Suriah dan Bayang Musim Semi

Musim semi merupakan pandaan kata yang paling sering digunakan untuk menggambarkan peristiwa politik yang melahirkan pembaharuan. Idiom kata ini mulai digunakan sejak revolusi yang terjadi di Eropa pada tahun 1848 yang melahirkan liberalisme dan nasionalisme. Bahkan pergolakan di Cekoslovakia pada tahun 1968 atau biasa disebut Musim Semi Praha juga terjadi dengan menggunakan idiom ini sebelum berakhir dengan tank-tank Uni Soviet masuk dan melindas pergolakan itu.

Masuk ke bulan April 1974 sekelompok perwira muda di dalam militer Portugal melancarkan kudeta kepada Marcello Caetano. Dalam tempo beberapa hari rezim tersebut tumbang dan memicu pergolakan politik 18 bulan setelahnya. Sesaat setelah pergolakan terjadi, Portugal mulai menapaki era emas perkembangan baik dari sisi ekonomi, sosial dan budaya.

Musim semi yang terjadi di kawasan Afrika Utara yang kemudian merembet menuju kawasan Timur Tengah pada tahun 2010 seolah menjadi penanda awal baru tatanan global. Rezim militer dengan penunggalan tokoh menjadi sasaran utama dari Musim Semi yang berlangsung.



Musim Semi ini bermula di sebuah kota kecil di Tunisia bernama Sidi Bou Zid (300 km sebelah selatan Tunis).

Awal kisah dimulai dari cerita seorang pedagang sayur bernama Mohamed Bouazizi yang berani mengambil keputusan besar dengan berdiri di depan gedung pemerintahan setempat.  Tanpa pikir panjang, ia mengguyurkan tubuhnya dengan minyak cat lalu mengunakan korek api membakar tubuhnya. Tubuh pemuda berusia 26 tahun yang mengenyam tingkat sarjana muda namun harus banting setir menjadi pedagang buah-buahan hangus terbakar api yang dipicunya sendiri.

Sebelum Bouazizi nekat membakar tubuhnya sendiri, ia diperlakukan secara tidak pantas oleh seorang polisi wanita Fetya Hamdi. Banyak cerita yang berkembang, salah satunya yang paling terkenal menuturkan Bouazizi yang ditampar wajahnya oleh polisi wanita tersebut di hadapan banyak orang. Ayahnya yang sudah meninggal pun dihina serta dagangannya diobrak-abrik, padahal ia telah memberikan yang sebesar 10 dinar kepada polisi itu.

Bukan kali ini saja Bouazizi diperlakukan demikian. Tetapi ia seperti kehabisan kesabarannya. Ia sudah benar-benar malu, ia pergi ke kantor walikota dan mengatakan ingin bertemu walikota, namun sesampainya disana walikota tidak bisa ditemui karena sedang rapat.

Gagal bertemu walikota ia pergi ke sebuah toko dan membeli minyak cat dan membakar tubuhnya. Tepat pukul 11.30 ia membakar tubuhnya namun tidak langsung tewas. Ia meninggal di rumah sakit pada 4 Januari 2011.

Sehari setelah Bouazizi membakar tubuhnya, Menobia ibunda Mohamed Bouazizi mendatangi kantor walikota dan memprotes tindakan yang dilakukan polisi kepada anaknya. Pada hari berlangsungnya protes tersebut tidak ada yang tergerak untuk maju ataupun merespon protes yang dilakukan. Baru setelah sepupu Bouzazi yang merekam aktivitas tersebut mengunggah rekaman tersebut di internet dan tertangkap awak jaringan televisi Al Jazeera yang kemudian menanyangkannya dalam televisi, kisah Bouazizi menjadi sorotan nasional serta internasional.

Secepat kilat, Ben Ali presiden yang berkuasa saat itu menjenguk Bouazizi untuk meredam amarah, namun langkahnya sia-sia pada 28 Desember 2010. Dengan dukungan militer dan para pemimpin politik, pada tanggal 14 Januari 2011 mereka membangkang dengan penolakan permintaan menembank ditempat bagi para demostran.

10 hari kemudian Ben Ali kabur keluar dari Tunisia setelah 23 tahun berkuasa.

Pergerakan yang berlangsung di Tunisia akhirnya juga merembet masuk menuju Mesir, presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa 30 tahun tumbang setelah berbagai elemen masyarakat memobilisasi protes untuk mengakhiri rezim yang berkuasa.

Libya pun tidak luput dari gelombang perubahan yang terjadi, rezim Moammar Khadafy yang berkuasa lebih dari 4 dasawarsa tumbang pada tahun 2011 setelah berkuasa terlalu lama dengan membunuh para lawan dan kawan politik yang dicurigai.

Pada tahun 1996 misalnya, rezim berkuasa melakukan pembantaian terdapat lebih dari 1.270 tahanan politik dibunuh di pusat-pusat penahanan di Tripoli.

Keluarga baru mengetahui nasib anggota keluarganya pada tahun 2001 ketika pemerintah mengakui sebagian pembunuhan yang dilakukannya.

Fethi Terbil seorang pengacara di Benghazi mewakili para korban mengajukan tuntutan kompensasi atas tewasnya penghuni penjara Abu Salim, tapi pemerintah membalas dengan memenjarakannya. Bangunlah, bangunlah hai Benghazi. Malam yang sekian lama kita nanti telah tiba. teriak Fethi Terbil setelah puteranya ditahan.

Teriakan tersebut disambut warga lainnya dan dalam waktu singkat +/- 500 orang berkumpul menuntut pembebasan Fethi. Inila awal angin Musim Semi di Libya. Berbeda dengan Tunisia yang berakhir dengan pengadilan in absentia, Mubarak yang juga diadili. Khadafy haru meregang nyawa di tangan rakyatnya sendiri.

Suriah dan angin yang tak kunjung datang
Tak lama setelah musim semi berhembus di kawasan, hembusannya seolah bersemilir di tanah Suriah. Bantuan teknologi yang tadinya diyakini akan membuat kerja perubahan menjadi semakin mudah nampak hanya terjadi di permulaan cerita. Konflik kepentingan di sekitar kawasan dengan dukungan yang saling kontra satu sama lain (negara Utara melawan Iran serta Rusia) menjadi cerita tersendiri dari kondisi yang ada.

Setelah delapan tahun terjadi dan memakan korban jiwa ratusan ribu, musim semi nampaknya belum menunjukkan tanda perubahan. Rakyat Suriah justru tergelincir dalam perang saudara merebut kekuasaan. Gelombang ini akhirnya juga menciptakan arus imigrasi yang juga memporak-porandakan Eropa sebagai daerah tujuan utama rakyat Suriah.

Mari kita tunggu akhir cerita dari Musim Semi di Suriah

Komentar