Kasus perobekan bendera
Partai Demokrat pada penghujung tahun 2018 menjadi salah satu peristiwa yang
paling banyak menyita perhatian publik. Dalam kajian ilmu komunikasi, peristiwa
tersebut dapat didalami menggunakan tradisi, teori dan konteks yang ingin disampaikan
para pihak yang terlibat. Terkait hal tersebut adapun hasil dapat disampaikan
sebagai berikut:
Tradisi yang berkembang
dalam kasus perobekan bendera Partai Demokrat
Craig dalam Littlejohn dan
Karen A Foss (2017) membagi dunia komunikasi ke dalam tujuh tradisi pemikiran
yaitu: (1) semiotik; (2) fenomenologis; (3) sibernetika; (4) sosiopsikologis;
(5) sosiokultural; (6) kritis dan (7) retroris.
Dalam kasus yang dibahas
dalam tulisan ini, penulis berpendapat bahwa tradisi yang tepat untuk digunakan
ialah tradisi sosiopsikologis.
Tradisi Sosiopsikologis
berangkat dari kajian individu sebagai makhluk sosial dimana manusia dipandang
bukan semata bagian dari suatu kelompok, melainkan bagian dari komunitas yang
terikat oleh komunitas sosial. Tradisi Sosiopsikologis berangkat dari
teori-teori yang memiliki fokus pada perilaku sosial individu, variabel
psikologis, efek individu, kepribadian dan sifat, persepsi serta kognisi
(Little John dan Karen A Foss, 2017).
Dalam beberapa literatur
disebutkan bahwa teori dalam tradisi sosiopsikologis berfokus pada bagaimana
pelaku komunikasi mengatur pesan. Teori dalam tradisi sosiopsikologis memandang
hal berkaitan dengan pilihan individu dan strategi untuk meraih tujuan dari
sebuah pesan dan salah satu teori yang akan dibahas berkaitan dengan peristiwa
perobekan bendera partai demokrat akan didalami menggunakan teori penyusunan
tindakan.
Teori yang berkembang
dalam kasus perobekan bendera Partai Demokrat
Terdapat banyak teori yang
dikembangkan dalam tradisi sosiopsikologis dan teori yang tepat untuk
mengelaborasi kasus perobekan bendera Partai Demokrat ialah Teori Penyusunan
Tindakan.
Teori Penyusunan Tindakan
pertama kali dikembangkan oleh John Greene. Teori ini menguji cara manusia
dalam mengatur pengetahuan dalam pikiran dan mengunakannya untuk membentuk
pesan karena tidak ada satu tindakan yang dapat berdiri sendiri-sendiri. Setiap
tindakan melibatkan munculnya tindakan-tindakan lainnya.
Tindakan – tindakan yang ada ini
kemudian disatukan menjadi jaringan pengetahuan dimana setiap pengetahuan dalam
rutinitasnya merupakan sebuah representasi dari sesuatu yang harus dilakukan.
Menurut Littlejohn dan Karen
A Foss (2017), proses penyusunan tindakan tidak hanya membutuhkan pengetahuan
dan motivasi tetapi juga memiliki kemampuan untuk mendapatkan kembali serta
mengatur tindakan secara efisien dan cepat.
Dalam menyusun tindakan
berupa pesan diperlukan logika penyusunan pesan. Tesis yang muncul dari logika
ini ialah bahwa manusia berpikir dengan cara yang berbeda tentang komunikasi
dan pesan serta mereka menggunakan logika yang berbeda dalam memutuskan apa
yang akan dikatakannya kepada orang lain.
O’Keefe menggarisbawahi 3
logika penyusunan pesan yang mungkin mencakup dari orang yang kurang memusatkan
diri hingga orang yang paling memusatkan diri. Ketiga logika penyusunan pesan
tersebut dapat disampaikan sebagai berikut:
- Logika ekspresif adalah komunikasi untuk pengungkapan perasaan dan pemikiran sendiri. Pesan dalam cara ini bersifat terbuka dan reaktif dengan adanya sedikit perhatian pada kebutuhan atau keinginan orang lain;
- Logika konvensional memandang komunikasi sebagai sebuah permainan yang dimainkan. Logika ini bertujuan menyusun pesan yang sopan, tepat dan didasarkan aturan yang dikeahui semua orang.
- Logika Retroris memandang komunikasi sebagai sebuah cara perubahan aturan mengenai negosiasi. Pesan yang disusun dengan menggunkan logika ini cenderung memiliki keluwesan,berwawasan dan terpusat pada seseorang.
Dalam kasus perobekan bendera Partai Demokrat logika yang digunakan cenderung menggunakan logika ekspresif dengan memperlihatkan dalam kelompok mengenai individu yang memperlihatkan sikap positif dengan gabungan sifat mendramatisir.
Penggunaan logika penyusunan
pesan ekspresif ini bukanlah sesuatu yang betul baru dalam sistem perpolitIkan
Indonesia maupun sikap dari Partai Demokrat.
Sejarah politik di Indonesia
senantiasa menorehkan catatan beragam dalam sisi perjalanan bangsa. Peristiwa
perobekan bendera Partai Demokrat yang terjadi di penghujung tahun 2018 yang
mampu menghebohkan jagat maya Indonesia bukanlah sesuatu yang batu atau benar
terjadi pertama kali. Jauh sebelum peristiwa ini terjadi, pada 27 Juli 1996,
Partai Demokrasi Indonesia pernah megalami hal serupa.
Peristiwa 27 Juli 1996 atau
biasa disebut dengan Kudatuli (merujuk singkatan Kerusuhan 27 Juli) sampai saat
ini masih menorehkan titik hitam. Cerita yang berkembang kala itu, para
pendukung Soerjadi yang merupakan Ketua Umum PDI hasil Kongres Medan periode
1996 – 1998 menyerbu dan berusaha menguasai kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro,
Jakarta yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI
hasil Kongres Surabaya periode 1993 – 1998. Persitiwa penyerbuan tersebut
terjadi hingga “memakan” korban jiwa.
Dampak dari peristiwa yang
terjadi, Megawati Soekarnoputri masuk dalam radar pemberitaan
nasional sebagai
antitesis dari Soeharto yang berkuasa kala itu dengan tangan besi dan
cenderung
bersifat koruptif dalam
menjalankan kekuasaannya.
Tepat 22 tahun setelah
peristiwa yang terjadi, fakta dilapangan tidaklah pernah terungkap, namun
terlepas dari peristiwa tang terjadi pada penghujung tahun 2018, peristiwa yang
sama namun terfokus pada pengerusakan bendera/atribut partai terjadi.
Peristiwa tersebut mematik
perhatian publik karena SBY hadir ke lokasi pengerusakan dan memperlihatkan
“mimik” wajah penuh kecewa dan kesedihan, serta mengungkapkan kata ekspresif.
Namun untuk peristiwa kali ini, media tidak lagi membesarkan apa yang terjadi.
Peristiwa disekitar SBY dalam 1 dekade terakhhir menjadi pembelajaran penuh
media dalam mengambil sisi SBY dan Partai Demokrat.
SBY dan Partai Demokrat
adalah 2 sisi mata uang yang saling mengait satu sama lain. Suka
tidak suka, peristiwa Taufik Kiemas pada tahun 2004 yang menyebut SBY sebagai
jenderal yang kekanak-kanakan berhasil mengangkat citra SBY ke kancah nasional.
SBY yang kala itu menjabat
Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) era Presiden Megawati
Soekarnoputri berhasil memenangkan hati publik yang bersimpati kepadanya dan
tidak bisa dipungkiri bahwa peristiwa tersebut menjadi salah satu batu loncatan
keberhasilan SBY menduduki kursi kepresidenan hingga 2 periode.
Namun karisma yang dimiliki
SBY pasca masa kepemimpinan jilid kedua, terasa terus berangsur memudar.
Kegerahan masyarakat dengan “kenyiyiran” dan sikap reaktif SBY terhadap isu-isu
krusial, serta hantaman kasus Bank Century membuat eletabilitasnya terus
merosot.
Tahun ini menjelang masa
berakhir periode pertama Presiden Jokowi, SBY mencoba untuk mengolah emosi
publik atas peristiwa pengerusakan bendera/atribut partai yang dialaminya.
Komentar
Posting Komentar