Suatu
negara tidaklah terbentuk begitu saja tanpa adanya kesepakatan antar individu
di dalamnya untuk menyerahkan sebagian atau bahkan seluruh kekuasaan yang mereka
miliki untuk dikelolakan kepada suatu lembaga atau yang biasa kita sebut dengn
negara. Dalam kajian filsafat politik, bentuk persetujuan ini dikenal sebagai kontrak
sosial.
Sejarah
perkembangan kontrak sosial telah berlangsung selama diskursus bentuk negara
lahir dan berkembang hingga saat ini sesuai dengan catatan yang diurai banyak
pemikir.
Dalam
pandangan Thomas Hobbes misalnya, bentuk kontrak sosial dalam monarki absolut dianggap
sebagai bentuk yang paling sahlih untuk mengatur rakyatnya, sedangkan bagi John
Locke suatu negara tidaklah bisa mensubyekan anggota atau rakyat karena negara
hanya memiliki sebagian kekuasaan dari rakyatnya tersebut, rakyat diatur dengan
konstitusi. Berbeda lagi dengan Jean-Jacques Rousseau yang memandang negara
sebagai penjamin dari tidak saling tersilangnya hak-hak setiap individu, general of will nantinya yang bermuara
pada demokrasi (Sidauruk, dkk 2016).
Sebelum
melaju membahas kontrak sosial, tulisan ini akan membedah tentang apa itu
Negara dan dinamika yang lahir di dalamnya?
Negara
Suseno
(1987) menyatakan negara memiliki arti yang sama dengan “staat” dalam bahasa Jerman atau “state” dalam bahasa Inggris yang memiliki 2 arti yaitu: (1) Negara
adalah masyarakat atau wilayah yang merupakan kesatuan politis. Dalam arti ini
India, Korea Selatan atau Brasil, istilah itu merupakan Negara; (2) Negara
adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis itu yang menata dan dengan demikian
menguasai wilayah itu. Demikian misalnya pulau-pulau Nusantara merupakan satu
Negara Indonesia (Negara dalam arti pertama) karena mereka berada di bawah satu
Negara (dalam arti kedua). Dalam filsafat politik, pengertian Negara banyak mengacu
pada bentuk pengertian yang kedua.
Berkenaan
dengan hal tersebut, maka Negara sebagai sebuah lembaga wajib memiliki
kedaulatan dan wewenang.
Kedaulatan
yang dimaksud disini adalah hak kekuasaan mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak
tergantung dan tanpa kecuali. Kedaulatan disini juga memiliki arti bahwa tidak
ada pihak, baik di dalam maupun di luar negeri yang harus dimintai izin untuk
menetapkan atau melakukan sesuatu. Namun demikian dalam kenyataanya tidak ada
negara yang sama sekali berdaulat karena terdapat juga negara-negara yang
mengakui suatu hak perlindungan negara lain.
Kemudian
berkaitan dengan wewenang, dalam diskursus awal terdapat banyak pertanyaan
tentang seberapa besar negara akan mencampuri segala urusan masyarakat untuk
menentukan segala-galanya. Dan pertanyaan yang lebih fundamental hadir
berkenaan dengan bagaimana pertanggungjawaban negara atas penggunaan wewenang
tersebut.
Sejarah
mencatat bahwa filsafat politik Yunani yang dalam masa Plato hadir untuk
memberikan makna mengenai prinsip Negara.
Plato
menulis, Athena sebagai pusat kebudayaan menjadi sedemikian merosot pasca
mengalami kekalahan dalam perang Pelopones.
Laju
jalan pemerintahan menjadi rebutan orang-orang yang tidak memenuhi syarat
tetapi memiliki ambisi besar untuk berkuasa. Melihat kondisi tersebut, Plato
menggagas pola kehidupan kenegaraan yang baik dan adil.
Keadilan
sebagai bentuk gagasan Plato disini hadir dalam bentuk masyarakat yang
dipersatukan oleh tatanan yang harmonis dimana masing-masing anggota memperoleh
kedudukan sesuai dengan kodrat.
Menurut
Plato dalam negara terdapat 3 golongan yaitu:
1. Para
penjamin makanan
2. Para
penjaga
3. Para
pemimpin
Dalam
daras pemikiran Plato, Filsuf sebagai orang yang sanggup untuk melihat sesuatu
dalam spektrum yang holistik adalah sosok pemimpin yang baik dan tepat untuk
masyarakat.
Kontra
dengan apa yang disampaikan Plato, Aristoteles tidak menyerahkan kepemimpinan negara
kepada seorang filsuf. Baginya filsafat banyak sibuk dengan hal-hal yang
cenderung abadi yang tidak berubah sedangkan politik banyak beririsan langgung
dengan manusia yang berubah-ubah. Dan dalam telaah mendalam atas manusia
tersebut, Aristoteles menyampaikan bahwa tujuan terakhir manusia adalah
kebahagiaan dan manusia adalah makhluk politik (zoon politicon).
Bahkan
dalam kajian lebih mendalam, Aristoteles menyatakan bahwa dalam keadaan
sendirian, ia (baca: manusia) hanya dapat sekedar mempertahankan nyawanya saja
dan untuk hidup yang lebih baik maka ia harus mengembangkan potensi-potensinya
serta membutuhkan negara sebagai tatanan kehidupan bersama manusia dalam suatu
masyarakat.
Sejalan
dengan pemikiran Aristoteles, Thomas Aquinas menyebutkan sebagai makhluk
sosial, manusia tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan-kebutuhan hidupnya
secara individual karena manusia senantiasa membutuhkan manusia lain. Negara
adalah lembaga kesosialan manusia paling luas yang berfungsi untuk menjamin
agar manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang melampaui
kemampuan-kemampuan lingkungan-lingkungan sosial lebih kecil seperti keluarga
atau desa dan kota.
Bertolak
dari pandangan Thomas Aquinas, Hobbes melalui karyanya yang berjudul Leviathan
menempatkan negara sebagai makhluk raksasa dan menakutkan yang melegitimasikan
diri semata karena kemampuannya untuk mengancam. Dalam alur filsafatnya, Hobbes
seakan diobsesi akan bentuk pertanyaan “bagaimana masyarakat dapat ditata
sedemikian rupa sehingga kekacauan sebagaimana dialamai dirinya sendiri dapat
dinegasikan? Atau apa sebenarnya hubungan antara negara dan hukum, kekuasaan
dan moralitas sehingga masyarakat dapat hidup berdamai?
Lalu
bagaimana Hobbes dan para pemikir lainnya menjawab bentuk pertanyaan tersebut?
Kontrak Sosial
Untuk
menjawab pertanyaan yang diajukan Hobbes, ia sendiri pada prinsipnya telah
merancang dengan apa yang disebut sebagai perjanjian negara. Menurut
pemahamannya, Negara berasal dari suatu perjanjian bebas antara individu yang
sebelum perjanjian tersebut telah bermasyarakat.
Karena
individu masing-masing tidak dapat sendirian dalam memecahkan masalah yang
mereka hadapi, mereka mengadakan perjanjian bersama untuk mendirikan suatu
tatanan politik, dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu dan dimana
wewenang tertinggi harus dijalankan dengan cara yang ditetapkan juga.
Tentang
kontrak sosial, ia (baca: Hobbes) mendasarkan dirinya dalam keadaan alamiah (state of nature) manusia adalah konflik
yang penuh dengan persaingan brutal, kekuasaan dan perang (Vallentyne, 2003)
atau dalam istilah lain dikenal dengan homo
homini lupus yang artinya manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya.
Namun
perlu diperhatikan bahwa alur pikir ini tidaklah bisa dilepaskan dari kondisi
sosial, ekonomi dan politik dimana Hobbes lahir dan hidup.
Berbeda
dengan Hobbes yang memadang state of
nature manusia, John Locke mengandaikan manusia memiliki sifat alamiah yang
harmonis, teratur serta produktif (Steele, 1993). Pandangan ini muncul tidak
bisa dilepaskan dari masa dimana Locke hidup dan pengarus kekristenan yang
sangat kuat.
Locke
memandang God merupakan origin dari state of nature manusia karena God
hadir dalam dua bentuk yaitu: (1) sebagai inspirasi ilahi (divine inspiration), dan (2) hukum alam (law of nature) (Steele, 1993).
Dalam
pandangan Locke sutu Negara yang baik ialah yang bisa memberikan jaminan
terhadap hak-hak dasar dari manusia itu sendiri berdsar suara mayoritas dan
jaminan atas perlindungan hak-hak warga Negara dari pemerintahan Negara
tersebut (Palmer, 2006).
Alur
pandang Locke inilah yang kemudian juga banyak mempengaruhi Rousseau dimana
kontrak sosial terbentuk atas dasar legitimasi dari seluruh otoritas politik,
tetapi gagasannya mengenai masyarakat lebih natural dan tidak individualistik
daripada Locke (Duignan, 2011). Jargon Rousseau bertumpu pada pemahaman “Man was born free and everywhere he is in
chain” atau dapat diartikan seseorang itu bebas dan memiliki hak-haknya,
namun ia tetap dibatasi ketika masuk ke dunia sosial dimana mereka diatur oleh
hukum dan diberikan status berkaitan dengan kewarganegaraan.
Bagi
Rousseau, Negara merupakan manusia-manusia yang bermoral yang berpadu dengan
anggotanya (baca: masyarakat) dalam tindakannya yang diatur oleh general will yang pada ujungnya
menghasilkan kebebasan dan kesetaraan bagi para anggotanya.
Indonesia dan Tantangan Kebhinekaan
Kita
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, manusia menjadi subyek saat kita berinteraksi dalam
suatu kelembagaan bernama Negara. Rousseau memandang bentuk general will, bahkan Hobbes memandang
manusia dalam bentuk sifat serigala sehingga untuk memberikan jaminan
keberlangsungan tatanan hidup, Negara harus mampu hadir dan menjamin
individu-individu yang ada dan terlibat didalamnya. Implikasinya kedaulatan
Negara (baca: kekuasaan dan wewenang) harus dijalankan atas dasar hukum yang
baik dan adil dimana hubungan antara yang diperintah dan memerintah berjalan
sesuai kaidah hukum.
Hukum
menjadi landasan segenap tindakan negara dan hukum itu sendiri harus baik dan
adil. Baik karena sesuai dengan yang diharapkan masyarakat dan adil karena
segenap hukum berintikan pada keadilan.
Pemotongan Salib di Yogyakarta
Spektrum
tatanan Yogyakarta seolah kembali terusik dengan berita intoleran yang tengah
melanda kota berjuluk “pelajar” yang konon identik dengan semangat pemikiran
muda dan toleransi.
Di
saat pusaran politik identitas di tingkat nasional menguat, Yogyakarta seolah
terseret gelombang intoleran, kasus terakhir yang mencuat berkaitan dengan
pemotongan salib di lokasi pemakaman umum.
Kasus
ini memperlihatkan, bahwa logika berpikir kita mulai mengarah pada bentuk dominasi
kelompok bukan lagi berdasar kesepakatan untuk memberi jaminan keberlangsungan
tatananan hidup dengan mempehatikan keterlibatan para individu didalamnya.
Bahkan
dalam delik kasus tersebut secara lebih mendalam ditemui fakta mengenai
pelarangan doa di lokasi pemakaman yang dilakukan warga dan peletakkan makam
yang harus berada di pingiran. Hal tersebut dilakukan dengan dalil berkaitan
dengan “suara” dan kedudukan mayoritas. Bahkan dalam pemberitaan yang dilakukan
beberapa media arus utama juga terjadi pembiasan tentang penggunaan kata “pemakaman
umum” yang seolah memiliki kesamaan dengan “pemakaman muslim” yang ditarik
dalam garis mayoritas.
Menyedihkan
memang saat kontrak sosial tidak lagi memberikan ruang bagi perbedaan. Manusia
akhirnya hidup dalam jebakan kavling identitas yang dibuatnya sendiri.
Komentar
Posting Komentar