Survival of the fittest: Belajar dari Flu Spanyol

Tahun 1918 - 1919 agaknya menjadi tahun yang diingat banyak orang, utamanya di benua Eropa akibat munculnya pandemi flu spanyol yang menginfeksi 500 juta orang serta menewaskan lebih dari 100 juta orang diantaranya. Ini adalah wabah flu global yang paling parah. Perkiraan angka kematian tertinggi ini didasarkan pada tulisan Niall PAS Johnson dan Juergen Mueller di Bulletin of the History of Medicine, John Hopkins University Press, 2002 dengan judul Updating the accounts: Global mortality of the 1918 - 1920 Spanish Influenza Pandemic.

Sebutan Flu Spanyol pada pandemi ini bukan merujuk asal negara sebaran di Spanyol namun karena negara ini tergolong yang paling transparan memaparkan angka kematian. Bahkan dalam banyak cerita yang beredar, Raja Spanyol berkuasa kala itu, Alfonso XIII disebut terserang flu tersebut. Flu ini juga ditenggarai menyerang Presiden AS Woodrow Wilson saat merundingkan traktat Versailles pada tahun 1919 yang mengakhiri perang dunia pertama.

Jumlah korban akibat flu spanyol yang tergolong tingi ini terjadi akibat (1) para dokter yang baru memahami eksistensi virus, dan (2) pecahnya perang dunia pertama yang menghancurkan banyak fondasi sipil termasuk ruang kerjasama para pihak sehingga penanganan atas pandemi dilakukan sebatas parsial.


Kondisi di Hindia Belanda
Indonesia atau yang pada masa itu  masih bernama Hindia Belanda pun tidak luput dari flu spanyol. Akibat pandemi yang terjadi setidaknya 900.000 orang meninggal dalam kurun waktu Agustus - November 1918. Bahkan artikel berjudul Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia yang ditulis sejarawan Colin Brown menyebutkan 1,5 juta orang diperkirakan meninggal akibat pandemi ini .

Khusus Hindia Belanda terjadinya flu spanyol ini dapat dibagi menajdi 2 gelombang dimana gelombang pertama terjadi pada Juli - September 1918 dengan kasus pertama di kawasan pelabuhan Pangkatan. Diduga virus ini dtularkan dari kuli kontrak yang datang dari Singapura untuk bekerja di perkebunan Sumatera. Dan hanya dalam hitungan minggu, virus mengontaminasi 5% populasi di Surabaya dan menyerang Tanjung Pandan hingga Batavia.

Laporan yang ditulis Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (BGD) atau dinas kesehatan Hindia Belanda menyebutkan hampir tidak ada wilayah di Hindia Belanda yang tidak terserang flu spanyol.  Di era tersebut, dokter yang menangani di RS pun juga memiliki rasio 1:800 dimana 1 dokter melayani 800 pasien.

Kesalahan deteksi BGD
BGD sebagai badan kesehatan yang berwenang pada masa itu juga tercatat banyak melakukan kesalahan.

Pertama, BGD salah dalam mendeteksi gejala yang timbul sebagai kolera, alhasil meski dilakukan vaksinasi kolera secara besar-besaran jumlah korban yang berjatuhan pun terus bertambang.

Kedua, terdapat oknum dokter di Batavia menyebut flu spanyol jauh lebih ringan dari flu-flu pada umumnya dan sayangnya pernyataan tersebut banyak dikutip koran-koran yang terbit pada masa tersebut. Akibatnya banyak masyarakat acuh terhadap gejala yang terjadi dan korban terus berjatuhan.

Upaya menekan laju pandemi 
Sebagai upaya menekan laju penyebaran, masyarakat di solo kala itu melakukan ritus membakar kemenyan dan bunga setaman sembari menyebut nama Sunan Lepen. Mereka yang mengikuti ritus tersebut juga diwajibkan untuk meminum air kelapa muda agar tubuh menjadi kebal. Namun hal tersebut tidak terbukti ampuh, hanya dalam hitungan hari jumlah penderita terus bertambah berbanding lurus dengan jumlah korban jiwa.

Di Kudus dan Medan, ratusan orang Tionghoa menggelar proses arak-arakan toapekong selama beberapa hari guna mencegah penyebaran virus, namun kondisi yang terjadi mengakibatkan bentrokan kecil di Medan, bahkan di Kudus, arak-arakan ini mengakibatkan pembakara dan pembunuhan terhadap warga Tionghoa akibat lontaran hinaan yang terjadi.

Gelombang pengerukan keuntungan pun juga terjadi, bukan melalui masker atau cairan pembersih tangan seperti yang terjadi dalam pendemi Covid-19 namun dengan penaikan harga peti mati hingga berkali-kali lipat.

Baru kemudian pada November 1918, BGD membentuk "influenza commissie" untuk menginvestigasi sebaran flu dan memberikan rekomendasi tindakan. Dan pada Mei 1919, komisi ini mengeluarkan 7 poin rekomendasi yang salah satunya mendorong penerbitan pamflet dan poster dalam bahasa daerah agar dapat disebarkan ke kampung-kampung. Kemudian pada tahun 1920 pemerintah kolonial menerbitkan buku panduang pencegahan dan penanganan influenza dan pada Oktober 1920 pemerintah kolonial juga mengeluarkan aturan untuk mengatur arus kapal yang masuk.

Namun apa mau dikata ,flu spanyol telah merengut banyak nyawa di Hindia Belanda dan periode 1920 merupakan era yang sia-sia karena secara global pandemi tersebut telah menunjukkan tanda berakhir dengan dampak bagi para penderita berupa kematian atau bertahan dengan menciptakan kekebalan sendiri.

Pusaran Influenza yang terus mengancam
Fakta menunjukkan pasca merebaknya flu spanyol tidak ada lagi flu mematikan yang terjadi. Flu Asia yang merebak tahun 1957, disusul Flu Hongkong pada 1968 dan flu burung pada tahun 2009 memiliki level yang jauh dari mematikan dibanding flu spanyol.

Belajar dari kondisi yang terjadi, pemerintah seharusnya berani mengambil sikap saat suatu pandemi terjadi dan mampu mengedukasi kepada masyarakat sebelum jumlah fatality semakin meningkat. Berkaca dari proses virus influenza memang dapat menciptakan kekebalan sendiri bagi penderita yang memiliki imunitas baik sebagaimana disebutkan Terawan meski pada orang yan memiliki imunitas rendah berpotesi menyebabkan kematian, namun aksi deteksi, karantina dan perawatan perlu menjadi catatan tersendiri yang wajib didorong pemerintah untuk mencegah sebaran.

Tetap semangat........

Komentar