Tulisan ini
disarikan dari jurnal berjudul Politics and Image: The Conseptual Value of
Branding yang berpendapat bahwa konsep “branding” adalah
alat yang paling ampuh
untuk memahami political
image.
Tulisan ini mengeksplorasi nilai “branding” sebagai konsep analitik untuk tujuan politik. Konsep ini menempatkan “branding” sebagai alat yang kuat serta mampu menawarkan wawasan baru dalam membangun komunikasi politik antar partai.
Keindahan dari sebuah “branding” adalah keberadaan konsepnya yang luas dan inklusif; “branding” menawarkan sesuatu yang mampu menyatukan pilihan rasional dan yang tampaknya tidak rasional, yang keras dan yang lunak untuk mempengaruhi pilihan voters.
Singkatnya, kajian “branding” ini menarik karena memadukan wawasan dari ilmu politik, ekonomi (baca: pemasaran politik), dan budaya analisis dalam kerangka politik modern.
Kornberger (2010) menyatakan bahwa “branding” adalah fakta yang mencari teori dan ini adalah tugas peneliti “political marketing” untuk membangun teori yang berkesesuaian.
Artikel ini juga menyajikan pemaparan mengenai model analitik dari “political brand” yang dirancang khusus untuk mengeksplorasi aspek “brand identity” (Aaker 1996).
Dalam dunia bisnis, brand adalah aset tak berwujud yang memiliki nilai ekonomi yang merepresentasi psikologi dari suatu produk atau jasa. Brand dibentuk bukan semata dari aktivitas pemasaran yang dilakukan pemilik, namun juga dari pengalaman dan persepsi konsumen atas sesuatu.
Image merupakan bagian inti dari pemasaran politik dan dalam perkembangannya kemudian, ia (baca: image) berkembang menjadi semacam reputasi.
Serupa dengan image, reputasi dalam pemahaman umum seringkali diidentikkan sama citra, namun apabila ditelisik lebih mendalam keduanya memiliki perbedaan. Reputasi memiliki pemahaman yang berbeda karena ia (baca: reputasi) berisi rekam jejak dan kredibilitas dari obyek yang diangkat. Reputasi didasarkan pada kenyataan dan pada akhirnya seringkali reputasi ini tidak bisa di intervensi sebatas dengan memanfaatkan iklan.
Dalam kajian politik, reputasi memiliki “kelekatan sensitivitas” dengan media.. Saat media mengubah secara kolektif sudut pandang yang diambil atas obyek tertentu, hasil reputasi yang dihasilkan terkadang mampu selaras dengan “giringan” media. Namun demikian hasil ini tidaklah bisa “diterima mutlak”.
Alih-alih mencoba mereplikasi apa yang terjadi di dunia bisnis, model reputasi dengan maksud membangun kepribadian yang identik dengan “selebritas” menjadi fenomena yang berkembang kekinian, tetapi hal ini belum dikaji secara empiris dalam penilaian pilihan pemilih (Langer 2011).
Konsep “branding” menyatukan fungsionalitas dan makna; konsep ini juga menggabungkan pendekatan ekonomi dan estetika, substansi reputasi dan detail gaya yang digunakan. Hal inilah kemudian memberi kita alternatif untuk membuat tindakan dari pilihan-pilihan. Branding sebagai konsep analitis telah berkembang selama 10 tahun terakhir. Pengaruh dari konsep ini tidak diragukan lagi dampaknya dan merupakan perkembangan salah satu tren yang paling menarik. Melalui konsep branding kita dapat melihat lanskap politik modern berpusat pada kompetisi citra. Dalam kajian politik, pencitraan tidak dapat disederhanakan dari transfer partai ke pemilih.
Kaitan dengan fenomena sosial/komunikasi
Muda sedang menjadi tren “kekinian” dalam mengambil “ceruk” hati dari pemilih milenial. Menurut penelitian yang dirilis sejumlah lembaga publik diperkirakan terdapat sekitar 55 persen pemilih dari generasi milenial (berusia 17-38 tahun) pada pemilihan umum (pemilu) 2019. Menurut Djayadi dan data Badan Pusat Statistik sebagaimana dikutip dari laman Kompas.com menyatakan, ”Jika lebih kurang ada 190 juta daftar pemilih tetap, itu berarti pemilih dari generasi milenial ada sekitar 100 juta. Jelas semua partai akan menargetkan suara milenial,” Dari jumlah tersebut, menurut Djayadi sekitar 60 persen hingga 70 persen generasi milenial aktif di dunia maya.
Banyak cara yang digunakan para kontestan (calon anggota legislatif maupun eksekutif) untuk menarik perhatian generasi muda. Kampanye bergaya muda dengan mengunggah suatu kondisi ke dalam media sosial, berswafoto, menggunakan pakaian “casual”, dan/atau mengendarai motor dapat menjadi beberapa contohnya. Dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 1 – 2 Desember 2018 dengan 430 responden mahasiswa/i yang berdomisili di 15 kota didapat fakta bahwa separuh dari warga milenial (55,6%) menyukai gaya-gaya politisi yang “mendadak muda” ini. Beragam cara pun dilakukan para kontestan untuk menampilkan sosok “Muda”.
Menggaet suara generasi milenial bukan merupakan suatu hal yang mudah. Banyak saluran yang digunakan untuk mengarahkan suara pemilih. Cara yang digunakan pun bisa dibilang “gampang-gampang susah” karena bergaya “Sok Muda” belum tentu dipilih kalangan milenial, sementara bekal usia muda pun tak cukup meraih simpati mereka. Namun usaha untuk bergaya “Sok Muda” dapat menjadi strategi untuk menggaet para pemilih kelompok milenial.
Tulisan ini mengeksplorasi nilai “branding” sebagai konsep analitik untuk tujuan politik. Konsep ini menempatkan “branding” sebagai alat yang kuat serta mampu menawarkan wawasan baru dalam membangun komunikasi politik antar partai.
Keindahan dari sebuah “branding” adalah keberadaan konsepnya yang luas dan inklusif; “branding” menawarkan sesuatu yang mampu menyatukan pilihan rasional dan yang tampaknya tidak rasional, yang keras dan yang lunak untuk mempengaruhi pilihan voters.
Singkatnya, kajian “branding” ini menarik karena memadukan wawasan dari ilmu politik, ekonomi (baca: pemasaran politik), dan budaya analisis dalam kerangka politik modern.
Kornberger (2010) menyatakan bahwa “branding” adalah fakta yang mencari teori dan ini adalah tugas peneliti “political marketing” untuk membangun teori yang berkesesuaian.
Artikel ini juga menyajikan pemaparan mengenai model analitik dari “political brand” yang dirancang khusus untuk mengeksplorasi aspek “brand identity” (Aaker 1996).
Dalam dunia bisnis, brand adalah aset tak berwujud yang memiliki nilai ekonomi yang merepresentasi psikologi dari suatu produk atau jasa. Brand dibentuk bukan semata dari aktivitas pemasaran yang dilakukan pemilik, namun juga dari pengalaman dan persepsi konsumen atas sesuatu.
Image merupakan bagian inti dari pemasaran politik dan dalam perkembangannya kemudian, ia (baca: image) berkembang menjadi semacam reputasi.
Serupa dengan image, reputasi dalam pemahaman umum seringkali diidentikkan sama citra, namun apabila ditelisik lebih mendalam keduanya memiliki perbedaan. Reputasi memiliki pemahaman yang berbeda karena ia (baca: reputasi) berisi rekam jejak dan kredibilitas dari obyek yang diangkat. Reputasi didasarkan pada kenyataan dan pada akhirnya seringkali reputasi ini tidak bisa di intervensi sebatas dengan memanfaatkan iklan.
Dalam kajian politik, reputasi memiliki “kelekatan sensitivitas” dengan media.. Saat media mengubah secara kolektif sudut pandang yang diambil atas obyek tertentu, hasil reputasi yang dihasilkan terkadang mampu selaras dengan “giringan” media. Namun demikian hasil ini tidaklah bisa “diterima mutlak”.
Alih-alih mencoba mereplikasi apa yang terjadi di dunia bisnis, model reputasi dengan maksud membangun kepribadian yang identik dengan “selebritas” menjadi fenomena yang berkembang kekinian, tetapi hal ini belum dikaji secara empiris dalam penilaian pilihan pemilih (Langer 2011).
Konsep “branding” menyatukan fungsionalitas dan makna; konsep ini juga menggabungkan pendekatan ekonomi dan estetika, substansi reputasi dan detail gaya yang digunakan. Hal inilah kemudian memberi kita alternatif untuk membuat tindakan dari pilihan-pilihan. Branding sebagai konsep analitis telah berkembang selama 10 tahun terakhir. Pengaruh dari konsep ini tidak diragukan lagi dampaknya dan merupakan perkembangan salah satu tren yang paling menarik. Melalui konsep branding kita dapat melihat lanskap politik modern berpusat pada kompetisi citra. Dalam kajian politik, pencitraan tidak dapat disederhanakan dari transfer partai ke pemilih.
Kaitan dengan fenomena sosial/komunikasi
Muda sedang menjadi tren “kekinian” dalam mengambil “ceruk” hati dari pemilih milenial. Menurut penelitian yang dirilis sejumlah lembaga publik diperkirakan terdapat sekitar 55 persen pemilih dari generasi milenial (berusia 17-38 tahun) pada pemilihan umum (pemilu) 2019. Menurut Djayadi dan data Badan Pusat Statistik sebagaimana dikutip dari laman Kompas.com menyatakan, ”Jika lebih kurang ada 190 juta daftar pemilih tetap, itu berarti pemilih dari generasi milenial ada sekitar 100 juta. Jelas semua partai akan menargetkan suara milenial,” Dari jumlah tersebut, menurut Djayadi sekitar 60 persen hingga 70 persen generasi milenial aktif di dunia maya.
Banyak cara yang digunakan para kontestan (calon anggota legislatif maupun eksekutif) untuk menarik perhatian generasi muda. Kampanye bergaya muda dengan mengunggah suatu kondisi ke dalam media sosial, berswafoto, menggunakan pakaian “casual”, dan/atau mengendarai motor dapat menjadi beberapa contohnya. Dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 1 – 2 Desember 2018 dengan 430 responden mahasiswa/i yang berdomisili di 15 kota didapat fakta bahwa separuh dari warga milenial (55,6%) menyukai gaya-gaya politisi yang “mendadak muda” ini. Beragam cara pun dilakukan para kontestan untuk menampilkan sosok “Muda”.
Menggaet suara generasi milenial bukan merupakan suatu hal yang mudah. Banyak saluran yang digunakan untuk mengarahkan suara pemilih. Cara yang digunakan pun bisa dibilang “gampang-gampang susah” karena bergaya “Sok Muda” belum tentu dipilih kalangan milenial, sementara bekal usia muda pun tak cukup meraih simpati mereka. Namun usaha untuk bergaya “Sok Muda” dapat menjadi strategi untuk menggaet para pemilih kelompok milenial.
Komentar
Posting Komentar