yakni pengusaha, buruh dan dewa pekerja yang bersedia "berembuk".
Di Jerman, upah buruh, jam kerja dan aspek lainnya diputuskan oleh asosiasi pengusaha, serikat pekerja dan dewan ketenagakerjaan yang berasal dari gabungan serikat pekerja.
Dalam artikel disebutkan bahwa perubahan kontrak kerja menjadi dasar utama perbaikan daya saing industri di Jerman.
Penelitian dalam artikel lainnya juga menunjukkan bahwa kombinasi input murah dari impor eks-Eropa Timur seperti Polandia, Hongaria, Ceko, Slowakia yang mengahasilakan output berharga kompetitif setelah mengalami proses dengan standard Jerman menjadi keungulan tersendiri atas produk Jerman. Hal ini ditambah terintegrasinya Pasar Uni Eropa sebagai market hasil produk.
Menjadi agak lucu saat presiden ke 45 AS menuduh kemajuan Jerman sebagai bentuk konspirasi permainan kurs karena surplus perdangan dengan AS yang mencapai 271 miliar dollar. Menteri Perekonomian Jerman menyebut bahwa produk kami adalah buah dari kerja keras dan efisiensi.
Silahkan mengambil hikmah dari pembelajaran Jerman, masih relevan kah saat kita terus menuntut karena balutan kepentingan politik yang dibawa sebagai aliansi buruh? atau ribut-ribu akibat perombakan kursi direksi di BUMN?
Salam Pembelajar
(sebagaian sumber tulisan diambil dari Harian Kompas, Media Indonesia, CNN dan Daily Mail)
Komentar
Posting Komentar