Aristoteles – Politics


Membaca politics yang dituliskan Aristoteles tidaklah bisa dilepaskan dari latar belakang kondisi kehidupan yang mempengaruhi cara pikir dan tindaknya. Aristoteles adalah seorang filsuf, logican, dan scientist Yunani. Bersama gurunya, Plato, Aristoteles dianggap sebagai salah satu pemikir kuno paling berpengaruh di sejumlah bidang filsafat, termasuk teori politik.

Aristoteles lahir di Stagira di Yunani utara, dan ayahnya adalah seorang dokter istana raja Macedon. Sebagai pemuda, dia belajar di Akademi Plato di Athena. Setelah kematian Plato, ia meninggalkan Athena untuk melakukan penelitian filosofis dan biologi di Asia Kecil dan Lesbos. Ia kemudian diundang oleh Raja Philip II dari Makedonia untuk mengajari putranya yang masih muda, Alexander Agung.


Dalam beberapa tulisannya, Aristoteles (384-322 SM) mengulas filsafat berkaitan dengan urusan praktis hidup manusia, ia menulis satu pokok bahasan yang terdiri dari dua bagian: etika dan politik.

Menurut Aristoteles, politik dan etika adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Politik didudukan dalam satu pendasaran yang kukuh dari etika. 

Karya mengenai etika dan politik itulah yang kemudian didedikasikan Aristoteles kepada anak lelakinya yang bernama Nicomachus. Inilah sejarah dari penamaan dan pengenalan buku etikanya yang dikenal sebagai Nicomachean Ethics (349 SM).

Salah satu poin penting dalam bangunan etika Aristoteles ialah pertemanan.  Dalam analisa yang dilakukannya, Aristoteles membagi pertemanan dalam 3 macam yang ia deskripsikan dalam 3 kata sifat yaitu: menyenangkan, berguna, dan baik demi kasih pada sahabat itu sendiri.

Phang dalam tulisannya yang berjudul Kerwawan Perkawanan Politis menyebutkan bahwa pada tingkat terendah, pertemanan hanya berdasarkan kenikmatan. Ia merupakan perwujudnyataan dari kenalan—akan mudah berawal tetapi juga akan cepat berakhir. Hubungan yang terjalin dalam pertemanan ini sangat dangkat, semisal dari kesamaan makanan favorit, hubungan saling menyukai diluar pernikahan dan banyak lainnya.

Pertemanan jenis lain yang disebut dengan perkawanan, tetap memasukkan unsur kenikmatan, tetapi ia lebih mengutamakan unsur kegunaan dari kawan bagi dirinya. Aristoteles menulis, ”Mereka adalah kekasih, tetapi bukan antara satu dengan yang lain, tetapi pada keuntungan”. Nama yang lebih tepat pada perkawanan semacam ini adalah kamerad. Istilah ini banyak dipakai dalam dunia komunis. Arti awalnya adalah mereka yang tinggal sekamar, yakni sesama anggota suatu organisasi. Perkawanan seperti ini disebut oleh Gilbert C Meilaender dalam Friendship: A Study in Theological Ethics (1981) sebagai civic friendship, perkawanan politis.

Perkawanan politis lahir dari rahim dunia politik yang hidup tanpa etika. Manifestasi keuntungan yang didapatkan dari harta ataupun tahta menjadi “bensin” dari rajut perkawanan ini. Tidaklah mengejutkan, semisal partai yang memiliki garis kebijakan berbeda, namun dapat bersatu atas nama “pembagian kue kekuasaan”.

Simpul dari adanya kesamaan kepentingan dan kebutuhan untuk “berkuasa” membuat rantai diantara keduanya seolah mengikat satu sama lain.

Penggunaan metode politik uang dalam mencapai tujuan tersebut dalam perkawanan politis bukanlah menjadi sesuatu yang langka, namun justru seolah menjadi suatu keharusan. Kita mungkin masih ingat cerita tentang bagi “mahar” dari partai berlambang garuda kepada beberapa partai bakal calon pengusungnya sebagai wapres untuk memudahkan jalan ia tuk berkuasa. Namun yang menjadi ironi bahwa mahar yang ditimbulkan dalam transaksi politik ini bukan berasal dari milik pribadi, melainkan dari hasil pencurian kekayaan negara.

Karena dasar dari jalinan perkawanan ini juga berasal dari asas kebergunaan, perkawanan politis akan pula culas dan gesit mencari kebergunaan orang lain, maka di sana-sini bermunculan fenomena useful idiots, yaitu orang/kelompok yang tanpa sadar mendukung sebuah gagasan buruk, dan secara naif meyakininya sebagai upaya menuju sesuatu yang baik. Jargon politik ini pertama kali dipakai pada 1948 dalam sebuah artikel di harian Italia berhaluan sosial-demokrat, L’Umanita, yang kemudian dikutip oleh harian The New York Times.

Untuk merealisasikan asas kebergunaan itu, pelaku pertemanan politis rupanya mendayagunakan perjuangan kelas yang diembuskan Karl Marx dengan komunismenya dan menyulut rasisme absolut yang disebarkan Adolf Hitler dengan Drittes Reich-nya. Mereka culas bermain dengan jargon sentimental yang menebarkan keberpihakan gadungan pada rakyat, kaum miskin, wong cilik, dan mencoba membenturkannya dengan kekuatan fiktif yang mereka namai asing dan aseng. Pada akhirnya rakyat tertipu lagi karena di mata mereka, rakyat jelata bukanlah kawan, mereka adalah komoditas politis digunakan.

Karena berasaskan kegunaan orang lain dan profit untuk diri sendiri, sesudah tujuan perkawanan berupa takhta dan harta tercapai, pembunuhan karakter antarkawan politis pun diembuskan agar keuntungan bagi diri ”utuh tak terbagi”. Inilah kerawanan perkawanan politis. Tak heran jika dalam perkawanan ini, jeritan sekarat Julius Caesar yang tertusuk belati akan terulang lagi di sana-sini, ”Et tu, Brute?!” Juga engkau, Brutus, anakku sendiri, mengkhianatiku?

Pertemanan paling ideal adalah jenis yang terakhir. Ia sangat pantas disebut sebagai persahabatan. Ia tetap memiliki kualitas menyenangkan dan berguna, tanpa tereduksi di dalamnya. Persahabatan yang sejati selalu memiliki kecenderungan altruis: demi kebaikan sang sahabat sendiri tanpa banyak memedulikan kesenangan diri dan kegunaan sang sahabat bagi diri sendiri.

Dalam konteks sosial-politis, persahabatan ini melampaui sekat-sekat kenikmatan dan keuntungan, dan malah bergerak menuju ke kebaikan bersama, bonum commune. Di dalam masyarakat yang bersahabat seperti ini, sekat besar antara penguasa dan rakyat tidak ada lagi selain karena pembagian tugas demi kebaikan bersama. Pantaslah ia disebut persahabatan universal.

Persahabatan ini kebal terhadap isu SARA karena nilai-nilai kebangsaan, Bhinneka Tunggal Ika, dan keadilan sosial adalah alasan keberadaannya. Bukankah persahabatan universal ini rahmat besar dari Yang Mahakuasa yang patut diterima penuh syukur seraya ditumbuhkembangkan dengan perjuangan bersama?

Pertanyaannya, bagaimana melahirkan masyarakat berkualitas persahabatan universal yang akan melahirkan pemimpin demikian pula? Aristoteles menasihatkan agar setiap orang jadi manusia berkeutamaan.

Komentar