Film dan Gaya Hidup
Bila umumnya seni dapat dilihat sebagai respon atas
situasi dan kondisi kehidupan konkret, maka film adalah manifestasi paling
sensual, gestalt dan representatif
dari hal itu. Sebagai bentuk seni yang paling menyerupai aktivitas kehidupan
manusia, film hadir layaknya resonansi, proyeksi bahkan menjadi semacam
potongan kenyataan.
Mempelajari film berarti belajar mendalami dinamika dan sejarah perkembangannya sehingga ia bisa menjadi “sesuatu” yang menuntut manusia dalam kerangka modernitas.
Mempelajari sejarah film sebagaimana telah disampaikan pada sub-bab di bawah akan membawa kita dalam memaknai film, salah satunya dalam kacamata industri. Terkait dengan hal tersebut, telaah awal tulisan ini dapat dimulai dari penggunaan dan hubungan kata “Movie, Cinema dan Film” yang mana ketiganya disini merupakan evolusi dari suatu perkembangan atau istilah yang diucapkan manusia dalam menerjemahkan sejarah dari gambar yang bergerak yang saling terkait satu sama lain.
Untuk kata Bioskop sendiri yang sering diasosiasikan
dengan film misalnya, ia (baca: kata bioskop) merupakan serapan dari kata bioscoop dari bahasa Belanda atau Bios dari bahasa Yunani yang memiliki
arti hidup dan Skopos yang memiliki
arti melihat.
Dilihat dari silang 2 kata tersebut Aries (2010) menerjemahkannya sebagai:
- Pertama, Sesuatu yang seolah-olah hidup dan sifatnya membawa penonton ke suatu kenyataan yang bisa ada atau bisa tidak ada di dalam hidup sehari-harinya. Jadi ia dimulai dari sesuatu yang bersifat khayal, dan
- Kedua, suatu usaha baru yang membawa penonton untuk menikmati isi dari film itu sebagai bentuk tayangan yang dapat mengingat kembali diri dan lingkungannya. Pada poin inilah penonton diajak untuk berfikir serta mau tidak mau mampu untuk menanggapi ats hal-hal yang ditontonnya dalam film tersebut. Tanggapan tersebut itu bisa dalam bentuk persetujuan atau pun kritik.
Jadi melihat film dalam kacamata industri berarti
melihat film sebagai suatu rangkaian gambar bergerak yang membawa penonton
untuk mengingat kembali diri dan lingkungannya. Film merupakan salah satu alat komunikasi yang kuat dalam
mempengaruhi manusia.
Mendalami Film bukan semata melihatnya sebagai hiburan, namun juga sebagai pusat budaya. Film yang “kita tonton” memengaruhi gaya hidup.
“Kita” mendengar bahasa asing, gaya hidup berupa cara
berpakaian, rumah, dan lagu serta bentuk kebiasaan lainnya dari film.
Melalui “film” juga kita dapat mempelajari pemikiran, filosofi dan tutur emosi yang disampaikan pihak lain dalam struktur budaya yang berbeda. Film menawarkan banyak pengalaman berbeda kepada khalayak hal yang baik atau buruk. Tujuan dibuatnya film untuk menyenangkan dan menghibur penonton (anak muda dan orang miskin, bukan mencerminkan kreativitas produser film – identik dengan membawa kehidupan orang ke kehidupan orang lain dan melupakan kehidupan sehari-hari (fungsi fim genre)
Film dan Perkembagan Industri di
Amerika
Berdasar
data statista (2018) industri film global diprediksi masih akan terus mengalami
pertumbuhan. Jika pada tahun 2016 nilai indutri film mencapai angka 38 miliar
USD, maka pada tahun 2020 nilainya diprediksi akan mengalami kenaikan hingga 50
miliar USD.
AS sebagai salah satu negara penemu film dan pasar ketiga terbesar secara global (setelah China dan India) berdasar penjualan tahun 2016 terdapat 1,2 miliar tiket film yang terjual di dalam negeri AS dengan dukungan +/- 5.800 bioskop.
Menurut hasil survei 2016, 13% orang AS pergi ke bioskop 1 bulan sekali, 7% pergi ke bioskop beberapa bulan sekali dan 31% pergi ke bioskop kurang dari setahun sekali. Dan sisanya menonton film melalui saluran kabel di rumah masing-masing.
Film dan Perkembangan Industri di Asia dan Afrika
Hollywood
menjadi tolok ukur pola penceritaan di sebagian besar bagian dunia. Tetapi
beberapa negara seperti Perancis, Nigeria, India, Cina, Indonesia dan lain
sebagainya melakukan perlawanan, mencari jalan
agar lepas dari dominasi pola
penceritaan karya Hollywood.
Ini tak lepas dari moda produksi produksi Hollywood yang dalam banyak kasus mengikat negara konsumen tujuan. Secara khusus di Iran, ketatnya sensor dan kebijakan pemerintah menjadi alat pemerintah untuk membendung pengaruh film hollywood. Dampaknya, Iran mampu menghasilkan film-film yang bagus.
Di Asia Tenggara, karakter wilayah yang berbeda dengan daratan Amerika maupun Eropa membuat penciptaan film membutuhkan strategi yang berbeda dalam proses produksi. Penekanan penggunaan kamera digital yang memberi kemudahan untuk mengambil gambar dan menjelajah ke berbagai tempat (flexibel) menjadi peluang yang dapat diolah menjadi kekuatan industri dalam negeri.
Mengapa industri film negara asal (non-hollywood) perlu membendung gerak hollywood?
Moda non Hollywood ini membuka ruang narasi baru yang demokratis (nilai negara asal), yang selama ini terpinggirkan. Bangkitnya indutri film nasional di berbagai negara dalam kancah internasional telah terbukti secara nyata berhasil untuk dilakukan, hal ini dapat dibuktikan dengandengan sinema asal Thailand karya Aphitchatpong Weerasethakul yang mampu bersaing di kompetisi utama Festival Cannes 2010.
Secara perlahan namun pasti, arus film non hollywood telah berhasil merebut pasar global. Dua pemain kunci seperti Bollywood di India dan Nollywood di Nigeria menjadi bukti nyata
Nollywood misalnya, pada Februari 2017, film komedi romantis yang diproduksi Nigeria dengan judul The Wedding Party menjadi film pertama yang memperoleh pendapatan 400 juta naira (1,3 juta dolar). Bagi penikmat film yang berorientasi ke Hollywood, angka 11,5 juta dolar mungkin tidak ada apa-apanya. Namun, bagi industri film yang sedang berkembang layaknya di Nigeria, jumlah tersebut adalah pencapaian tersendiri. Saat ini, Nollywood setidaknya mampu mempekerjakan satu juta orang di Nigeria.
Setiap tahunnya, Nollywood menghasilkan uang senilai 200 hingga 300 juta dolar. Pada 2009, Nollywood bahkan berhasil memperoleh status sebagai industri film terbesar kedua dunia berdasarkan jumlah judul yang diproduksi. Lima tahun berselang, pemerintah Nigeria merilis data yang menunjukkan bahwa Nollywood adalah sektor ekonomi yang bernilai 3,3 miliar dolar dengan total produksi 1.844 film sepanjang 2013.
Semarak Nollywood juga berimbas pada lahirnya layanan digital streaming, salah satunya iRokoTV Partners. Wahana digital ini didirikan oleh Jason Njoku pada 2011. Secara garis besar, iRokoTV bergerak pada distribusi film-film Nollywood ke seluruh dunia. Sejak 2011, iRokoTV mengumpulkan jutaan katalog online dengan biaya pembelian lisensi dan konten sebesar 3 sampai 4 juta dollar per tahun.
Lain dengan Nollywood, Bollywood sebagai 5 besar pasar film dunia, per tahun 2009 telah berhasil memproduksi 819 film dalam 21 bahasa lokal. Dengan jumlah penduduk yang besar dan ekonomi yang terus bertumbuh, India menjadi negara “manis” untuk diperbutkan para pemain industri domestik dan internasionalnya.
Netflix misalnya sebagai pemain global di insutri film, mengalokasikan belanja senilai US$8 miliar (Rp 115,2 triliun) untuk pembuatan konten lokal seperti: "Lust Stories" maupun "Sacred Games”.
Faktor pendapatan streaming internasional perusahaan yang terus bertumbuh hingga 58% dibanding tahun sebelumnya dan kondisi pasar Cina yang sulit ditembus akibat kebijakan sensor menjadikan India menjadi salah satu pasar menarik.
Film dan Aliran
Sebagai suatu bentuk seni, film menurut Prakosa (2004)
memiliki 2 aliran utama yaitu genre dan neo realisme. Penjelasan atas
masing-masing aliran tersebut dapat disampaikan sebagai berikut:
- Genre adalah suatu aliran yang muncul dari produksi film-film amerika. Wujud dari genre berusaha untuk membimbing penonton ke dalam hal-hal yang membentuk daya khayal seperti setting adegan perkelahian, percintaan dan pertualangan;
- Neo realisme adalah sutu aliran yang muncul pasca berkembangnya aliran realisme dari Italia. Perbedaan diantara periode realisme dan neo terletak pada alur cerita yang disajikan. Aliran realisme menfokuskan diri pada cerita masa Romawi dan Yunani Kuno, sedangkan pada neo realisme berfokus pada cerita abad 15 – 19. Dalam aliran neo realisme, penonton diajak untuk berfikir serta berkosentrasi agar dapat memahami isinya secara utuh dan menyeluruh
Film sendiri diakui berkembang dalam sejarah yang
panjang, baik dari sisi keterampilan dan konten. Situasi politik, ekonomi,
sosial dan ideologi juga memengaruhi alur film yang mempengaruhi kita. Beberapa
politisi seperti Hitler, Marcos dan Soeharto juga menggunakan film sebagai alat
propoganda politik. Hal ini pun akan dibahas
Film sebagai Alat Kontrol Penguasa
Banyak negara melihat film sebagai alat politik.
Hitler, Stanlin, Mao, Marcos melihat film sebagai alat propoganda. Di Asia
misalnya, Marcos membuat film seri animasi yang dibuat berdasarkan buku sejarah
karangan Tadhana. Marcos membayar mahal para pembuat film dari daratan Eropa
dan Amerika untuk kemudian diputar melalui televisi pemerintah.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Masih ingat mungkin kita akan film G30S/PKI yang memberi pesan tentang berbahayanya Partai Komunis Indonesia (PKI)i dan organisasi underbow-nya.
Film ini memberi legitimasi bahwa PKI merupakan dalang pembunuhan terhadap para jenderal revolusi. Melalui film ini juga pemerintah orde baru membangun opini dan merekayasa sejarah. Dampak lanjutannya, pemerintah Orde baru melakukan penumpasan terhadap semua anggota PKI dan simpatisan dan ‘mematikan’ keturunannya. Bahkan dengan supremasinya, pemerintah membungkam rakyat yang membandel dengan label PKI dan terus mencuci otak melalui tayangan wajib yang disiarkan Departemen Penerangan melalui TVRI.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana film berkembang dalam permainan kekuasaan (game theory)
Memahami film dalam permainan kekuasaan akan
memberikan kita pemahaman lain tentang bagaimana hubungan perfilman Amerika Serikat
(AS) yang didukung oleh pemerintahannya dalam menjadikan film sebagai alat
propoganda, pencuci otak dan perubah tata nilai (Nugroho, 2004).
Dalam rumusan Hollywood sebuah film seharusnya
memiliki 2 aspek penting
Pertama, masalah kemasan yang bisa dijabarkan dalam desain dan struktur untuk membentuk nilai-nilai dramatik;
Kedua, dimensi dan nuansa atau muatan psikologis, ekonomi, sosial dan politik film
Pertama, masalah kemasan yang bisa dijabarkan dalam desain dan struktur untuk membentuk nilai-nilai dramatik;
Kedua, dimensi dan nuansa atau muatan psikologis, ekonomi, sosial dan politik film
Film dalam Kontrol Industri
Film dalam perkembangannya telah berubah menjadi
sebuah produk budaya sekaligus produk ekonomi yang banyak dinikmati masyarakat
selaku obyek. Melihat film dalam konteks Indonesia memiliki arti tentang suatu
“kebendaan” yang disajiikan sebagai sarana “keterlanjangan” dalam salah satunya
mengubah gaya hidup.
Pada masa orde baru, keterbukaan seperti adegan “ranjang” menjadi sebuah kebiasaan yang dipertontonkan kepada khalayak, bahkan beberapa film dengan setting komedi-pun sedikit banyak mempertontonkan “keindahan” tubuh dari subyek aktor atau aktris yang bermain peran. Hal ini dikarenakan pengaruh film “luar negeri” yang membajiri pasar domestik.
Kebijakan Sensor dan Batasan Umur
Sensor
atau kendali film menjadi sarana banyak pemerintah untuk melindungi
budaya. Di Indonesia sendiri, sensor
pertama kali di era Belanda dilakukan oleh komisi sensor yang pemerintah Belanda, lalu pada era
berdirinya Indonesia,
pemerintah melalui Badan Sensor Film di tahun 1950-an melarang 2 film Perfini yang memperlihatkan adegan ciuman saat
pacaran.
Di masa Orba-hingga kini, BSF/Lembaga Sensor sensor (LSF) selalu dikaitkan dengan pengendalian isi film dan penjaga moral. Era 1980 akhir-1990 BSFmelonggarkan gunting dan membiarkan fim bermuatan seks memenuhi layar. Seks sengaja dipakai untuk memancing selera masyarakat. Sensor pasca Suharto masih tajam dalam adegan bernuansa politik tapi mendua dan menenggang unsur seksualitas (7 kasus alasan politik dan kekacuan, 4 adegan seks, 3 terkait menjaga moralitas: film 9 Naga, 3 Hari Untuk Selamanya). Sensor dan industri film pasca Suharto (UU no. 33 Tahun 2009) tak berbeda sama sekali. Bahkan lebih rigid dan lengkap –(swasensor—contoh :film Lima). Sensor juga dilakukan oleh banyak lembaga kemasyarakatan (FPI, MUI), dan masyarakat melalui media sosial yang justru menimbulkan kegaduhan (contoh: Film My Generation-Upi, Naura & Genk Juara-Eugene Panji).
Sebagai acuan, Motion Picture Association of America (MPAA) selaku asosiasi industri perfilman di Amerika menerapkan ketentuan mekanisme klasifikasi usia :semua uur, 13, 17+.
Orba juga tidak menerapkan klasifikasi seperti MPAA. Film pada masa ini dicptakan sebagai media untuk mengendalikan masyarakat, menanamkan dan menyebarkan gagasan dan alat ketertiban sosial politik.
Melihat Film Melihat cermin budaya dan
Teknologi
Dari
layar tancap , bioskop ke multiplek. Perubahan terjadi cukup drastis dari
1970-1980-an hingga awal 2000. Zaman Benyamin “nyanyi” nonton bioskop masih
menjamur, merata di seluruh Indonesia (ada kelas bioskop). Tapi kemudian
bioskop mulai tumbang di berbagai kota, beralih ke mal (gedongan baru) yang menjadi ukuran
kemajuan kota yang mengacu pada konsumsi di Jakarta.
Jaringan Studio 21 mendirikan mal dan bioskop menyasar pasar segmen baru anak muda yaitu Anak Baru Gede (ABG) pembelanja. Sama seperti yang terjadi di AS, Hollywood pun menempatkan ABG pembelanja sebagai sasaran utama. Lihatlah pada film Twillight atau Transformer yang jelas-jelas menyasar mereka (naratif, estetika fim ini membentuk pakem yang mudah dikenali), bahkan di Indonesia mereka rela menonton ke Singapura saat boikot film hollywood.
Keberadaan bioskop di mal mendorong bioskop menjadi bagian pola perilaku konsumen dan berpusat di kota besar. Menonton bioskop menjadi bagian gaya hidup urban yang dikaitkan dengan gengsi dan kelas sosial. Penonton melihat bioskop tak sebatas pada film yang ditonton, melainkan sebagai bagian dari aktivitas yang berkaitan dengan gaya hidup keseluruhan
Film menurut Theodor Adorno (1947) adalah sektor pusat dalam industri budaya. Ukuran kebijakan budaya adalah ukuran yang secara ketat dirancang untuk melindungi dan mempromosikan aspek kebudayaan dari produk budaya sedemikian rupa sehingga ukuran tersebut berdampak pada perdagangan barang dan jasa.
Kemajuan teknologi memberikan perubahan budaya termasuk pada film. Perubahan media untuk melihat tontonan menjadi produk kekinian yang dihasilkan jaman.
Untuk menonton film misalnya, manusia modern memiliki kecenderungan untuk menonton melalui device yang lebih handy, tanpa terbatas ruang dan waktu melalui streaming atau mengunduh pada aplikasi. Penonton bisa menonton melalui gawai mereka meski dengan pengalaman berbeda.
Beragam platform (Netflix, Google Play Movies, iFlix, HOOQ– penyedia layanan berbayar media streaming) mulai diperkenalkan secara global bagi para penonton digital konten film dan serial televisi di seluruh dunia. Khusus Indonesia, “demam” platform digital bernama Netflix misalnya, mulai merambah pasar pada tahun 2016.
Apa yang sebenarnya terjadi dalam industri film berkaitan dengan munculnya platform digital?
Berdasar
laporan keuangan yang diterbitkan Netflix pada triwulan ketiga tahun ini
menunjukkan bahwa terdapat kenaikan jumlah pengguna sebanyak 7 juta pengakses
hanya dalam waktu 3 bulan. Angka ini jauh diprediksi target penambahan pengguna
sekitar 5 juta orang. Saat ini tercatat 137 juta di seleruh dunia telah
mengakses Netflix.
Netflix dalam rilisan tahun 2017 tercatat telah memiliki lebih dari 76.000 kategori film dan tayangan televisi.
Netflix memperlihatkan dengan apa yang disebut Maryoto (2018) sebagai bentuk nyata peralihan penonton televisi ke platform digital berbayar. Jika pada tahun 1980 kita mendengar lagu berjudul “Video Kill the Radio Star” yang dibawakan band Rhe Ppresident of the United States of America, maka judul lagu tersebut 3 dekade kemudian berubah menjadi “Netflix kill the television industry”
Di
Indonesia sendiri berdasar rilis data yang dikeluarkan HOOQ sejak resmi
diluncurkan pada tahun 2016 paket
videoMAX hasil kerjasama Telkomsel dengan HOOQ pada tahun 2017 telah mencatat 2
juta pelanggan, sementara iFliz telah mencatat sekitar 1,5 juta pelanggan.
Selain Netflix, HOQQ, dan iFlix, Youtube juga menjadi penggerus industri film di televisi. Dalam suatu riset yang diterbitkan oleh Kompas pada awal tahun 2018 disebutkan apabila generasi Z menonton televisi kurang dari 1 jam , sementara mereka menghabiskan waktu ingga 4 jam menggunakan kanal Youtube untuk mencari hiburan dan sekaligus menggunakan kanal ini untuk mencari bahan-bahan untuk dipelajari.
Kesimpulan
Film
merupakan salah satu medium yang diyakini membawa perubahan sosial dan budaya.
Film merupakan karya yang memberikan wacana ideologi vs pasar/komersialisme
yang yang tiada akhir
Diperlukan
pengaturan untuk pengendalian muatan sebagai perangkat penting dalam perkembangan
film itu sendiri, amat penting bagi penonton, pelaku bisnis dalam
membentuk lingkungan di mana film
diproduksi dan seperti apa film dikonsumsi. Kebijakan pengendalian dan sensor
untuk pengendalian muatan berpeluang dalam membentuk kontesk industri yang
penting.
Komentar
Posting Komentar