John Rawls and Teori Keadilan


John Rawls (1921-2002) lahir di Baltimore, Maryland. Rawls adalah seorang filsuf beraliran liberal. Pengalaman hidupnya sebagai salah satu infanteri aktif dalam Perang Dunia II banyak berkontribusi terhadap alur berpikir dan aliran filsafat yang ia percaya.
Dalam teori yang dikemukannya berkaitan dengan keadilan, Rawls mendasarkannya pada 2 prinsip utama yaitu kebebasan dan kesetaraan. Setiap individu dalam telaah teori yang dikemukannya harus diperlakukan setara baik secara politis maupun sosial terlepas dari status yang mereka miliki.

Sebagai contoh, jika anda kurang beruntung secara ekonomi, anda tetap harus memiliki akses yang sama dengan orang lain yang “mungkin” lebih kaya dari anda dalam hal akses ke sumber daya. Contoh lainnya, bahwa anda yang “miskin” baik secara ekonomi maupun status sosial dengan individu lainnya memiliki kebebasan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, tidak peduli status yang melekat pada anda.

Untuk menciptakan kondisi yang demikian, menurut Rawls dibutuhkan “Social Cooperation” atau kerjasama sosial dimana setiap individu perlu untuk bekerja bersama untuk menciptakan peluang dan mereduksi ketidaksetaraan. Setiap orang mungkin tidak sepenuhnya berhasil, tetapi dengan menyediakan sistem yang adil, setiap orang memiliki kesempatan untuk menjadi sukses. Rawls tidak mendikte bagaimana hal ini harus diselesaikan.



Rawls dan Komitmen Sila Kelima Pancasila
Sila kelima Pancasila menegaskan perihal Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 
Menjawab rajutan sila tersebut memiliki arti mengenai komitmen sebagai bangsa untuk terus bersatu dalam arus yang bersifat multikultural sebagai suatu fakta yang harus terus dihidupi dalam mengoperasionalkan Indonesia

Meminjam istilah Rawls dalam Latief (2018), meskipun suatu masyarakat bangsa terbagi dan pluralistik, kesepakatan publik atas persoalan-persoalan keadilan sosial dan politik mendukung persaudaraan sipil dan menjamin ikatan-ikatan asosiasi.” Fakta empiris, daerah yang diwarnai banyak kantong kemiskinan dan kesenjangan sosial merupakan ladang persemaian subur bibit kekerasan. Meluasnya rasa ketakadilan juga bukan wahana kondusif pengapresiasian gagasan persatuan kewargaan.
Pancasila sebagai dasar negara dengan arah tujuan yang jelas termaktum dalam sila kelima hendaknya menjadi aras lapis keyakinan (mitos), pengetahuan (logos) dan tindak perjuangan (etos) dalam menjawab kondisi yang tidak adil. Operasionalnya dalam kehidupan berbangsa harus menjadi ranah operasional yang mutlak untuk dituntaskan jika kita tetap ingin menyebut identitas kita dalam panji Indonesia.

Jadi apa yang hendak dilakukan menjawab statement Latief diatas?


Komentar