Homo Homini Lupus dan Leviathan


Thomas Hobbes adalah seorang filsuf berkebangsaan Inggris yang mengenalkan istilah homo homini lupus yang berarti manusia adalah serigala bagi manusia lain. 

Dalam “terawang” pemahaman Hobbes, manusia digambarkan memiliki sifat alamiah layaknya hewan untuk saling memangsa satu sama lain.

Dasar pemikiran Hobbes yang cukup ekstrem ini tidaklah bisa dilepaskan dari jaman dimana Hobbes hidup dan dibesarkan.

Saat Hobbes lahir tahun 1588, Ratu Elizabeth I selaku penguasa Inggris saat itu tengah sibuk menundukkan golongan Katolik. 

Akibatnya, Hobbes sebagai bagian dari sejarah  memandang pergolakan serta konflik yang berkembang sebagai suatu sifat alamiah manusia yang pada dasarnya hanya memikirkan dirinya sendiri. 

Bagi Hobbes, segala tindakan manusia “hanya” mengarah pada pemupukan kekuasaan dan hak milik sehingga ia (baca: manusia) kerap kali mendahulukan perang antar sesama.

Pada praktiknya hari ini, tesis Hobbes masihlah sedemikian relevan untuk terus didalami. 

Kondisi politik yang saat ini mempertontonkan individu yang saling memangsa dan saling menyandera, bahkan di negara yang konon merupakan refrensi utama praktik demokrasi (baca: Amerika Serikat) menjadi bukti nyata-nya.

Sebagai contoh pada pemerintahan jilid kedua Barrack Obama, laju opersional pemerintahan AS kala itu sempat mengalami shut down akibat “sandera” anggaran yang dilakukan partai non pendukung pemeintah yaitu Republik.

Akibat “sandera” anggaran yang terjadi, aktivitas pemerintah pusat dan beberapa negara bagian terhenti. Ketiadaan uang untuk melakukan operasional menjadi alasan utamanya.

Sebagai penguasa Senat dan DPR, serta lawan politik dari partai pemerintah, Republik menyalahkan Obama yang dianggapnya terlalu keras terhadap para pengusaha dan “terlalu” berkeinginan melakukan intervensi pada dalam urusan perdagangan.

Sifat Demokrat dan Obama yang sedemikian keras dan tanpa kompromi menjadi alasan Republik menyatakan Demokrat memiliki perangai buruk dalam berkomunikasi demi pembangunan negara. Iniah cuil sikap “saling” menyerang layaknya binatang.

Kedua, dalam konteks Indonesia, sikap seperti yang terjadi di AS juga kerap terjadi dan semakin nyata terlihat. Berbagai keputusan atau pernyataan yang keluar dari mulut partai dan presiden berkuasa misalnya selalu ditanggapi sinis oleh partai non pendukungnya. 

Akibatnya suasana gaduh dan ujaran negatif sudah menjadi “sarapan” harian masyarakat. masyarakat dari pertikaian yang memang sengaja dilahirkan dan “gila-nya” bagi sebagian kelompok kondisi yang ada tersebut justru merupakan sebuah kenikmatan. Mereka bahkan meraup Rupiah dari kondisi yang ada dan tercipta.


Leviathan - Hobbes
Kembali kepada Hobbes dan karya monumentalnya yang berjudul Leviathan (1651), Hobbes menawarkan cara mengatasi kekacauan sosial sebelum berdirinya negara atau yang biasa dikenal dengan istilah state of nature. Tesis ini dimulai dari pendapat Hobbes yang menyatakan bahwa tiap individu pada dasarnya memiliki kebebasan. Dan pada kebebasan yang dimiliki tiap individu tersebut pada dasarnya juga mengancam kebebasan individu lainnya. Sehingga menjadi tidak salah jika Hobbes juga menyatakan bahwa kehidupan bersama manusia tidak hanya menyedihkan melainkan juga sangat berat. Hobbes lalu menawarkan sebuah solusi berupa kesediaan setiap orang untuk menyerahkan hak untuk melakukan segalanya kepada suatu pihak – sebutlah primus inter pares, asalkan setiap orang ain juga menyerahkan yang sama kepadanya. Pihak itu ialah negara karena “hanya” dia lah yang berhak menggunakan kekerasan kepada yang lain.
Berkat monopoli pemakaian kekerasan ini negara hukum menikmati perdamaian internal. Ancaman hukum ini mamaksa warga untuk mengendalikan diri dan memberi respek satu sama lain.  

Komentar