Jean
Jacques Rousseau adalah seorang pemikir politik dan filsuf kelahiran Jenewa
yang menggagas teori kontrak sosial. Menurut pandangan Rousseau, dalam teori
kontrak sosial masing-masing individu melimpahkan segala hak perseorangan yang
dimilikinya kepada komunitas sosial (negara) guna kepentingan dan kehidupan
bersama.
Rousseau
(1968) menyatakan “man was born free and
he is everwhere in chains (manusa dilahirkan bebas, tetapi dia terikat
dimana pun dia berada). Lebih lanjut, Rousseau menyatakan “the stongest man is never strong enough to be master all the time,
unless he transform force into right and obedience into duty (orang yang
kuat tidak bisa dikatakan cukup kuat sampai ia mampu mengubah kekuatan menjadi
hak dan mengubah ketaatan menjadi suatu kewajiban).
Dalam
telaah mendalam pemahaman Rousseau tersebut, kebebasan dalam demokrasi tidaklah
dapat dimaknai sebagai kebebasan an sich (berpusat pada dirinya sendiri), namun
lebih dalam bentuk kebebasan yang memposisikan kehidupannya dalam posisi
sebagai mahkluk sosial yang bertanggung jawab berdasar aturan dan ketentuan
sosial yang berlaku.
Kesetaraan dalam Politik
Menjawab
kesetaraan dalam berdemokrasi pada prinsipnya memiliki pengertian yang berbeda
dengan ekonomi. Menurut Lively dalam Putri (2018), kesetaraan politik tidak
dapat dijamin oleh ketentuan-ketentuan konstitusional, tetapi tergantung pada
segala susunan sosial yang memberi pengaruh pada pemerintah dan kedua, bahasan
tentang kesetaraan politik berguna dalam negara modern yang besar dan kompleks
terutama dalam membuat keputusan komunal.
Dalam
pemahaman ini, prinsip kebebasan diposisikan sebagai suatu bentuk tanggung
jawab yang melekat pada individu (jika mereka memiliki keinginan untuk mengubah
nasibnya) dan pada Elite politik sebagai pihak yang berposisi kuat yang pada
banyak kondisi justru banyak menumpuk kekayaan bagi dirinya sendiri.
Relasi Agama dan Negara
Manusia
adalah makhluk dengan “tumpukan” dimensi sifat dan sikap yang saling
berisirisan satu sama lain. Di satu sisi manusia digambarkan sebagai makhluk
sosial, disisi lainnya digambarkan sebagai makhluk yang individualis dan
terkadang di sisi lainnya juga digambarkan sebagai makhluk yang penuh welas
asih serta berbakti kepada agama atau kepercayaan yang dianutnya.
Rousseau
mengatakan bahwa “segala-galanya adalah baik, sebagaimana keluar dari tangan
Sang Pencipta; segala-galanya memburuk dalam tangan manusia”. Jadi manusialah
yang menjadikan yang baik itu menjadi tidak baik; yang indah menjadi tidak
indah; yang aman menjadi tidak aman; yang damai menjadi perang; yang saling
mencintai menjadi saling membenci; yang saling menghormati menjadi tidak
toleran; yang pemaaf menjadi pendendam. Demikianlah wajah “anak-anak Abraham” pada
zaman ini (Kuncahyono, 2018).
Pembahasan
hubungan agama dan negara sudah menjadi topik menarik sejak dahulu. Dalam
bukunya tentang kontrak sosial, Rousseau mengistilahkan sosiologi agama yang
disebutnya sebagai civil religion.
Secara
sederhana, civil religion memuat
beberapa ajaran dan kepercayaan yang dianggap mewakili semua agama yang ada,
yaitu kepercayaan akan adanya Tuhan, adanya kehidupan di akhirat, adanya pahala
untuk kebajikan yang dilakukan seseorang selama hidupnya dan hukuman untuk
kejahatan dan penolakan terhadap sikap intoleran terhadap agama lain. Dalam
telaah yang dilakukannya, Rousseau menyatakan bahwa negara bukanlah ahli agama,
sementara Negara berkewajiban untuk menjaga dan mengatur kehidupan agama.
Komentar
Posting Komentar