Survival of the fittest: Pembelajaran dari Negara Tetangga

Kurang lebih 3 bulan pasca merebaknya pandemi Covid -19 muncul dan melahirkan banyak kasus penularan antarmanusia di Cina, kini pertumbuhan atas kasus baru mencapai titik nol. Namun di saat yang sama kasus impor atas Covid-19 justru meningkat dan berpotensi menimbulkan gelombang susulan atas pandemi.

Satu percikan api bisa memicu kebakaran demikian tajuk rencana China Daily pada lansiran 19 Maret 2020.

Tercatat setidaknya terdapat 34 kasus impor di daratan Cina yang berasal dari Spanyol dan Inggris. Provinsi Guangdong melaporkan 9 kasus impor baru, disusul Shanghai melaporkan 2 kasus baru. Per 18 Maret 2020 setidaknya terdapat 189 kasus impor.

Dalam laporannya sebagaimana dirilis China Daily, Komisi Kesehatan Nasional China memaparkan bahwa tidak ada laporan adanya kasus baru di kota Wuhan. Sementara kota lain seperti Hubei juga melaporkan tidak adanya lagi kasus baru selama 14 hari terakhir. Hubei telah mengizinkan penduduknya untuk berpergian dengan syarat tertentu di wilayahnya.

Belajar dari Cina
Merespon potensi kondisi yang berulang, sejak awal bulan Maret bandar udara Beijing menyiapkan zona khusus bagi penerbangan internasional. Semua penumpang tanpa terkecuali diwajibkan menjalani pemeriksaan kesehatan.

Pelancong yang tidak transit diarahkan ke suatu tempat khusus untuk menjalani karantina selama 14 hari. Kebijakan ini bersifat wajib.

Di luar kasus impor yang terjadi, pembelajaran tentang 3 cara efektif untuk mengendalikan pandemi melalui deteksi, karantina dan perawatan sebagaimana dilakukan Cina agaknya menjadi langkah yang perlu diadaptasi banyak pemerintah untuk menekan laju pandemi.


Adaptasi Korea Selatan
Akhir Januari 2020 pejabat kesehatan Korea Selatan memanggil perwakilan lebih dari 20 industri kesehatan dalam sebuah ruangan rahasia di salah stasiun kereta di Seoul. Pemerintah meminta perwakilan industri untuk membuat banyak alat yang mampu mendeteksi corona meski baru 4 kasus terkonfirmasi.

1 minggu setelah pertemuan 27 Januari, tepatnya pada tanggal 4 Februari, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Korea Selatan menyetujui alat diagnosis buatan Kogene Biotech Co Ltd. Hingga akhir Februari, Korea Selatan berhasil memproduksi dan mendistribusi ribuan alat deteksi corona dan membuat ratusan pusat penapisan drive-through.

Tujuh pekan setelah rapat diadakan sebagaimana dikuti di Kompas (2020), Korea Selatan berhasil melakukan tes deteksi kepada 290.000 orang dan mengidentifikasi lebih dari 8.000 orang. Kasus harian pun menurun dari 909 kasus pada 2 minggu lalu menjadi 93 kasus pada 18 Maret 2020.

Kegagalan Amerika Serikat dalam mengadaptasi
Amerika Serikat (AS) agaknya menjadi salah satu negara yang lambat dalam menahan laju sebaran pandemi corona. Melaporkan kasus pertama bersamaan dengan Korea Selatan, AS terlambat dalam menyusun skenario penyebaran.

Dampaknya sebagaimana disebutkan James Lawler, penelit dari Medical Center, Universitas Nebraska menyebut dengan 7.000 kasus positif saat ini, diperkirakan virus ini dapat menjangkiti 96 juta warga AS dan menyebabkan kematian hingga 480.000 orang dalam sebulan ke depan. Ini seperti lelucon kata Ritu Thamman, kardiolog asal Universitas Pittsburg School of Medicine dimana AS adalah negara kaya tetapi tidak memiliki alat tes untuk deteksi yang memadai.

Setidaknya terdapat 2 faktor berpengaruh yang membuat AS lambat dalam merespon. Pertama, Pejabat Kesehatan AS selama ini mengandalkan alat tes produksi Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, namun dalam kondisi di lapangan alat tersebut gagal dalam mendeteksi, dan Kedua akibat berpegang teguh terhadap prosedur pemeriksaan yang memakan waktu, FDA, badan pengawas makanan dan obat tidak menyetujui alat tes selain keluaran CDC dan setelah 5 minggu berlalu dari kasus pertama, tepatnya pada 29 Februari, FDA baru menyetujui alat tes yang dikembangkan selain CDC.

Dari pengalaman AS ini kita dapat melihat beda birokrasi macet vs ramping, kepemimpinan hati-hati vs berani dan kepatuhan pada protokol vs keterdesakan telah menghambar penanggulangan penyebaran.

Bagaimana dengan Indonesia? Adanya hanya publik sendiri yang dapat menjawab








Komentar