Surat kabar pada beberapa dekade
kebelakang dianggap sebagai salah satu elemen penting dalam demokrasi.
Keberadaannya (baca: surat kabar) menurut Starr, 2004 dan Thomson, 1995 tidak
terbatas pada ruang demokrasi elektoral dan respon pemerintah, namun juga memiliki
kaitan dengan perkembangan isu yang hadir dalam ruang publik.
Secara lebih lanjut, dalam penelitian yang
dilakukan Milner (2007) disebutkan bahwa merunut sejarahnya, surat kabar
memiiki keterkaitan dalam membangun pengetahuan politik dan pergerakan
masyarakat sipil di Amerika Utara dan Eropa. Namun dalam
perkembangannya kemudian, surat kabar mulai mengalami penurunan baik dari sisi
komersil (baca: pendapatan iklan) maupun redaksional (baca: pemberitaan).
Model bisnis dan operasional media abad ke 20 yang memiliki ciri dominan pada peran pers yang bergerak sebatas menjadi
perantara dan penghubung konten antara konsumen dengan pemasang iklan dan
redaksi (baca: berjalan dengan gaya komunikasi
satu arah) menjadi salah satu faktor penyebabnya.
Hal tersebut juga tidaklah bisa dilepaskan dari model media abad ke-20 yang menurut McChesney (2008) dan CMRC (2009) memiliki ciri: (1) memiliki jumlah pemain terbatas; (2) berbiaya tinggi, serta (3) memiliki ruang penyiaran yang seragam akibat tuntutan pemenuhan aspek komersial yang dalam kondisi tertentu mengakibatkan pengambilan sikap “status quo” dalam penulisan suatu berita.
Batasan-batasan inilah yang pada akhirnya menciptakan kelangkaan keberadaan media di periode abad ke-20 meski di sisi lain kondisi ini membuat bisnis media menjadi sesuatu yang menguntungkan baik secara ekonomi maupun politis.
Hal tersebut juga tidaklah bisa dilepaskan dari model media abad ke-20 yang menurut McChesney (2008) dan CMRC (2009) memiliki ciri: (1) memiliki jumlah pemain terbatas; (2) berbiaya tinggi, serta (3) memiliki ruang penyiaran yang seragam akibat tuntutan pemenuhan aspek komersial yang dalam kondisi tertentu mengakibatkan pengambilan sikap “status quo” dalam penulisan suatu berita.
Batasan-batasan inilah yang pada akhirnya menciptakan kelangkaan keberadaan media di periode abad ke-20 meski di sisi lain kondisi ini membuat bisnis media menjadi sesuatu yang menguntungkan baik secara ekonomi maupun politis.
Sebagai contoh, di beberapa negara Amerika
Latin seperti Meksiko, Brazil, Argentina dan Venezuela, hanya terdapat
“segelintir” perusahaan yang mampu “bermain secara dominan” di tingkat nasional
dan regional. Perusahaan-perusahaan tersebut bahkan dalam penelitian yang
dilakukan McChesney dan Schiller (2003) ditenggarai
memiliki hubungan dengan perusahaan transnasional dan elite pemerintahan.
Dampak dari relasi media dan pemerintah yang demikian pada jangka pendek melahirkan keseragaman opini publik akibat “pembodohan siar pemberitaan” dan pada jangka panjang mampu melahirkan “revolusi” akibat rasa muak dan mual dari perilaku para aktor tersebut yang tidak menyajikan suatu fakta yang utuh.
Dampak dari relasi media dan pemerintah yang demikian pada jangka pendek melahirkan keseragaman opini publik akibat “pembodohan siar pemberitaan” dan pada jangka panjang mampu melahirkan “revolusi” akibat rasa muak dan mual dari perilaku para aktor tersebut yang tidak menyajikan suatu fakta yang utuh.
Berangkat dari kondisi media abad ke-20 inilah yang kemudian melahirkan kritik ekonomi-politik
terhadap kondisi media yang telah mapan.
Lahirnya semangat “media transnasional
dalm ruang lingkup regional” dan internet menjadi 2 penanda baru dalam
menumbuhkan demokrasi dalam industri media.
Untuk penanda Pertama terkait media transnasional dalam ruang lingkup regional dapat kita lihat bersama dari hadirnya Al Jazeera pada beberapa dekade belakang di kawasan Timur Tengah.
Al Jazeera dengan segala kemampuan yang dimilikinya (baca: kedekatan budaya) mampu mengalahkan dominasi CNN di dunia Arab.
Al Jazeera mampu memberikan penyeimbangan pandangan atas dominasi media barat seperti CNN dan BBC dalam menjawab kondisi di dunia Arab yang selama ini digambarkan tertutup dan penuh konflik.
Untuk penanda Pertama terkait media transnasional dalam ruang lingkup regional dapat kita lihat bersama dari hadirnya Al Jazeera pada beberapa dekade belakang di kawasan Timur Tengah.
Al Jazeera dengan segala kemampuan yang dimilikinya (baca: kedekatan budaya) mampu mengalahkan dominasi CNN di dunia Arab.
Al Jazeera mampu memberikan penyeimbangan pandangan atas dominasi media barat seperti CNN dan BBC dalam menjawab kondisi di dunia Arab yang selama ini digambarkan tertutup dan penuh konflik.
Menurut Straubhaar (2008: 19) kekhususan budaya yang dibentuk dalam nilai dan tradisi yang berkembang dalam konteks kewilayaah menjadi faktor utama berkembangnya pengaruh dan bisnis Al Jazeera di dunia Arab.
Kedua, terkait internet, ia (baca: internet) pada dekade ini menjadi sebuah penemuan inovatif yang tidak bisa lagi “ditolak” keberadaannya oleh manusia.
Di dunia media dan politik misalnya, Lees-Marshment dan Lilleker, 2005), menyatakan bahwa lingkungan (baca:media) mengalami perubahan yang cepat dan membutuhkan pemikiran ulang baik secara teori maupun praktik.
Kaitan
dengan fenomena sosial/komunikasi
Berhadapan dengan media transnasional dan
internet, media “mapan” abad ke-20 pada dekade ini mengalami banyak guncanngan
dan instabilitas. Internet telah mengubah lanskap aktivitas media yang
berlangsung selama ini. Internet telah menjadi harapan baru bagi kaum “pecinta”
demokrasi akan hadirnya platform media yang menawarkan kebebasan, memiliki
biaya rendah dalam operasional, kemudahan untuk digunakan (user friendly), jaringan yang luas, serta menawarkan sifat
interaktif antar para pengguna dan produsennya.
Rilis hasil survei media cetak yang dilakukan Nielsen (2017) terhadap 17.000 responden di 11 kota di Indonesia menunjukkan hasil bahwa media cetak masih memiliki penetrasi sebesar 8 persen atau sekitar 4,5 juta orang (populasi di 11 kota mencapai 54 juta orang di atas usia 10 tahun). Meski hasil ini menampilkan angka yang “masih” positif , angka ini sebenarnya menunjukkan tren penurunan. Fakta terkait internet dalam ruang publik dan pengaruhnya dalam keputusan politik meski diakui belum dominan tapi memiliki tren yang terus bertumbuh.
Kembali ke buku refrensi utama dalam penulisan paper ini., sejak 1960-an, kampanye presiden AS telah menjadi sumber utama inovasi dalam teknik kampanye bagi negara-negara lain. Bahkan Asosiasi Internasional Konsultan Politik telah berdiri di AS sejak tahun 1968 (www.ipac.org; Plasser, 2002).
Kampanye presiden AS tahun 2008 menampilkan kemajuan besar dalam penggunaan media sosial untuk melibatkan pendukung partai dan merekrut sukarelawan. Kampanye media sosial, yang dilakukan oleh pasukan sukarelawan yang mampu mengkosolidasi massa melalui web, meski hanya terdapat 10% pengguna Internet memperoleh informasi politik dari situs jejaring sosial dan hanya 5% yang memposting pandangan mereka sendiri (Barney, 2009: 94), namun pertumbuhannya terus berkembang dari tahun ke tahun.
Internet sebagai bagian dari new media menawarkan bauran baru yang memiliki sebaran luas, interaktivitas, viralisasi (public attention dan mass media attention), patisipasi publik dalam jurnalisme (citizen journalism), target kelompok sasaran dan engangement yang dapat diukur melalui bayak "like",comment dan lama viral.
Bahkan penggunaan media dalam kampanye politik dekade ini telah masuk dalam fase new politics, new media 2.0.
Jika ingin bertahan hidup, Media abad ke-20 harus mampu mengakomodasi keunggulan media baru berbasis internet sambil mempertahankan loyalitas atau khalayak yang lebih senior.
Komentar
Posting Komentar