Epistola de Tolerantia adalah
salah satu karya monumental John Locke (1632-1704) yang diterjemahkan oleh William Popple menjadi A Letter Concerning Toleration.
Secara bebas surat yang ditulis mulai 1685 dan selesai pada 1689 setebal 45 halaman itu bisa diterjemahkan sebagai “Sepucuk Surat tentang Toleransi”.
Secara bebas surat yang ditulis mulai 1685 dan selesai pada 1689 setebal 45 halaman itu bisa diterjemahkan sebagai “Sepucuk Surat tentang Toleransi”.
Surat tersebut
dikirimkan Locke kepada Philip von Limborch, seorang rekan berkebangsaan Belanda ketika ia
hidup di pengasingan di Republik Belanda.
Republik Belanda, atau lengkapnya Republik Belanda Bersatu atau Dutch Republiek der Verenigde Nederlanden (1588-1795), didirikan sebagai negara sekuler yang toleran terhadap perbedaan agama. Dalam suratnya itu, Locke menekankan pentingnya sikap toleransi dalam kehidupan sosial.
Republik Belanda, atau lengkapnya Republik Belanda Bersatu atau Dutch Republiek der Verenigde Nederlanden (1588-1795), didirikan sebagai negara sekuler yang toleran terhadap perbedaan agama. Dalam suratnya itu, Locke menekankan pentingnya sikap toleransi dalam kehidupan sosial.
Locke menulis surat
itu untuk melawan persekusi, penganiayaan agama yang terjadi di seluruh Eropa.
Kondisi tersebut sebagai dampak dari reformasi abad ke-16 yang telah memecah
Eropa menjadi kubu Katolik dan Protestan yang saling bersaing. Tidak hanya
bersaing dalam kata-kata, tetapi bahkan terlibat dalam perang saudara dan
pemberontakan. Karena itu, Locke memberi judul suratnya, “Toleransi”.
Pada 1685, ketika
surat itu mulai ditulis, Raja Perancis Louis XIV baru saja menerbitkan Édit De Nantes (Dekrit
Nantes) yang menjadi penanda awal koeksistensi damai, hidup
berdampingan secara damai agama yang ada di Perancis.
Selain itu, dekrit
tersebut juga melarang penghambatan dan kekerasan terhadap institusi Katolik
dan memerintahkan pengembalian semua gereja dan seluruh barang, harta kekayaan
Gereja Katolik yang diambil kelompok lain. Yang penting adalah dekrit ini
mengakhiri Perang Agama (1562-1598) antara Protestan dan Katolik di Perancis.
Dekrit Nantes
mengakhiri perang 36 tahun, yang pecah sejak 1 Maret 1562.
Namun demikian dalam perkembangannya kemudian, karena situasi sosial dan politik yang berubah terjadi penarikan Dekrit Nantes. Dampalnya konflik agama kembali terjadi lagi di Perancis.
Orang-orang Katolik menyiksa orang-orang Huguenot dan memaksa mereka meninggalkan Perancis. Kondisi seperti itulah yang telah mendorong Locke menulis surat dan dikirimkan kepada sahabatnya, Philip von Limborch. Surat Locke antara lain berbunyi, “Perlunya ada perbedaan jelas yang ditarik antara agama dan masyarakat warga (civil society), untuk mencegah adanya kontroversi yang kemungkinan muncul karena perbatasan yang tidak jelas.”
Orang-orang Katolik menyiksa orang-orang Huguenot dan memaksa mereka meninggalkan Perancis. Kondisi seperti itulah yang telah mendorong Locke menulis surat dan dikirimkan kepada sahabatnya, Philip von Limborch. Surat Locke antara lain berbunyi, “Perlunya ada perbedaan jelas yang ditarik antara agama dan masyarakat warga (civil society), untuk mencegah adanya kontroversi yang kemungkinan muncul karena perbatasan yang tidak jelas.”
Dengan bahasa lain,
Locke menyarankan agar ada pembedaan antara urusan agama dan urusan
sosial-politik. Itu berarti ia menyarankan agar jangan dicampuradukkan antara
urusan agama dan urusan politik. Urusan yang berdimensi agama, janganlah
dimasukkan ke dalam perkara yang berdimensi politik. Banyak tersedia contoh
pada masa lalu atau pada masa kini, pencampuradukan antara urusan agama dan
politik telah menimbulkan ketidakharmonisan masyarakat; tidak hanya
ketidakharmonisan, tetapi bahkan peperangan.
Akan tetapi,
manusia seperti tidak pernah belajar akan pengalaman sejarah. Oleh karena yang
kerap terjadi, di masa kini, bahkan menggunakan agama untuk kepentingan
politik. Agama dijadikan sebagai “tangga” untuk naik ke kursi kekuasaan
politik. Kalau agama atau sekurang-kurangnya perkara yang berdimensi agama
ditanggungkan pada ranah politik, yang terjadi rusaknya toleransi antaragama.
Samuel Huntington mengatakan, agama-agama besar dunia memiliki banyak nilai
kunci dan merekomendasikan, apa yang disebut “aturan kebersamaan’, bahwa
orang-orang harus mencari dan berupaya untuk mengembangkan nilai-nilai itu
sehingga dapat hidup bersama dengan peradaban-peradaban lain (Keith Ward:
2009). - disarikan dari: Trias Kuncahyono, 2017
Komentar
Posting Komentar