John
Stuart Mill adalah salah satu tokoh pemikir berpengaruh abad ke-19.
Akar
filsafat yang dipegang Mill merupakan ekstrasi dari pengaruh intelektual ayah
kandung dan ayah baptis-nya James Mill serta Jeremy Bentham yang mempercayai
bahwa semua manusia memiliki motivasi untuk mengejar kesenangan dan mengindari
rasa sakit (lihat karya Betham yang berjudul Principles of Morals and Legislation).
Beberapa
karya besar yang menjadi legacy John
Mill anatara lain ialah etika utilitarian dan filsafat politik liberal.
Utilitarian
Utilitarian
sebagai suatu teori menurut asal katanya berasal dari utilis yang memiliki arti
berguna, bermanfaat, berfaedah atau menguntungkan. Prinsip dasar dari
utilitarian menyebutkan bahwa tindakan yang menghasilkan kebahagian terbesar
bagi banyak orang adalah sesuatu yang harus diikuti. Istilah utilitarian ini
juga sering disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory).
Sebagai
suatu teori, Utilitarian agaknya menjadi semacam “doktrin” yang mencengkram
banyak alur pemikiran manusia pada abad ke 20.
Para “pemercaya”
utilitarian meyakini, bahwa mereka secara moral memiliki kewajiban untuk
meningkatkan kebahagiaan dan mengurangi ketidakbahagiaan di dunia. Bentuk
peningkatan kebahagiaan dilakukan melalui cita-cita bersama untuk meningkatkan
keadilan sosial, dan/atau membangun kesetaraan.
Dalam
perkembangannya kemudian, ciri utilitarian ini memiliki irisan dengan hedonisme
(aliran moral yang mengejar kenikmatan, yang diyakini sebagai summum bonum atau
kebaikan tertinggi; ciri atas kenikmatan ini bukan semata kenikmatan fisik
emosional seperti yang tergambar dalam Palyboyclub Hugh Hefner namun juga
berkenaan dengan aras tinggi Albert Enstein saat menerbitkan salah satu karya
terkenalnya di sela tugas kantor-nya yang dikenal dengan teori relativitas
khusus E = MC2.
Filsafat Politik Liberal
Dalam
kaitannya berkenaan dengan filsafat politik liberal, Mill melalui karyanya yang
berjudul On Liberty menulis hal berkaitan dengan demokrasi dan kebebasan.
Mill
mengingatkan tentang lonceng kematian kebebasan yang dimungkinkan timbul dan
lahir oleh karena pemaksaan pendapat.
Mill
menentang keras kecenderungan khalayak untuk melarang pendapat yang tidak
mereka setujui. Pembukaman atas pendapat bagi Mill merupakan sebuah kejahatan
karena mencederai prinsip kebebasan manusia untuk berbicara yang seharusnya
dilindungi.
Dalam
tulisannya, Mill tidaklah berbicara dalam konteks negara otoriter ataupun
diktator tapi berbicara tentang negara demokratis dimana ancaman justru timbul
dari masyarakat sendiri dalam bentuk fanatisme.
Fanatisme
(baca: dalam bentuk pemaksaan pendapat) baik yang bersifat sekuler maupun
keagamaan bersifat iconoclast, yakni
menolak prinsip representasi di politik, menolak perbedaan tafsir dan menolak
kreativitas ekspresi estetik.
Dalam
telaahnya kemudian dalam ruang publik Indonesia, para penjaga “kebenaran” ini –
orang-orang yang memiliki fanatisme berlebih cenderung anti kebebasan dan
melancarkan aksi kekerasan dalam memperjuangkan pemahamannya (Latief, 2018).
Komentar
Posting Komentar