Survei dan Dinamika Proses Saintifik serta Bisnis di dalamnya


Gegap gempita pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia untuk masa bakti 2019 – 2024 tinggal menghitung hari. Ragam survei berkaitan dengan pelaksanaan pemilu semakin deras bermunculan dengan pembahasan utama berkaitan dengan popularitas dan elektabilitas. Meski dilakukan dengan periode waktu yang hampir bersamaan, hasil survei sejumlah lembaga justru menunjukkan hasil yang tidak serupa.

Rilis survei yang cukup mengejutkan datang dari Litbang Kompas. Pada rilis hasil survei yang dilakukan pada pertengahan bulan Maret 2019, Litbang Kompas menyebut selisih elektabilitas pasangan calon (paslon) nomor urut 1 dan 2 sebesar 11,8%. Ini menunjukkan hasil yang berbeda dibanding survei yang dilakukan sejumlah lembaga seperti LSI Denny JA dan SMRC yang menyebut selisih yang mencapai 2 digit dalam satuan lebih dari 15%.

Gerah tentunya dialami sejumlah petinggi lembaga survei maupun partai pendukung incumbent atas rilis survei yang dilakukan Litbang Kompas, hal tersebut dapat terlihat dari komentar Denny J. A yang menyebut sejumlah kesalahan yang dilakukan Kompas dalam pelaksanaan survei, mulai dari sampel yang diambil terlalu sedikit (baca: 2.000 responden dengan populasi pemilih Indonesia yang mencapai 197.000.000 jiwa), hingga kesalahan dalam menarik kesimpulan akibat cara melihat angka statistik yang keliru.



Lembaga Survei dan Riwayatnya dalam denyut demokrasi di Indonesia
Lembaga survei merunut sejarah keberadaannya merupakan institusi politik yang lahir dari rahim reformasi. Ragam aktivitas seperti polling, quick count,  dan survei menjadi beberapa contoh kegiatan aktual yang sering dilakukan lembaga survei, utamanya menjelang pemilihan umum.

Meski demikian eksistensi lembaga survei pun tidak bisa luput dari profil kinerja lembaga yang bersangkutan. Sobari (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Elektabilitas dan Mitos Pemilih Rasional mencatat setidaknya terdapat 2 contoh kasus menarik yang diliput media massa terkait perbedaan prediksi hasil survei dan hasil akhir. Pembahasan atas kedua contoh dapat disampaikan sebagai berikut:

1.      Pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta tahun 2012.
Konstelasi pilkada DKI Jakarta tahun 2012 menjadi salah satu perhelatan pilkada yang paling banyak menyita perhatian publik. Berhadapan dengan calon incumbent, pasangan Jokowi – Ahok secara tidak terduga berhasil melangkah sebagai pemenang dalam perhelatan. Padahal jika kita melihat rilis sejumlah survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia Denny JA (LSI Denny JA) dan Jaringan Suara Indonesia (JSI) pada bulan April dan Juli 2012 atau 2 minggu menjelang perhelatan pilkada menyatakan bahwa pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli akan unggul dengan dukungan suara 49,1% dibanding pasangan Joko Widodo dan Ahok yang berada di peringkat kedua dengan besaran 14,4% dan pasangan Hidayat Nur Wahid – Didik Rachnini diprediksi akan menempati urutan ketiga dengan besaran 8,3%.
Untuk 3 kandidat lainnya yaitu Faisal Basri – Benyamin duduk di peringkat keempat dengan 5,8%, Alex Noerdin – Nono Sampono sebesar 3,9% dan Hendardji – Riza Patria menempati posisi paling buncit.
Rilis kedua lembaga survei bahkan menyebut pasangan incumbent berpotensi menang satu putaran. Namun hasil dalam pelaksanaan perhelatan menunjukkan kebalikan. Rilis resmi yang dilakukan KPU menempatkan pasangan Joko Widodo – Ahok di posisi pertama dengan besaran persentase 42,6% disusul pasangan Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli di posisi kedua dengan besaran 34,05%.
Untuk posisi ketiga, keempat, kelima dan keenam, masing-masing ditempati pasangan Hidayat Nur Wahid - Didiek J Rachbini, Fasisal – Biem Benjamin, Alex Nordin – Nono Sampono serta Hendardji – Riza Patria.
Adanya anomali akibat faktor psikologis pemilih menjelang pemungutan suara ditenggarai menjadi penyebab menangnya pasangan Jokowi – Ahok. Namun demikian hal tersebut dibantah Cyrus Network.
Berdasar paparan yang disampaikan Hasan Nasbi, Direktur Eksekutif Cyrus Network sebagaimana dikutip dari Vivanews, kamis 12 Juli 2012 perbedaan ini muncul akibat kesalahan pengambilan sampel yang dilakukan sejumlah lembaga survei. Lebih lanjut Hasan menyatakan, “Jangan gampang salahkan pemilih dengan menyebut anomali dan jangan juga menghakimi riset kuantitatif yang harus diperbaiki”.
2.      Pemilihan kepala daerah (pilkada) Jawa Barat tahun 2013.
Serupa dengan konstelasi yang terjadi pada pilkada DKI Jakarta tahun 2012, pada tahun 2013, Jawa Barat menggelar perhelatan pemilihan Gubernur. Tidak seperti DKI Jakarta yang menawarkan 6 alternatif calon, pilkada Jawa Barat hanya menampilkan 5 calon gubernur dengan kepemilikan latar belakang aktivitas yang berbeda-beda.
Dalam survei yang dilakukan selama rentang bulan Februari 2013 oleh 2 lembaga yaitu Universitas Pasundan dan IPMR menyebutkan bahwa pasangan Dede Yusuf – Lex Laksamana berada pada urutan pertama, disusul pasangan Ahmad Heryawan – Deddy Mizwar di urutan kedua, Rieke Diah Pitaloka – Teten Masduki di urutan ketiga dan Irianto – Tatang di urutan keempat serta Dikdik Mulyana – Nana Suryana diurutan kelima. Sejumlah analisis pun bermunculan menjelang perhelatan dimana banyak prediksi menyebut bahwa pilkada akan dilaksanakan 2 putaran akibat selisih suara antar calon yang “tipis”.
Namun sebagaimana terjadi di DKI Jakarta, pilkada Jabar juga menunjukkan hasil yang berkebalikan. Pasangan Aher – Deddy justru berhasil menempati posisi pertama dalam pemilihan. Pilkada yang diprediksi akan berjalan dalam 2 putaran pun batal terjadi akibat hasil pelaksanaan berhasil memenangkan salah satu calon dengan persentase yang mencukupi untuk dinyatakan “sah”.
Faktor banyaknya pemilih yang tidak menggunakan hak suara ditenggarai beberapa lembaga pelaksana survei sebagai penyebab terjadinya selisih hasil survei dengan aktual. 
Belajar dari pengalaman 2 perhelatan pilkada di atas, kita dapat menarik pembelajaran  tentang bagaimana rilis survei memiliki potensi untuk menghasilkan beda hasil, meski rentang waktu pelaksanaan dan jumlah responden menunjukkan periode dan jumlah yang “nyaris” serupa.
Posisi lembaga pelaksana survei yang juga menjadi konsultan politik bagi beberapa politisi baik personnal maupun kelembagaan ditenggarai menjadi faktor penyebabnya.

Lembaga Survei dan Reposisi kedudukan atasnya
Jika merunut sejarah perjalanannya, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Litbang Kompas dan Lingkaran Survei Indonesia Denny JA (LSI Denny JA) menjadi 3 dari banyak organisasi pelaksana survei yang  telah hadir di Indonesia pasca bergulirnya era reformasi. Ketiga organisasi berhasil menjadi pionir pelaksana survei yang dalam kondisi tertentu juga berhasil menggiring opini publik.

Survei politik pada prinsipnya merupakan suatu kajian saintifik yang berupaya mencari kebenaran dan melegitimasi suatu kondisi di masyarakat akan isu tertentu. Namun dalam perkembangannya kemudian, survei yang dilakukan sejumlah lembaga justru bergerak menjadi suatu cara “berbalut” kebenaran ilmiah untuk melegitimasi suatu kepentingan politik tertentu. Hal ini terlihat secara nyata dalam pilkada Jakarta 2012 dan pilkada Jawa Barat 2013 sebagaimana dijelaskan diatas. Di level nasional, perhelatan pemilu presiden tahun 2014 yang menampilkan sosok Prabowo – Hatta dan Jokowi – Kalla juga tidak bisa dilepaskan dari tren yang ada. Kasus hitung cepat (quick count) pemilu presiden 2014 telah secara nyata berhasil membelah 2 kelompok survei dalam hasil yang berseberangan.

Pengaburan fakta yang identik dengan era pasca-kebenaran (post-truth) seolah menjadi bagian yang di-amini lembaga pelaksana survei.

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan bergesernya kedudukan lembaga survei dalam menyampaikan hasil, beberapa faktor tersebut antara lain: (1) tertutupnya lembaga survei dalam penyajian penggunaan metodologi, jumlah sampel dan waktu serta tempat pelaksanaan; (2) dilematis posisi lembaga survei yang di satu sisi berkedudukan sebagai konsultan dan di sisi lain sebagai pelaksana survei independen dan (3) sumber dana pelaksanaan yang tidak transparan. Berangkat dati identifikasi 3 faktor inilah yang kemudian membutuhkan satu tekad bersama dari lapis masyarakat untuk mendorong posisi lembaga menjadi lebih baik ditimbang dari sisi ketaatan dalam kajian ilmu statistik maupun posisi kelembagaan dan transparansi pembiayaan.   

Belajar dari Gallup
Berdasar sajian penjelasan di atas dapat disampaikan bahwa dinamika proses dalam lembaga survei terus bergerak dinamis sesuai perkembangan masyarakat. Survei merupakan instrumen ilmiah untuk melihat potret pilihan dan opini di masyarakat dalam menjawab suatu isu tertentu. Melihat tren yang berkembang di Indonesia hari ini seolah membawa kita pada cerita awal tentang survei opini pertama di dunia yang dilakukan George Gallup, seorang Amerika Serikat (AS) dan ahli statistik.

Ia (baca: Gallup) pada tahun 1936 secara berani menyampaikan hasil survei menggunakan pendekatan metodologi yang dibangunnya untuk memprediksi pemilu AS  1936 yang menyatakan kemenangan F. D Roosevelt atas Alferd Landon. Hasil survei ini menunjukkan hasil yang berkebalikan dengan rilis sejumlah lembaga di Amerika yang menempatkan Alferd Lnadon sebagai pemenang.

Pasca berlansungnya pemilu AS 1936, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Gallup semakin meningkat dan Gallup sendiri secara mandiri terus merambah tiap aktivitas pemilu untuk memotret kondisi masyarakat AS terhadap pilihan-pilihan politik yang mereka ambil.

Akhir periode kemilau Gallup memudar pasca kesalahan rilis survei pemilu AS 1948 yang menempatkan Thomas E Dewey sebagai calon terkuat presiden AS mengalahkan Harry S Truman. Saat itu Gallup mengakui bahwa metodologi yang digunakannya gagal untuk menentukan kursi pemenangan.

Namun dengan semangat pembaharuan dan transparansi, Gallup kembali bangkit bergerak menuju langkah perbaikan guna memulihkan kepercayaan publik. Galupp sadar bahwa bisnis survei dan opini publik adalah bisnis berbasis kepercayaan dan keseluruhan instrumen yang ada di dalamnya adalah sesuatu yang terukur dan bisa untuk diukur.

Kesimpulan      
Sebagai bagian dari institusi yang lahir dalam era reformasi, semangat perjuangan dan pembaharuan tentunya melekat dalam diri lembaga survei dan pembentuk opini publik. Sadar atau tidak sadar pengaruh rilis mereka terkadang mengganggu alam sadar kita sebagai manusia. Berbinsis dalam kerangka survei yang berbasis kajian ilmiah tidak salah selama prinsip penerapan statistik dan metodologi dapat dipertanggungjawabkan.

Melihat ceruk politik hari ini sudah sepatutnya masyarakat mendorong lembaga survei dan pembentuk opini publik menjadi lebih transparan baik dari sisi penyampaian metodologi, identifikasi organisasi hingga pendanaan. Audit berbasis kinerja dan keuangan serta pembentukan asosiasi diharapkan bisa menjadi kunci penyelesaian untuk tantangan yang ada.

Daftar Pustaka
1.   Sobari, Wawan. 2014. Elektabilitas dan Mitos Pemilih Rasional: Debat Hasil-Hasil Riset   Opini Menjelang Pemilu 2014. Indonesia: eJournal Politik LIPI
2.  Santosa, Budi (2012, 20 Juli) Melesetnya Survei Pilkada Jakarta, 2012. Dikutip dari: https://www.viva.co.id

Komentar