Revolusi Industri Keempat dan PR Government

Tulisan ini dimulai dari kondisi dimana teknologi media analog yang dulunya memposisikan konsumen secara pasif dalam menerima informasi, mengalami akselerasi  dalam kurun waktu kurang dari 2 dekade menuju dengan apa yang disebut sebagai revolusi industri keempat.

Revolusi industri gelombang keempat atau yang biasa disebut Industri 4.0 merupakan revolusi yang mengacu pada perubahan tren penggunaan teknologi dalam proses kehidupan manusia. Basis teknologi  yang hadir dalam bentuk kecerdasan buatan (artificial intelligence), ekonomi berbagi (sharing economy), data raksasa (big data), hingga penggunaan robot dalam aktivitas hidup manusia.

Apa dampaknya bagi Indonesia?
Salah satu dampak dari lahirnya revolusi industri keempat ialah “tsunami informasi”.

Dulu untuk menerbitkan 1 berita dengan jangkauan nasional setidaknya membutuhkan waktu +/- 1 hari (dengan asumsi dari proses mendapatkan informasi dari narasumber, penyuntingan di bagian editor, pencetakan hingga pendistribusian informasi). Namun proses tersebut memasuki dekade awal 2000-an mengalami perubahan dari sisi efektifitas dan efisiensi hingga produksi dapat dilakukan kurang dari 1 jam.

Hasil revolusi industri keempat yang melahirkan pengembangan internet diakui telah membuat informasi dapat diproduksi dan didistribusi secara cepat, global (melintas batas negara) dan interaktif (karena memberikan kesempatan bagi pembaca untuk mendiskusikan berita dalam topik-topik tertentu). Bahkan akses pembuatan berita yang dahulunya hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki modal besar, seolah runtuh dengan model-model citizen journalism.

Namun demikian, proses produksi dan distribusi informasi yang tidak diikuti dengan sikap tanggung jawab dalam beberapa tahun terakhir telah melahirkan banyak informasi “hoaks”. Masalah politik antar satu golongan dengan golongan lainnya menjadi salah satu pendorong. Hoaks seolah telah menjadi bagian integral dari strategi pemenangan pemilu.

Bad News is good news
Jauh sebelum, “hoaks” menjadi perbincangan hangat, era kapitalisme yang diasosiasikan dengan pemusatan modal pada segelintir pihak nyatanya telah mendorong berita bukan lagi dipandang sebagai suatu proses membuat dan mendistribusi informasi bagi khalayak semata, tetapi lebih dari itu telah mendorong para pembesar (pemilik dan representasi) yang terlibat di dalamnya untuk mengeruk keuntungan finansial dari bisnis penyediaan informasi.

Berita telah menjadi komoditas dimana bad news is good news dengan penempatan berita bernada sinis, konsumtif, mistis, sadis dan narsistik menjadi ulasan utama pemberitaan.

Era para jurnalis idealis, seperti Paul Julius Reuter dan Walter Lippman (pendiri kantor berita Reuters), William Palley (pendiri CBS) dan Randolph Hearst, Henry Luke (pendiri Time) di belahan dunia utara yang kemudian disusul Mochtar Lubis (pendiri Indonesia Raya), Wonohito (pendiri Kedaulatan Rakyat) dan Rosihan Anwar (pendiri Pedoman) di belahan dunia selatan pun berganti dengan kepemilikan media yang bersifat kolongmerasi dan bahkan dikuasai segelintir pihak dengan kepentingan politik tertentu yang mengancam semangat diversity of content and ownership.

Sebut saja beberapa nama kolongmerasi media seperti: Rupert Murdoch (pemilik Fox Tv-USA, SKY Tv dan sederet media kenamaan dunia lainnya), Silvio Berlusconi (raja media asal italia yang juga pernah menjadi perdana menteri), Jacob Oettama (pendiri jaring kelompok Kompas Gramedia), Dahlan Iskan (Jawa Pos), hingga Surya Paloh (Media Indonesia).

Para tokoh sebagaimana disebutkan diatas telah mempertontonkan perubahan dinamika dari industri informasi yang terkadang menyimpan motif tertentu dalam kaidah politik.



Pemerintah dan Komunikasi Politik
Komunikasi politik, menurut Pureklolon (2016) disimpulkan sebagai komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik atau sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan, pemerintah dan kebijakan pemerintah. Untuk mempermudah pemahaman, lanjut Pureklolon, komunikasi politik bisa disebut juga komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”.
Komunikasi politik memiliki peranan besar dalam demokrasi. Komunikasi politik melibatkan pihak elite atau publik yang ingin mempengaruhi, memperoleh, mempertahankan dan/atau meluaskan kekuasaannya.

Dalam sistem demokrasi, komunikasi politik memainkan peranan penting dalam memanfaatkan peran media.

Donald Shaw dan Maxwell McComb dalam Littlejohn (2012) menyatakan bahwa media memiliki kemampuan mengarahkan agenda kebijakan suatu pemerintahan. Hal tersebut terlihat dalam fungsi agenda setting yang memiliki rangkaian proses sebagai berikut:

Media Agenda è Public Agenda è Policy Agenda

Kemudian, G. R Boynton mendefinisi politik sebagai percakapan, pembicaraan, argumen dan ajakan. Dalam teori yang dikembangkannya, Boynton merumuskan hubungan antara aspek percakapan, institusi penyalur dan keputusan.

Boynton menyatakan keputusan sebagai suatu cara kita untuk menyatakan keadaan dari yang dibahas sebelumnya, sebelum kemudian melanjutkannya kembali. Sementara itu, institusi penyalur adalah tempat semua pembicaraan terjadi.

Dalam konteks Indonesia, keberadaan beberapa kolongmerasi media yang berafiliasi pada kepentingan politik tertentu seperti telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya telah secara tidak langsung melahirkan policy agenda yang “kabur”.

Faktor  “angle”  proses pemberitaan media yang dimilki taipan Surya Paloh – dengan sikap pro pemerintah dan taipan Chaerul Tanjung – dengan sikap kontra pemerintah dalam membahas sejumlah isu seperti gizi buruk yang melanda saudara/I kita di Papua menjadi topik diskusi yang akhirnya mengaburkan substansi public agenda yang dibangun.

Kasus gizi buruk yang diambil dengan latar keadilan dan kemanusian, pada beberapa proses justru melebar menjadi kasus “pembangunan infrastruktur” yang seolah sia-sia karena dianggap hanya membangun fisik oleh versi pihak yang kontra. Bahkan “bumbu” informasi hoaks yang diproduksi oknum tidak bertanggung jawab akibat perbedaan sikap politik juga menjadi “bensin” pemanas hubungan diantara para pihak yang berbeda pilihan (baca: dalam kacamata politik). Akibatnya sikap saling “ejek” dan benci muncul dan berpotensi memecah belah bangsa.

Peran dan Fungsi Government PR menjelang Pemilihan Presiden, Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Legislatif
Dalam era tsunami informasi, campur tangan pemerintah dalam menghadirkan informasi terpercaya telah menjadi suatu kebutuhan yang hakiki.

Lahir dan hadirnya para pekerja Hubungan Masyarakat (Humas) Pemerintah dalam memberikan informasi sesuai dengan kaidah (1) penggunaan tata bahasa yang mudah dimengerti/clarity; (2) dilakukan secara terus menerus berdasar kebutuhan/continuity;  (3) melalui ragam saluran yang mudah diakses/channel, telah menjadi tantangan yang harus mampu untuk dijawab.

Hal ini sesuai dengan constitutional rights yang termaktum dalam Undang-Undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dimana pada pasal 2 dijelaskan mengenai informasi publik yang dapat diakses oleh setiap pengguna dan dapat diperoleh dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan dan cara sederhana.

Secara lebih lanjut Tulung (2016) menjelaskan bahwa Humas Pemerintah harus mampu menceritakan kebijakan dan hasil-hasil pembangunan kepada publik. Hal ini memiliki konsekuensi logis bahwa Humas Pemerintah dituntut untuk memberikan informasi dngan cara yang benar dan jujur terkait pencapaian yang berhasil atau gagal dilakukannya.

Secara khusus terkait dengan iklan yang dikeluarkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkoinfo)  dengan menampilkan hasil capaian pembangunan pemerintah di beberapa bioskop tanah air, dalam perspektif tugas kehumasan pemerintah, hal tersebut tidaklah menyalahi aturan.
Landasan hukum  yang tertuang dalam Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika No 371/KEP/M.KOMINFO/8/2017 tentang kode etik humas pemerintah – Pasal 1 menyebutkan Hubungan masyarakat pemerintah untuk selanjutnya disebut humas pemerintah adalah aktivitas lembaga dan atau individu, yang melakukan fungsi manajemen dalam bidang komunikasi dan informasi kepada publik pemangku kepentingan (stakeholders) dan sebaliknya. Sehingga dalam pemahamannya disini, pemerintah diposisikan sebagai pihak memiliki kewenangan untuk membangun dan memberikan informasi kepada para pemangku kepentingan.

Kemudian Undang-Undang No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah mendefinisi secara langsung dari kampanye pemilu sebagai kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk menyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu, sehingga jika merujuk hal tersebut, iklan yang menanyangkan capaian keberhasilan pemerintah bukan merupakan suatu pelanggaran karena hal ini merupakan “cuil” keuntungan yang memang dedesain untuk didapatkan incumbent baik dalam lingkup kepala pemerintahan tertinggi yaitu presiden, kepala daerah yaitu Gubernur dan Walikota/Bupati dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem perpolitikan Indonesia.

Menatap Peran  Government PR menjelang Pemilihan Umum
Tahun 2019 akan kembali menjadi ujian kedewasaan proses demokrasi Indonesia dalam kacamata politik. Pertarungan sengit antar kedua kubu pendukung akan menjadi suatu yang tak dapat dihindarkan.

Para pendukung Jokowi yang disebut "Cebong" dengan pendukung Prabowo yang disebut "Kampret" akan kembali mewarnai panggung demokrasi Indonesia. Dalam proses yang berlangsung diharapkan masing-masing pihak pendukung mampu memperlihatkan perilaku cerdas (smart people) dari penggunaan teknologi pintar (smart technology) yang menjadi ciri demokrasi gelombang keempat yang berbasis cyber-physical.

Komentar