Pengantar
Ketergantungan Indonesia terhadap energi
berbasis fosil menjadi suatu fakta yang tidak terbantahkan. Dengan laju
produksi yang mencapai rata-rata produksi 800.000 barel per hari dan
diasumsikan tidak ada penemuan ladang minyak baru, maka cadangan minyak Indonesia yang berjumlah sekitar 3,7 miliar
barel akan habis dalam 11 tahun ke depan (Kompas, 5 Maret 2015). Cadangan gas
bumi akan habis dalam 40 tahun ke depan, sementara cadangan batubara masih akan
tersedia hingga 80 tahun mendatang (Setiawan, 2012).
Berdasar rilis data yang dilakukan Bank
Dunia konsumsi energi fosil Indonesia per tahun 2009 mencapai 65,6% dari
keseluruhan total konsumsi energi. Besaran persentase tersebut tentunya cukup
mengkhawatirkan mengingat potensi energi fosil yang terus menurun dari waktu ke
waktu. Besaran konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) Indonesia berdasar data
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam rentang 2007 – 2013 dapat disajikan
sebagai berikut:
No
|
Tahun
|
Jenis
BBM
|
Target
|
Realisasi
|
1
|
2007
|
Premium
|
16,58 juta kilo liter
|
17,92 juta kilo liter
|
Solar
|
9,87 juta kilo liter
|
10,88 juta kilo liter
|
||
2
|
2010
|
Premium
|
21,45 juta kilo liter
|
22,93 juta kilo liter
|
Solar
|
11,20 juta kilo liter
|
12,94 juta kilo liter
|
||
3
|
2013
|
Premium
|
24,92 juta kilo liter
|
29,29 juta kilo liter
|
Solar
|
14,28 juta kilo liter
|
15,88 juta kilo liter
|
Tabel 1.1 Konsumsi BBM Nasional
Sumber: diolah dari
Kemenkeu (2014)
Dari jumlah tersebut dapat dilihat bahwa
konsumsi energi fosil terus mengalami peningkatan. Di sisi lain, akibat
minimnya penggunaan sumber energi terbarukan besaran Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) yang digunakan untuk menyubsidi BBM terus melonjak tajam.
Konsumsi energi fosil secara masif telah
menciptakan dampak negatif terhadap lingkungan dan menciptakan parasit dalam
sendi ekonomi Indonesia akibat kebijakan subsidi bahan bakar yang mendistorsi.
Dalam rentang 2008 – 2012 adapun besaran subsidi BBM yang telah digelontorkan
pemerintah dapat disajikan sebagai berikut:
No
|
Tahun
|
Besaran
Subsidi
|
1
|
2008
|
223,00
|
2
|
2009
|
94,58
|
3
|
2010
|
139,95
|
4
|
2012
|
195,29
|
Tabel 1.2 Besaran
Subsidi
Sumber: diolah dari
Kemenkeu (2014)
Jika diperhatikan dalam sajian tabel di
atas, besaran subsidi pada tahun 2009 sempat mengalami penurunan dan kembali
naik di tahun-tahun berikutnya. Penurunan besaran subsidi BBM bukan dipengaruhi
faktor turunnya konumsi BBM namun lebih dipengaruhi kenaikan harga BBM oleh
pemerintah. Tanpa kebijakan pola subsidi yang tepat, besaran APBN akan terus
tergerus oleh subsidi energi yang bersifat konsumtif dan tidak produktif.
Pemanfaatan sumber energi terbarukan
menjadi langkah mendesak yang perlu diambil pemerintah guna mencegah krisis
energi yang disebabkan ketergantungan energi fosil yang bersifat tidak sustainable
dalam penyediaan energi nasional jangka panjang. Pengembangan pola produksi dan
pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber energi terbarukan akan membawa
Indonesia menuju kemandirian dan kebangkitan secara politik dan ekonomi.
Momentum Pertumbuhan Berkualitas
Tahun 2018 menjadi salah satu tahun penuh
kejutan karena ekonomi Indonesia tumbuh mencapai besaran angka 5,3%. Ini menggambarkan
capaian yang lebih tinggi dari perkiraan sejumlah kalangan yang menilai Indonesia
akan mengalami stagnansi pertumbuhan akibat melambatnya konsumsi masyarakat.
Munculnya banyak inovasi yang dilakukan pemerintah dalam bentuk insentif pajak,
proses produksi, peningkatan sumber daya manusia dan keuangan ditenggarai menjadi
faktornya. Bank Dunia dalam rilis tahun 2017 bahkan memuji tranformasi
Indonesia dalam 15 tahun terakhir yang mampu mempertahankan pertumbuhan di atas
5% sehingga mampu menurunkan tingkat kemiskinan dari 24% pada tahun 1999
menjadi 11,3% pada tahun 2014. Indonesia juga berhasil menjadi anggota kelompok
G-20. Namun demikian untuk menciptakan tren positif secara simultan diperlukan
beragam inovasi lanjutan. Hilirisasi komoditas terutama pertanian perlu menjadi
prioritas. Agroindustri juga dapat menjadi salah satu cara untuk meredam arus urbanisasi
dan merangsang pertumbuhan di daerah pedesaan.
Sawit: Data dan Isu dalam Industri
Badan Pusat Statistik pada akhir tahun
2018 merilis data terbaru terkait produksi komoditas. Terdapat satu masalah
klasik berkaitan rilis tersebut yaitu data. Untuk kelapa sawit misalnya, dari
total luasan lahan yang mencapai 14,31 juta hektar, jumlah luasan yang telah
mendapat sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) baru sebatas 2,34
juta hektar. Lahan tersebut dikelola perusahaan, petani plasma maupun petani
swadaya. Rilis data tersebut mengindikasikan bahwa baru sekitar +/- 15% lahan
yang tersetifikasi (menyisakan 12 juta hektar yang belum tersertifikasi).
Salah satu kendala untuk mendapatkan
sertifikasi ISPO ialah klasifikasi lahan yang masih banyak berada di kawasan
hutan, meski Presiden Joko Widodo telah menerbitkn Inpres No. 8 tahun 2018 yang
memandatkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bersama kementerian terkait
didalamnya untuk menverifikasi data pelepasan hutan atau tukar menukar Inpres No.
8 tahun 2018 juga mengamanatkan adanya pelaksanaan kebijakan satu peta. Namun
demikian dalam prosesnya, ego antar kementerian dalam mensinkronisasi data dan
mengambil keputusan turunan atasnya masih menjadi persoalan besar untuk diurai,
hal ini diperparah munculnya berbagai hambatan bisnis yang berasal dari pembeli
(buyer) tingkat pertama seperti India, dan sejumlah negara anggota Uni
Eropa dengan mengangkat isu pekerja anak dan deforestasi.
Untuk isu pekerja anak misalnya, perlu
diluruskan bagaimana kondisi tersebut muncul dan bagaimana langkah pemerintah
serta swasta dalam merespon. Dari sisi teknis di lapangan, dikarenakan industri
sawit yang membutuhkan sentuhan banyak tangan, tidak bisa dipungkiri apabila
ada pekerja yang memborong istri dan anknya untuk tinggal bersama di wilayah
perkebunan. Istri dalam proses selama di kebun juga tak jarang mengambil
inisiatif untuk bekerja guna membantu perekonomian keluarga, impilikasinya
banyak anak seusai pulang sekolah menyusul orang tua di kebun untuk sekedar
mengantarkan makanan serta minuman maupun bercengkarama terkait kondisi di
sekolah. Hal ini kemudian yang banyak ditangkap oknum tidak bertanggung jawab
dengan menggambarkan kondisi yang ada dengan pekerja anak. Diperlukan strategi
komunikasi yang baik dari para pihak untuk meluruskan kondisi yang terjadi. Hal
ini juga mengingat serapan tenaga kerja di industri yang mencapai 8,2 juta
tenaga kerja belum termasuk pekerja yang menggantungkan hidup dalam rantai
produksi sawit (GAPKI, 2016). Potensi disinformasi berkaitan tenaga kerja sudah
selayknya menjadi fokus untuk perbaikan.
Selanjutnya berkaitan dengan isu
deforestasi, meski sawit sebagai industri mengklaim dirinya berhasil
menciptakan banyak angka ekonomi yang positif namun bagi pemerhati lingkungan,
perusahaan sawit masih banyak dianggap sebagai aktor yang menyebabkan
penghilangan kawasan hutan, penghancur biodiversitas dan salah satu pemicu
kebakaran hutan. Kondisi ini yang kemudian dieksploitasi negatif para
kompetitor komoditas yang berasal dari kedelai, bunga matahari dan kanola untuk
memenangi persaingan global. Strategi ini seringkali berjalan efektif karena
komitmen keberlanjutan dari banyak perusahaan sawit yang juga masih rendah.
Mengkaji Ulang Skema Keberlanjutan
Nasional – ISPO
Sebagai representasi dari tata regulasi
nasional, Pemerintah telah menyusun mekanisme sertifikasi Indonesia
Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai kewajiban, namun demikian dalam implementasinya
ISPO belum dapat diterima sebagai standar global yang menjawab isu
keberlanjutan. Salah satu alasan mengapa ISPO belum bisa diterima ialah (1)
keberadaannya yang semata didorong oleh regulasi pemerintah; (2) cakupan poin
dalam ISPO yang belum merefleksi kebutuhan global dalam menjawab isu
keberlanjutan, dan (3) partisipatif dari para pihak yang minim dalam
penyusunan. Padahal minyak sawit dibutuhkan oleh banyak pihak dalam industri
untuk memproduksi ragam olahan seperti sabun, kosmetik, serta produk energi
seperti biodiesel. Indonesia bahkan menempatkan diri sebagai produsen utama
global dengan cakupan produksi yang mencapai 54% dan dipekirakan terus tumbuh.
Sebagai gambaran, produksi minyak sawit
dan turunannya di Indonesia tahun 2017 mencapai 42,04 juta ton. Tahun lalu,
volume ekspor minyak sawit mencapai 31,05 juta ton senilai 22,96 miliar dollar
AS atau sekitar Rp 321 triliun dengan asumsi nilai tukar Rp 14.000 per dollar
AS. Angka ini naik dari total tahun sebelumnya sebesar 35,57 juta ton dengan
volume ekspor 25,11 juta ton senilai 18,21 miliar dollar AS.
Sawit pun pada akhir tahun 2019 tengah
menjadi primadona untuk disandingkan penggunaannya dengan Bahan Bakar Minyak
seperti tercermin dalam program Biodiesel 20% (B-20) dan bahkan Biodoesel 30%
(B-30). Pemanfaatan Biodiesel sebagai bahan bakar nabati pada prinsipnya telah
diatur melalui Peraturan Menteri ESDM No. 12 tahun 2015 tentang Penyediaan,
Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati sebagai bahan bakar lain. Dalam
aturan tersebut diamanatkan kebijakan pencampuran biodiesel dengan kadar 15%
dan mulai tahun 2016 ditingkatkan menjadi 20%. Dalam rilis yang dilakukan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per 1 Januari 2020 kewajiban
pencampuran biodiesel ke dalam solar dinaikkan menjadi 30%. Pada tahun 2020
KESDM juga menargetkan produksi biodiesel mencapai 9,5 juta kiloliter.
Berdasar kondisi dan sajian data diatas
maka diperlukan langkah serius dari pemerintah untuk menjawab isu keberlanjutan
dalam bisnis proses di dalam kelapa sawit. Untuk menjawab isu tersebut
pemerintah agaknya perlu memahami dan bahkan mengadopsi mekanisme yang berlaku
global dalam industri seperti RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) dan
NDPE (No Deforestation, Peat and Exploitation atau tanpa deforestasi,
tanpa gambut dan tanpa eksploitasi). Langkah ini dilakukan untuk mendorong
pengkayaan atas standar yang disusun pemerintah dan membangun harmonisasi.
Prinsip Keberlanjutan dan Tanggung Jawab
Kita
Konsep
pembangunan berkelanjutan sebenarnya sudah lama mengemuka dan menjadi diskusi
khusus yang menarik perhatian banyak ahli. Istilah ini ditenggarai muncul pada
tahun 1778 saat Malthus seorang berkebangsaan Inggris mulai mengkhawatirkan
ketersediaan lahan di Inggris akibat ledakan penduduk yang pesat. Satu setengah
abad kemudian, penggunaan istilah yang mendekati makna keberlanjutan semakin
sering digunakan. Terbitnya buku berjudul The
Limit to Growth yang ditulis Meadowet pada tahun 1972 menjadi penandanya.
Dalam buku yang ditulis tersebut Meadowet menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
akan sangat dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam. Dengan ketersediaan
sumber daya alam yang terbatas arus barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber
daya alam tidak akan selalu bisa dilakukan secara terus menerus (on sustainable basis).
Baru
kemudian pada tahun 1987, World Commission on Environment and Development
(WCED) atau dikenal dengan Brundland Commission menerbitkan buku berjudul Our Common Future. Dalam buku tersebut
dinyatakan bahwa sustainable development
is one that meets the needs of the present without compromising the ability of
the future generatios to meet their own need. Berdasar semangat ini, bersamaan
dengan Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium PBB di New York tahun 2000 dideklarasikan
Millenium Development Goals yang berlaku hingga 2015 sebelum kemudian
di-estafetkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang berlaku
hingga 2030. Dalam SDGs pemerintah bersama para pihak terkait berusaha
mendorong banyak organisasi untuk lebih bertanggung jawab dalam merespon tantangan
global seperti kemiskinan, penyediaan air, kelaparan dan lain sebagainya. Hal
ini dikarenakan desain prinsip keberlanjutan semisal SDGs (Sustainable
Development Goals atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) yang telah memuat
standar etis bisnis sesuai perkembangan ilmu pengetahuan.
Dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
PBB yang tertuang dalam SDGs, industri kelapa sawit dalam paparan yang
disampaikan GAPKI memiliki fokus untuk mengatasi kemiskinan dan kelaparan,
penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, bahkan industri
kelapa sawit juga mempromosikan prinsip kemitraan, baik dengan pemerintah,
pelaku usaha, petani dan para pihak lain yang terhubung dalam rantai.
Neraca Sumber Daya Alam & Lingkungan:
Hubungan biner diantara Industri Sawit dan
SDGs
Neraca Sumber Daya Alam dan Lingkungan
(NSDAL) merupakan salah satu instrumen berbasis keuangan yang diadaptasi untuk
memberikan informasi berkaitan dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki
satu wilayah tertentu. NSDAL digunakan sebagai data dasar (baseline)
kegiatan produksi berbasis sumber daya alam guna mengurangi kerusakan
lingkungan dengan cara yang dianggap paling efektif dan efisien. Dalam buku
yang berjudul Neraca Sumber Daya Alam, Suparmoko (2005) mengatakan bahwa tujuan
disusunnya NSDAL adalah:
- Dari
sisi pemerintah
a. Kepemilikan
informasi yang lebih baik mengenai keadaan sumberdaya alam dan lingkungan
sehingga secara politis maupun ekonomi akan mampu membuat rencana pengelolaan
sumber daya alam dan linkungan menjadi lebih baik. Misalnya di Norwegia,
keberadaan NSDAL dibuat untuk membantu pemerintah dalam mengambil keputusan guna
mengelola sumber daya alam secara ekonomis dan politis.
b. Dengan
NSDAL, pemerintah dapat menilai dengan lebih lengkap dan teliti mengenai
potensi pembangunan di masa yang akan datang karena pembangunan, khususnya di
Indonesia sampai dengan 25 tahun yang akan datang tidak dapat dilepaskan dari
peranan sumberdaya alam.
- Dari
sisi masyarakat
NSDAL akan memperjelas kompensasi baik
fisik maupun moneter terhadap kerugian atau kerusakan-kerusakan yang terjadi
terhadap sumber daya alam. Semua sumber daya
alam baik itu yang dimiliki oleh negara maupun oleh swasta secara perorangan
maupun kelompok akan memerlukan data fisik moneter, terutama bila diperlukan
bagi menunjang kegiatan kontrak, penjualan, persewaan dan sebagainya, sehingga pemindahan
hak pemilikan dan penggunaan serta pembagian keuntungan di antara berbagai
pihak yang berkaitan dapat didefinisikan secara jelas.
Kemudian NSDAL yang tidak sebatas
memasukkan unsur fisik sebagai komponen, namun juga memasukkan nilai moneter
melalui valuasi ekonomi membuat suatu kegiatan produksi dan/atau kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah dapat dinilai dampaknya baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Jenis dampak yang dimaksud disni dapat
meliputi dampak fisika-kimia, dampak biologis, dampak sosial-ekonomi dan dampak
kesehatan masyarakat. Hal ini mengingat dampak tersebut akan berimplikasi
terhadap:
a. Manusia
yang terkena dampak besar jumlahnya
b. Wilayah
penyebaran dampaknya cukup luas
c. Dampak
yang terjadi cukup lama berlangsung
d. Intensitas
dampak cukup tinggi
e. Banyak
komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak
f.
Terdapat sifat kumulatif dari dampak
tersebut
g. Dampak
itu mengakibatkan tidak dapat dikembalikannya lingkungan ke bentuk atau keadaan
asalnya.
Berdasar sajian penyampaian diatas dapat
dilihat bahwa salah satu manfaat dari valuasi ekonomi dalam NSDAL adalah
menunjukkan nilai kekayaan atau aset suatu negara atau daerah tertentu terkait
potensi berbasis sumber daya alam yang dimilikinya.
Sebagai contoh:
Perubahan alih fungsi Area Penggunaan Lain
(APL) menjadi perkebunan
No
|
Jenis Dampak
|
Nilai (Rp)
|
A
|
Dampak
internal
|
2.787.148.450.785
|
1
|
Deplesi
sumberdaya hutan
|
200.118.920.000
|
2
|
Degradasi
lingkungan
|
2.569.449.330.785
|
3
|
Nilai
non-guna
|
17.580.200.000
|
B
|
Dampak
Eksternal – Erosi
|
39.526.070.848
|
1
|
Perubahan
pola tanam
|
7.050.322.741
|
2
|
Pengolahan
air bersih
|
71.330.590
|
3
|
Transportasi
sungai
|
28.603.199.461
|
4
|
Kerugian
wisata pantai
|
3.801.218.056
|
5
|
Kerugian
nelayan
|
320.994.000
|
C
|
Nilai
dampak total
|
2.826.674.521.633
|
Tabel
1.3 Perkiraan Total Dampak Penebangan Hutan 10.000 Ha
Sumber:
diadaptasi dari Buku Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan,
Suparmoko,
dkk (2014)
Dengan
adanya penebangan di APL berarti hilang pohon-pohonan yang tumbuh di dalamnya, disamping
dapat diambil kayunya juga mampu menghasilkan produk non-kayu seperti air,
hewan liar, obat-obatan dan jasa lingkungan seperti kemampuan menahan banjir,
mencegah erosi, menata aliran air, menyediakan keanekaragaman hayati.
Nilai
ekonomi dari produk dan jasa lingkungan dapat disajiakan sbb:
Nilai, Produk dan Jasa
|
Nilai
|
Persentase
|
Nilai
Ekonomi Total
|
48.499,40
|
100,00
|
Atas
dasar penggunaan
|
46.641,48
|
95,42
|
Nilai
penggunaan langsung
|
20.118,92
|
52,49
|
Kayu
|
11.179,25
|
29,11
|
Kayu bakar
|
28,80
|
0,08
|
Produk hutan-non kayu
|
8.842,90
|
24,00
|
Konsumsi air
|
77,97
|
0,20
|
Nilai
penggunaan tak langsung
|
16.522,46
|
44,04
|
Konservasi air dan tanah
|
7.624,06
|
19,85
|
Penyerap karbon
|
1.204,68
|
4,14
|
Pencegah banjir
|
4.744,28
|
12,44
|
Transportasi air
|
1.114,44
|
2,90
|
Keanekaragaman hayati
|
1.897,14
|
4,94
|
Atas
dasar bukan penggunaan
|
1.758,02
|
4,58
|
Nilai opsi
|
624,54
|
1,62
|
Nilai keberadaan
|
1.144,49
|
2,95
|
Tabel
1.4 Nilai Ekonomi dari Produk Jasa Lingkungan
Sumber:
diadaptasi dari Buku Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan,
Suparmoko,
dkk (2014)
Sawit berdasar contoh di atas dapat
dianggap mempengaruhi secara negatif keberadaan biodiversitas yang ada di dalam
APL namun ciptaan dampak ekonomi dalam pemahaman pemberian manfaat ekonomi
kepada masyarakat yang tinggal dapat menjadi pertimbangan. Melalui keberadaan
NSDAL ini, pemerintah diharpkan dapat memiliki instrumen pengambil keputusan
dalam menerima tawaran investasi dengan dampaknya bagi masyarakat serta
lingkungan. Hal ini tidak lepas dari pertimbangan pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang
akan datang.
Kesimpulan
Berdasar pendalaman sebagaimana
disampaikan di atas, dapat dilihat bahwa industri sawit merupakan industri yang
memiliki nilai strategis meski penuh dinamika kontroversi. Pendalaman
operasional berbasis SDGs melalui mekanisme sertifikasi yang datang dari
pemerintah dan penerapan Neraca Sumber Daya Alam dan Lingkungan diharapkan
dapat menjadi alternatif dalam membangun bisnis berkelanjutan. Dampaknya akses
pasar sawit Indonesia menjadi terbuka lebar di pasar internasional dan
menciptakan nilai tambah di nasional.
Komentar
Posting Komentar