Partisipasi Politik
Partisipasi berasal dari dua pandaan bahasa latin yaitu Pars yang
memiliki arti “bagian” dan Capere yang memiliki arti
“mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik negara”, sehingga saat
keduanya digabungkan memiliki arti mengambil peranan dalam aktivitas atau
kegiatan politik negara (Suharno, 2014).
Secara konvensional, partisipasi politik mengacu pada partisipasi warga dalam kegiatan yang dapat memengaruhi struktur pemerintah, pemilihan pejabat, dan kebijakan (Himelboim, Lariscy, Tinkham, & Sweetser, 2012; Putnam, 1995).
Partisipasi politik memiliki peranan penting dalam menjawab demokrasi, hal ini dilatarbelakangi kehidupan masyarakat yang banyak menyangkut dan dipengaruhi keputusan politik pemerintah dan pada periode tertentu bentuk pemerintah tersebut ditentukan dalam ruang pemilihan yang dilakukan dan diputuskan masyarakat.
Miriam Budiardjo (2008) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemilihan menunjukkan tingkat pemahaman dan tingkat keinginan keterlibatan dalam masalah kenegaraan.
Berkembangnya internet yang kemudian melatarbelakangi kelahiran media sosial telah membuka peluang untuk partisipasi politik yang lebih luas. Pengguna internet dengan minat politik dapat berbagi pandangan, membagikan tautan pandangan tokoh tertentu, gambar dan bahkan video melalui twitter, facebook, instragram, youtube serta media lainnya. Secara khusus partisipasi politik online didefinisikan sama dengan partisipasi politik konvensional, kecuali instrumen yang digunakan terjadi dalam konteks online (Brady, 1999; Verba, Schlozman, & Brady, 1995).
Saat ini telah terdapat banyak penelitian yang melihat dinamika media sosial dan partisipasi politik online, namun demikian hasil yang ditunjukkan dari penelitian-penelitian tersebut menunjukkan hasil berbeda pada tingkat konteks kewilayahan.
Survei Mihailidis (2014) yang dilakukan dengan 800 responden di lingkup perguruan tinggi menunjukkan bahwa media sosial jarang digunakan untuk tujuan politik. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Gil de Zúñiga et al. (2014) yang menunjukkan peran media sosial yang justru lebih bersifat politis dibandingkan untuk berbagi “keceriaan” personal. Banyak para peneliti dan praktisi masih bertanya-tanya bagaimana penggunaan media sosial terhadap orang muda mempengaruhi partisipasi politik online mereka.
Tipologi Partisipasi Politik
Rahman (2007) menyatakan bahwa secara umum tipologi partisipasi dapat
dibagi menjadi 3 yaitu partisipasi aktif, partisipasi pasif dan golongan putih.
Penjelasan atas ketiganya dapat disampaikan sebagai berikut: (1) Partisipasi
Aktif - Partisipasi ini berorientasi pada proses input dan output; (2) Partisipasi
Pasif - Partisipasi ini berorientasi sebatas pada outut dalam arti hanya
menaati peratiran pemerintah, menerima dan melaksanakan seiap keputusan yang
telah dikeluarkan pemerintah, dan (3) Golongan Putih - Partisipasi ini
berorientasi untuk kelompok apatis karena kelompok ini mengganggap politik yang
ada menyimpang dari yang dicita-citakan.
Faktor Demografi Sosial
Berdasar beberapa penelitian yang dilakukan status sosial ekonomi (baca:
sosial ekonomi berdasar besar pendapatan, tingkat pendidikan dan pekerjaan)
menjadi prediktor terpenting dalam melihat partisipasi politik. Status sosial
ekonomi yang tinggi berkorelasi dengan tingkat partisipasi politik yang lebih
tinggi (Cohen, Vigoda & Samorly, 2001; McLeod et
al., 1996; Nowak, Rickson, Ramsey & Goudy, 1982 dalam Jung et al.,
2011: 410). Selain itu, dalam beberapa penelitian yang dilakukan juga
ditemukan hasil mengenai faktor berupa jenis
kelamin dan usia yang memiliki signifikasi dalam partisipasi.
Perbedaan gender dalam partisipasi politik telah menjadi isu lama dan melintas negara (Delli Carpini & Keeter, 1996
dalam Jung at el, 2011). Temuan dalam beberapa
penelitian juga menunjukkan konsistensi hasil dimana pria memiliki kecenderungan lebih aktif dalam politik (Burns,
Schlozman, & Verba, 2001; Enns, Malinick, & Matthews, 2008 dalam
Zuniga & Valenzuela, 2010).
Pengetahuan Politik
Pengetahuan politik memiliki peran yang signifikan dalam mempengaruhi
perilaku dan pengambilan keputusan politik. Semakin banyaknya pengetahuan
masyarakat akan isu politik maka semakin pula mereka dalam aktivitas
politik (Zukin, Andolina, Keeter, Jenkins, Delli
Caprini, 2006). Penelitian yang dilakukan Delli Carpini & Keeter
(1996) juga menyatakan bahwa pengetahuan politik merupakan
elemen yang secara sinifikan berpengaruh terhadap keputusan seseorang dalam
menentukan pilihan.
Kepercayaan Politik (Political Trust)
Political trust mencerminkan evaluasi apakah pemegang otoritas dan
lembaga politik yang tampil sesuai dengan harapan normatif publik (Miller dan
Listhaug, 1990). Political trust merupakan salah satu komponen penting
dari budaya sipil yang menurut Almond dan Verba (1963) yang diperlukan untuk
menjamin stabilitas sistem politik yang demokratis.
Political trust menawarkan bentuk dukungan kepada sistem politik yang diterima dari lingkungannya (Easton, 1965). Menurut Loeber (2011) terdapat tiga dimensi political trust, yaitu: (1) trust with politicians (kepercayaan terhadap para politisi termasuk didalamnya pejabat pemerintahan); (2) trust with institution (kepercayaan terhadap institusi politik, termasuk didalamnya DPR, DPRD), dan (3)trust with democracy (kepercayaan terhadap sistem demokrasi).
Efikasi Politik (Political
Efficacy)
Political efficacy adalah keyakinan diri seseorang dalam kemampuannya
untuk memahami politik, keinginan untuk didengar oleh pemerintah, dan membuat
perbedaan politik (Catt, 2005). Campbell, Gurin, dan Miller (1954)
mendefinisikan political efficacy sebagai perasaan bahwa tindakan
politik individu memiliki dampak pada proses politik, yaitu, bahwa hal itu
adalah berguna untuk melakukan tugas kemasyarakatan seseorang.
Political efficacy ini adalah perasaan bahwa perubahan politik dan sosial mungkin saja terjadi, dan bahwa warga negara dapat berperan dalam membawa perubahan tersebut.
Secara umum ada dua dimensi political efficacy yaitu: internal dan eksternal (Lane, 1959). Craig dkk. (1990) mengatakan bahwa internal political efficacy merupakan keyakinan tentang kompetensi seseorang untuk memahami dan berpartisipasi secara efektif dalam politik. Internal efficacy terdiri dari selfperception yang meliputi: pengetahuan politik, pemahaman politik, kepercayaan diri untuk terlibat dalam urusan politik, dan kemampuan dalam urusan politik. Dalam literatur psikologi sosial, dimensi ini disebut political self-efficacy, dan dipahami sebagai aspek domain spesifik dari pengertian umum self-efficacy (Bandura, 1997).
Beaumont (2010) mengamati bahwa sense of internal efficacy membentuk hubungan kuat antara motivasi pribadi, pilihan, nilai-nilai, dan interaksi politik dan perilaku. Craig dkk. (1990) mengedepankan dikotomi dalam dimensi eksternal antara lain regime based efficacy (cara memerintah) dan incumbent based efficacy (pemegang jabatan). Efikasi berbasis rezim berhubungan dengan persepsi respon sistem yang difasilitasi oleh peraturan dan prosedur. Efikasi berbasis incumbent berkaitan dengan persepsi respon di kantor politik/pemerintahan. Eksternal political efficacy, di sisi lain, mencerminkan persepsi warga tentang sejauhmana pemerintah dan kelembagaan tanggap terhadap kebutuhan dan tuntutan (Kahne & Westheimer 2006).
Media Sosial dalam Politik
Penggunaan media sosial dalam pemilihan
umum terus menjadi tren yang
semakin populer, khususnya di kalangan orang dewasa muda. Di Amerika
Serikat Media Sosial merupakan salah satu instrumen untuk mengakumulasi modal
sosial yang dilakukan secara online maupun offline.
Media Sosial dalam ruan lingkup politik bertujuan untuk mengakumulasi modal
sosial dan mempertahankan serta meningkatkan partisipasi politik (Ellison et
al., 2007; Joinson, 2008).
Secara konvensional, Putnam (2000) mendefinisi modal sosial sebagai bagian dari kehidupan sosial seperti jaringan, norma dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Coleman dalam Fukuyama (2007) mendefinisi modal sosial sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama-sama demi mencapai tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi
Survei yang dilakukan Kahne & Middaugh (2012) terhadap 3.000 responden berusia 15-25 tahun menemukan bahwa 41% responden melakukan partisipasi politik secara online dengan memanfaatkan modal sosial yang dimilikinya melalui: (1) pembuatan grup secara online yang membahas tema-tema politik; (2) menulis atau menyebarluaskan blog tentang masalah politik; dan/atau (3) meneruskan video politik ke jejaring sosial mereka. Menurut Pew Research Center (2015), Facebook dan Twitter menjadi 2 media sosial yang populer digunakan orang dewasa muda untuk melibatkan diri mereka dalam partisipasi politik online.
Facebook adalah situs jejaring sosial yang didirikan pada tahun 2004 oleh Marck Zuckerberg, untuk menfasilitasi komunikasi mahasiswa/I yang bersekolah di Harvard. Dengan ragam kemudahan dan pengembangan yang terus dilakukan, media sosial ini mulai menarik perhatian banyak orang untuk menjadi penggunanya. Berdasar data yang dirilis Kaplan dan Haenlein (2010) setidaknya terdapat lebih dari dari 1 miliar pengguna di seluruh dunia. Berbeda dengan Facebook, Twitter sebagai situs jejaring sosial yang didirikan pada tahun 2006 atau 2 tahun setelah berdirinya Facebook. Situs jejaring ini bersifat microblogging yang memungkinkan pengguna membaca dan mengirim pesan teks pendek dengan maksimal 140 karakter. Dibandingkan dengan Facebook, Twitter menyajikan ekosistem lingkungan yang lebih terbuka dan memungkinkan pengguna untuk mengaktegori informasi berdasar tagar (Kaplan & Haenlein, 2010: 67).
Penggunaan media sosial dalam kampanye politik telah dimulai sejak kampanye kandidat presiden Obama di Amerika Serikat tahun 2008. Obama dan tim kampanye mulai menyebarkan kampanye politik melalui cara-cara yang lebih “muda” untuk merangsang kantong-kantong pemilih muda (Turner-Lee 2010: 20). Menurut Robertson (2011) kampanye kandidat presiden Obama diakui sebagai salah satu kampanye inovatif yang memanfaatkan platform teknologi indormasi dan komunikasi.
Hendricks and Denton (2010) menyatakan: “Kampanye 2008 menjadi unika karena menjadi kampanye nasional pertama dimana media tradisional seperti televisi, radio, dan surat kabar dibayangi oleh media baru berbasi teknologi dan Internet. (Al Deen dan Hendricks, 2012).
Melalui pemanfaatan media sosial, organisasi politik dan para kandidat yang bersaing memiliki media untuk berkomunikasi dengan publik secara langsung dan dua arah. Dalam penelitian yang dilakukan Robertson, et al (2010) didapatkan hasil mengenai Facebook yang memilki pengaruh signifikan terhadap anak muda dalam mengambil keputusan memilih dalam menyampaikan suara politiknya. Penelitian yang dilakukan Banaij dan Buckingham (2010) juga menyatakan bahwa ana muda menggunakan situs media sosial dengan tujuan menemukan informasi politik khususnya informasi yang tidak dapat ditemukan dalam media tradisional. Namun demikian tidak semua penelitian menyatakan hal yang sama, penelitian yang dilakukan Zhang, et al (2010) menyatakan bahwa ketergantungan pada media sosial sebatas berpengaruh pada partisipasi kemasyarakatan (civic participation) bukan dengan partisipasi politik.
Pemilih Muda
Istilah
Generasi Milenial menjadi sesuatu yang umum didengar memasuki periode pemilihan
presiden dan wakil presiden Republik Indonesia tahun 2019. Generasi Milenial
atau bisa disebut juga “Muda” sedang menjadi tren “kekinian” dalam
mengambil “ceruk” pemilih milenial. Menurut penelitian yang dilakukan sejumlah
pihak diperkirakan terdapat sekitar 55 persen pemilih dari generasi milenial
(berusia 17-38 tahun) pada Pemilu 2019 nanti.
Menurut Djayadi dan data Badan Pusat Statistik, ”Jika lebih kurang ada 190 juta daftar pemilih tetap, itu berarti pemilih dari generasi milenial ada sekitar 100 juta. Jelas semua partai akan menargetkan suara milenial,” Dari jumlah tersebut, menurut Djayadi sekitar 60 persen hingga 70 persen generasi milenial aktif di dunia maya.
Pada beberapa bulan ke belakang, banyak cara yang digunakan para kontestan untuk menarik perhatian generasi muda. Kampanye bergaya muda dengan mengunggah suatu kondisi ke dalam media sosial, berswafoto, menggunakan pakaian “casual”, mengendarai motor dan/atau menciptakan lagu yang atraktif bersama artis “muda” dapat menjadi beberapa contohnya.
Dalam jajak pendapat yang dilakukan salah satu organisasi dengan responden mahasiswa/i didapat fakta bahwa separuh dari warga milenial (55,6%) menyukai gaya-gaya politisi yang “mendadak muda” ini.
Namun demikian isu terkait keterbatasan lapangan pekerjaan menduduki (25,5%), kesulitan dengan tingginya harga kebutuhan pokok (21,5%) dan tingginya angka kemiskinan (14,3%) menjadi 3 isu utama yang menjadi masalah pokok generasi milenial.
Menggaet suara generasi milenial bukan merupakan suatu hal yang mudah. Banyak saluran yang digunakan untuk mengenalkan pesan untuk memilih, cara yang digunakan pun bisa dibilang gampang-gampang susah. Bergaya “Sok Muda” belum tentu dipilih kalangan milenial, sementara bekal usia muda pun tak cukup meraih simpati mereka.
Di tingkat global telah terdapat beberapa penelitian untuk menjelaskan partisipasi atau sikap milenial dalam menjawab partisipasi politik. Bennett (1998) menyatakan bahwa seorang warga negara yang baik memiliki keaktifan untuk mendiskusikan masalah-masalah yang menjadi perhatian publik dan mengambil peran dalam politik yang dilakukan dalam bentuk aktivitas seperti pemungutan suara dan kampanye. Namun demikian dalam penelitian yang dilakukan Fieldhouse, et al (2007) menyatakan bahwa orang muda memiliki tingkat partisipasi yang lebih rendah dibanding orang tua. Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan Fer (2015) di Rumania yang menyatakan bahwa kaum muda Rumania memiliki minat dan pengetahuan politik yang rendah. Mereka (baca: kaum muda Rumania) tidak mempercayai politisi dan mereka tidak percaya bahwa para politisi memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan. Sebagian besar anak muda Rumania tidak tertarik bergabung maupun terlibat dengan organisasi politik formal (partai politik).
Komentar
Posting Komentar