Survival of the fittest : Saat Nalar berhadapan dengan kemampuan bertahan

Corona atau banyak disebut dengan Covid-19 telah menimbulkan kepanikan banyak manusia di seluruh dunia karena tingkat penetrasi sebarannya yang cepat dan massif. Dalam catatan Kompas per 17 Maret 2020, korona telah menyebar di 159 negara dengan jumlah manusia penderita mencapai 184.975 orang dan 7.529 orang diantaranya meninggal.

Di Indonesia sendiri, konfirmasi paparan korona baru diumumkan pemerintah pada 3 Maret 2020 dan hingga 18 Maret 2020 tercatat 227 orang dinyatakan positif dan 19 orang diantaranya meninggal. Ini mengindikasi tingkat kematian akibat virus ini di Indonesia telah mencapai 8,37% (termasuk tinggi dibanding Italia, Cina dan Korea Selatan).

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menimbulkan kepanikan apalagi membangun opini politik tentang siapa yang benar dan salah dalam penanganan korona. Tulisan ini dibuat sebagai refleksi atas kondisi yang terjadi sehingga dapat dijadikan pembelajaran bagi generasi mendatang dalam menghadapi perubahan.

Panik menghadapi ketidakpastian
Dalam beberapa tulisan yang telah saya sampaikan di blog, kita telah membahas ragam sikap dan sifat manusia yang pada intinya mencoba mencari kesenangan serta menghindari penderitaan. Dan dalam menjawab rangkaian kisah disekitar korona, cerita tentang  penimbunan pangan yang dilakukan segelintir orang akibat terserang panic buying atau kisah tentang manusia yang melakukan penimbunan masker dan cairan pembersih tangan untuk dijual kembali dengan harga tinggi untuk sekedar mendapat keuntungan besar menjadi contohnya.

Situasi yang terjadi pun agaknya dapat dipahami karena tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga menerpa Amerika Serikat, Australia, Inggris dan Perancis dengan ragam aksi yang berbeda meski menujukkan pola yang sama.


Panik adalah bawaan manusia yang jadi alarm atau tanda bahaya dalam tubuh saat manusia menghadapi ketidakpastian dan bahaya. Dalam artikel di Kompas, kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi menyebutkan bahwa otak manusia memiliki mekanisme untuk membuat hal yang tidak jelas menjadi jelas, namun pada kondisi tertentu akibat panik yang menimbulkan stress, manusia dapat kehilangan rasionalitasnya sehingga membuat mekanisme respon yang muncul adalah merespons stimulus yang ada. Saat panik melanda, sistem emosi manusia akan lebih mendominasi dibanding sistem logika sehingga segala sesuatu dipersepsikan sebagai bahaya.

Dalam kondisi ini agaknya apa yang dikatakan Menteri Kesehatan Republik Indonesia untuk menjaga pikiran agar daya tahan tubuh (imun) tetap kuat adanya benar.

Selain itu penghindaran perilaku membebek (herding behaviour) dimana banyak orang mengambil keputusan termasuk membeli sesuatu berdasar putusan orang lain juga dapat menjadi langkah penting untuk diambil dan diedukasi kepada khalayak meski sistem yang dibangun pemerintah juga harus mampu memberikan infomasi yang sederhana, tepat dan jelas.

Simpang Siur yang medorong rasa panik
Tanggal 3 Maret 2020 menjadi catatan tersendiri bagi publik Indonesia pasca dikonfirmasinya 2 kasus pertama corona oleh Presiden Joko Widodo. Peristiwa ini yang dirasa dirasa cukup meski  bagi kelompok tertentu tidak. Dikeluarkannya larangan Warga Negara Indonesia (WNI) masuk ke wilayah Arab Saudi untuk menjalankan ibadah Umroh seminggu sebelumnya seharusnya mampu menjadi alarm bagi pemerintah Indonesia yang kala itu justru menepis sampaian beberapa pihak.

Galau dan panik tentunya segera merembet keseluruh tanah Jawa. Masker dan cairan pembersih tangan menjadi buruan banyak orang sehingga menimbulkan kekosongan stok disepanjang pulau. Sebenarnya jika pemerintah cermat dalam menginformasi pola virus secara sederhana, tepat, cepat dan jelas kepanikan bisa dihindari.

Belajar dari Sebaran Penyakit Pes
Nyaris 7 abad yang lalu, pandemik pes melanda dunia dari berhasil melumat setidaknya sepertiga penduduk Eropa. Sebagaimana dituliskan Latief (2020) pada Oktober 1347, dua belas kapal dagang Genoa berlabuh di Sisilia dengan banyak pelaut yang meninggal dengan sekujur tubuh bertabur gelembung hitam atau akrab disebut maut hitam. Situasi yang terjadi di kapal dengan cepat menyebar ke seluruh negeri dan dalam hitungan 5 tahun kemudian benua Eropa dilanda pandemik yang menyebabkan banyak kematian.

Otoritas Sisilia kala itu dianggap terlambat mencegah berlabuhnya kapal.

Belajar dari penyakit pes, pembangunan sistem informasi menjadi suatu kebutuhan pokok dalam merespon potensi pandemik. Penguatan surveilans dan respon cepat dalam mempola serta klustering menjadi aktivitas pendukung untuk meningkatkan mawas diri menghadapi penyakit di masa ini dan mendatang.


Komentar